"Indahmu tak seindah pikirmu, cerahmu tak secerah matamu. Tapi kau tahu kau salah, mengapa kau membisu?"

Sabtu, 29 Mei 2010

Selamat Datang Kepastian

Seribu bayang dengan sejuta pilihan
Merasuki relung hati menggoda nurani
Ke arah mana kaki ini kan diarahkan?

Derap langkah menggema bagai Guntur
Hasrat dan obsesi menyatu menjadi harapan
Meniti langkah menata harap
Memapah hidup, memandu mimpi
Satu yang terpahami
Hidup akan terus bergulir
Tuk menanti suatu hal pasti

Masa lalu biarlah menjadi hitam
Namun jangan biarkan pekatnya melunturkan niat hari ini
yang menanti takdir
Dan hitamnya takdir tak selamanya menjadi putih
Begitu juga kampus ini
Sebuah perjuangan bermula di sini
Melesatkan mimpi menorehkan histori
Semangat membakar juang
Tak selamanya wajah-wajah putih itu tetap termangu
berpangku menopang dagu
Kecemerlangan menjadi pertanda
Bahwa kebangkitan suatu masa bergantung pada kita

Sebuah kampus memberi ruang
Menanti bersiap terbang ke dunia penuh jurang
Mengharap potensi juang
Akhirnya mentari akan kembali datang
Pada pagi yang bercahaya terang

Kepada jiwa-jiwa mungil
Selamat datang pagi
Semoga kampus ini tetap seindah pagi yang diimpikan
Mari tegak bersama nyanyikan melodi perharapan
Senandungkan sebuah irama kepastian

Kamis, 27 Mei 2010

Cintai Indonesia dengan Bahasa

Aku menyampaikan pada dunia satu Tanya saja
Apa yang begitu berharga yang dimiliki suatu bangsa
Sebuah identitas yang selama ini
Berdiam tanpa belenggu kata
Asing dengan tubuh sendiri nan fana

Indonesia menanti kita untuk kembali
Memasang kata, mamapah gerak
Merangkai bahasa mandiri
Bahasa kita menagih janji peuda
Atas identitas yang selama ini terlupa


Sebening kata, selembut cerita
Mengurai hidup, memutar nasib
Memukau makna
Suatu bahasa menjadi dinamika
Dalam kemelut perjalanan Indonesia
Suara pemuda nan gempita
Mengucap salam hormat sebuah Tanya
Cintai Indonesia dengan bahasa

Atas nama pemuda Indonesia



(Sulung Siti Hanum)

Rabu, 26 Mei 2010

Istana Mahasiswa

Tak terasa langkah menapak semakin berat.
Jalanan semakin kasar.
Tapi kita belumlah mencapai gerbang itu.
Gerbang yang menandakan akhir sebuah perjuangan

Sang mentari tetap saja tak lelah menemani derap kaki kita
mengunjungi jejak demi jejak
dan Bulan pun selalu turun sebagai penghibur hati,
pelipur lara dari panasnya surya.

Dengan mendengar irama alam, mengilas balik,
mencari penghidupan lama untuk dijadikan lentera.
kulik halaman dan halaman penuh goresan.
Lembar-lembar yang ringan tapi padat.
Goresan rapi satu lembaran yang telah menguning.
Penuh coretan tapi menyirat isian bermakna
Ada kisah menarik dari plot hidup ini.
Itulah kisah yang kita jalani di istana mahasiswa

Akhirnya kita pun tau
Dalam istana ini
Musik alam dan irama kehidupan berpadu menjadi sonata
Senandung lincah nan ringan berpola menjadi suatu warna akan kayanya pengharapan
tawa menjadi lukisan
senyum menjadi penerang
itulah yang kita tinggalkan di sana

Buka lembar baru
Dengan tinta terbaik dari kita
Henyak Selimut kebodohan masa lalu dan ketakutan masa depan
Berlari dan terus bernyanyi dengan melodi penghidupan
dengan lantunan dari sang dedaunan,
berikan sesuatu yang berarti untuk hidup ini
untuk perjuangan kita



(Sulung Siti Hanum)

LEBUR

Mengerjap
Terkesiap
Melebur bersama waktu
Tak ada yang bisa kuingkari lagi



(Sulung Siti Hanum)

Senin, 24 Mei 2010

Menahan Napas di dalam Air

Aku benci rasa ini. Ya, aku mengerti kenapa orang sering menyebut mati itu sakit. Tangan kananku memegang bibir ember. Tangan yang lainnya meraba-raba bagian tubuhku mulai dari leher hingga perut. Masih utuh. Urat-urat di leherku terasa menonjol ketika kuraba dengan jemariku. Mukaku dingin, mulut terkatup, hidung sama sekali tak dapat menghirup udara. Napasku tertahan. Kubuka mata. Aku tak melihat apa-apa. Mataku mulai perih. Air membelai kulit wajahku. Sampai berapa lama aku bisa bertahan? Aku tidak bisa menahan karbon dioksida di dalam dadaku ini lebih lama. Semua harus kukeluarkan dan digantikan dengan udara segar. Aku mengeluarkan gelembung-gelembung udara dari mulutku hingga aku benar-benar kehabisan napas.
Uaaaah…..kuhirup oksigen sesering mungkin. Hidungku terasa kembang kempis. Dadaku naik turun seirama dengan tarikan napasku yang cepat. Mulutku sedikit membuka membiarkan udara masuk. Entah berapa lama aku berani mencelupkan mukaku ke dalam ember hitam berisi air itu. Yang kutahu tak sampai satu menit. Atau mungkin lebih kurang sekitar satu menit. Hidup tanpa udara itu tidak enak. Sungguh. Hei, ayolah, jangan main-main dengan oksigen! Kita bukan ikan yang dianugerahi insang. Aku suka berenang, tapi aku tak suka menyelam. Yang kutahu, aku harus belajar mengatur napas lagi di dalam air.

Adril, Si Akrobat

Badannya begitu lincah menguasai panggung sirkus malam itu. Berbagai atraksi dimainkan bersama satu rekannya. Mengendarai sepeda beroda satu, berjalan di atas seutas tali, bermain dengan api, dan berbagai atraksi berbahaya lainnya. Menjadi akrobat sirkus adalah bagian dari hidupnya yang telah ditekuni selama kurang lebih sepuluh tahun terakhir ini. Ia selalu tampak bahagia menghibur orang banyak melalui pentas sirkus itu.
Pria itu menari-nari di atas panggung bundar dengan kelihaian seorang akrobat profesional. Segala atraksi diperagakan mulai dari tingkat bahaya yang sedang hingga tingkat bahaya yang tinggi. Pria itu tampak menikmatinya. Saat itu, pria yang memoles mukanya dengan make up tebal itu sedang memainkan sepeda beroda satunya. Melompat-lompat girang di atas api dan melewati seutas tali yang membentang dari permukaan panggung hingga ketinggian empat meter di sepanjang panggung. Tali tersebut bergoyang-goyang ketika roda sepeda itu berputar di permukaan atas tali. Tiba-tiba tali mengendor dan pria itu mulai kehilangan keseimbangan. Saat itu ia telah mencapai ketinggian di atas tiga meter. Panik pun tak sempat lagi dirasakan, karena yang ada hanya raungan panjang yang memenuhi panggung. “Aaaaaaaaaaaaargh!!!” Buk.
Lampu-lampu gedung tiba-tiba dipadamkan. Alunan musik pengiring pertunjukan pun berhenti. Seketika penonton resah. Tampak petugas yang mengawasi panggung berkerumun mengangkat tubuh orang yang tengah menjerit kesakitan.
“Aduuuuh!” teriaknya kesakitan.
Para penonton pun langsung berdiri, sedikit terpana dan shock melihat kejadian yang sangat cepat tadi.
Pelahan pria itu membuka mata. Penglihatannya sedikit buram. Adril, nama pria itu. Kepalanya terasa pusing dan tulang-tulangnya sedikit nyeri. Matanya mulai menerawang memperhatikan situasi di sekitar. Ada beberapa orang berdiri di sampingnya. Ibunya, manajer sikusnya, dan satu orang pendamping akrobatnya. Langit-langit dengan lampu berpijar di tengahnya. Ketika ia menelengkan kepalanya, ia langsung sadar bahwa lehernya diberi penyangga.
“Adril, syukurlah, akhirnya kau sadar. Kau berada di rumah sakit,” ujar seorang wanita paruh baya yang berbisik di sebelah telinga Adril.
Seketika raut muka Adril langsung berubah. Ekspresi tanya, heran, tidak percaya bercampur di wajahnya. Keningnya berkerut dan mulutnya ternganga. Ia ingin bicara, tapi tak satu pun suara yang terdengar dari mulutnya. Ia tercekat. Matanya mengerjap.
“Tenanglah, Dril. Kau tidak perlu khawatir. Saat ini waktunya kau istirahat, ya,” bisik lembut dari wanita paruh baya itu lagi.
Adril membuka mulutnya berusaha untuk bicara. “Aku kenapa, Bu? Pertunjukannya?” Bisikan kasar dan serak akhirnya membuka percakapan ibu dan anak itu.
“Tenang, ya, Nak. Kamu tidak boleh banyak bergerak. Waktu itu… waktu itu… kamu kecelakaan di lantai sirkus. Lalu…” Wanita itu tidak dapat melanjutkan ucapannya. Hanya air mata yang berbicara.
Adril tidak mengerti dengan apa yang telah terjadi padanya. Ingatannya berkelana ke kecelakaan di panggung sirkus itu. Ia hanya mengingat saat ia kehilangan keseimbangan, limbung, dan teriakan kesakitan. Badannya terhempas dari ketinggian lebih kurang tiga meter. Sepeda yang sedang dikendarainya juga ikut jatuh menimpa tubuhnya. Setelah itu semuanya gelap. Ternyata kecelakaan itu berakibat sangat fatal. Menyadari dirinya terbaring di rumah sakit dengan kaki dan tangan kaku karena balutan perban, Adril merasa hampa.
Adril melewati masa perawatan dan terapi tahap awal selama lebih kurang satu bulan. Ia mengalami patah tulang pada bagian pergelangan kaki dan lutut. Ia juga mengalami geger otak ringan.
Masa penyembuhan untuk patah tulangnya cukup lama. Selama tiga bulan itu, ia cuti dari pekerjaannya di panggung sirkus. Ia tak dapat melakukan apa-apa kecuali berpikir. Hal itu pula yang membuat kepalanya sering sakit. Dengan kondisinya yang seperti ini seakan membuat hatinya teriris. Menyesal. Putus asa. Semua berkecamuk di dadanya. Ia marah pada tali yang menyebabkan keseimbangannya lumpuh. Ia marah pada petugas dekorasi panggung yang menyebabkan tali mengendor. Di samping itu, ia tahu bahwa itu hanya sebuah kecelakaan.
Adril memerhatikan kakinya yang masih dibalut perban. Ia sedang duduk di beranda rumahnya di atas sebuah kursi roda. Ia menyandarkan kepalanya ke tembok. Tiba-tiba sakitnya menyerang seiring dengan kemarahan di dalam hatinya. Kecelakaan yang dialami Adril tidak hanya menyebabkan kerusakan fisik, tetapi juga berdampak kepada psikologisnya.
Panggung sirkus yang telah menghidupinya selama sepuluh tahun terakhir, kini terasa sangat jauh darinya. Ia lebih banyak diam sejak kecelakaan itu. Ia seperti kehilangan separuh jiwanya. Sirkus adalah hidupnya. Meskipun dulu ibunya sempat menentang pekerjaanya itu, Adril tetap maju untuk belajar. Banyak pengalaman yang diperolehnya dari dunia pertunjukan sirkus itu. Kesan buruk dan rendah yang sering melekat pada artis sirkus, akhirnya dapat ditepisnya.
Ia tertarik pada sirkus ketika ada pasar malam di dekat rumahnya. Tak ketinggalan ia dengan setia menunggu atraksi sirkus keliling yang biasa menyemarakkan pasar malam tersebut. Sejak saat itu, Adril kecil tertarik untuk berlatih akrobat. Meski berbahaya, tetapi ia menikmatinya. Kemudian ketika umurnya tiga belas tahun, ia diberi kesempatan untuk mendampingi seorang akrobat dalam pertunjukannya. Setelah itu, ia sering diajak untuk tur keliling.
Adril dengan sedih mengenang masa-masa indah perjalanannya bersama rombongan sirkus. Ia juga sering bermain-main dengan binatang buas yang kerap mengisi pertunjukan akrobatnya. Dahulu, panggung sirkus hanya sebuah panggung kecil untuk mengisi acara-acara suatu kampung atau kecamatan. Akan tetapi, saat ini pertujukan sirkus telah dikomersilkan. Tentu saja pertunjukannya pun merambah kepada masyarakat kalangan menengah ke atas. Adril meniti kariernya sebagai akrobat dimulai dari panggung kecil dan menginap di van hingga panggung besar bagaikan sebuah konser dan tidak jarang menginap di wisma atau hotel.
Kini, Adril tidak yakin lagi dapat bermain sempurna. Ia tidak bisa apa-apa lagi. Yang tersisa hanya hampa, putus asa, sedih karena berduka kehilangan separuh jiwanya itu.

Langkah yang Menapak Semakin Berat

Tak terasa langkah menapak semakin berat. Jalanan semakin kasar. Tapi kita belumlah mencapai gerbang itu. Masih terkungkung dalam istana pendidikan. Sang surya tetap saja tak lelah menemani derap kaki kita mengunjungi pengalaman demi pengalaman. Bulan pun selalu turun sebagai penghibur hati, pelipur lara dari panasnya surya.
Hari ini kudendangkan. Sebuah lagu ingin kunyanyikan. Dengan mendengar irama alam, mengilas balik, menoleh ke belakang, mencari penghidupan lama untuk dijadikan lentera. Kukulik halaman dan halaman penuh goresan. Lembar-lembar yang ringan tapi padat. Ada kisah menarik dari plot hidup ini.
Goresan rapi satu lembaran yang telah menguning. Penuh coretan tapi memiliki isian bermakna. Kuawali jejak itu dengan Bismillah.
Ingatkan sebuah kisah seperti ini?
“Sekarang keluarkan kertas tugas kalian!” ujar seorang guru akuntansi di sebuah kelas sosial.
Bunyi keresek kertas folio memenuhi ruang kelas yang mungil itu, disambut dengan desahan beberapa mulut yang tidak membawa kertas tugas mereka.
“Siapa yang tidak bawa? Tulis nama kalian di kertas kecil, taruh di meja saya,” kata guru itu dengan mimik serius. Dalam diam, beberapa anak saling memandang dongkol. “Saya menyediakan kertas folio untuk kalian yang tidak bawa. Nih, bagikan!” tambah guru tersebut.
Guru akuntansi itu mengambil spidol dari dalam tempat pensilnya. Ia mulai menulis tabel-tabel jurnal di papan tulis. Ia berujar, “Silakan salin tabel ini. Nanti saya akan bacakan soal untuk kalian.”
Perempuan setengah baya itu pun selesai menggambar tabelnya, kemudian membacakan serentetan kasus hitungan dalam bentuk soal cerita. Kelas kembali hening, hanya kerutan di kening para siswa yang berbicara. Wajar mereka bingung, mereka tentu saja belum mengerti dengan materi baru. Perempuan bertubuh gemuk yang menjadi guru itu hanya duduk di balik mejanya menunggu para siswa memecahkan soal yang diberikan. Dia hanya menunggu. Tanpa senyum. Tanpa ekspresi.
“Ayo, siapa yang berani menulis hasil pekerjaannya di papan tulis? Sebelumnya tukarkan kertas tugas kalian dengan teman sebelah untuk diperiksa dan mengurangi kecurangan. Ayo, cepat!” seru Ibu guru itu beberapa menit kemudian.
Ketegangan kelas berkurang ketika ada seorang siswa yang berjalan ke depan. Teman-temannya hanya dapat memperhatikan sederetan angka yang ditulis anak itu di papan tulis. Senyum pun tersungging dari bibir perempuan setengah baya yang tegak di sampingnya.

Atau pernah mengatakan ini?
Gadis itu mengibas kunciran rambutnya yang lurus. Sambil menepis gerah, ia berpaling ke arah pintu yang menyambut hawa panas dari luar. “Aku baru selesai ujian. Sungguh melelahkan tugas-tugasnya. Waktu 24 jam saja kurang untukku.”
Hmm…bisa jadi mengeluh seperti ini.
Ada dua jenis air muka yang tersirat dari wajah-wajah pemuda berseragam putih abu-abu itu. Pertama, air muka bingung karena tidak paham sama sekali dengan materi yang dijelaskan. Kedua, air muka paham, tapi ragu untuk bertanya. Semuanya duduk dengan kaku. Guru mereka pun tidak berusaha memecah ketegangan. Dia hanya menghela napas, kemudian duduk kembali di bangkunya. “Baiklah, karena tidak ada yang bertanya, silakan kalian buka buku halaman 125! Kerjakan tugas nomor satu dan dua untuk PR kalian. Kertas tugas tadi tolong dikumpul,” ujar Guru tersebut sembari mulai meninggalkan kelas.
“Ah, andai saja kita dapat melakukan perubahan,” khayal seorang siswa perempuan berambut keriting.
“Kita tidak punya kekuasaan untuk itu. Ada yang bilang, jika ingin mengubah sistem, kita harus masuk ke dalam sistem itu. Kamu berniat jadi kepala sekolah?” ledek temannya.
Yeah, tergelitikku ketika lembaran itu dibuka kembali. Kertas yang telah menguning pun menjadi sejarah panjang perjalanan hidup. Mengulik, mengintip, mengenang, menyegarkan memori yang telah hilang dapat membuat kita kembali hidup. Musik alam dan irama kehidupan berpadu menjadi sonata. Senandung lincah nan ringan berpola menjadi suatu warna akan kayanya pengharapan.
Buka lembar baru. Dengan tinta terbaik dari kita. Selimut kebodohan masa lalu dan ketakutan masa depan harus dihenyakkan. Berlari dan terus bernyanyi dengan melodi penghidupan, dengan lantunan dari sang dedaunan, berikan sesuatu yang berarti untuk hidup ini. Maka ku tahu aku harus meneruskan hidup ini tanpa berselimut kabut.



Untuk pejuang pejuang Ventriloquit ku
Mengenang kalian dalam melodi