"Indahmu tak seindah pikirmu, cerahmu tak secerah matamu. Tapi kau tahu kau salah, mengapa kau membisu?"

Kamis, 28 Oktober 2010

Gemulai, bukan Lunglai

Aku bermimpi tentang sebuah kisah.
Kisah yang jelas terekam di benakku.
Waktu itu aku menari.
Bak balerina, gemulai meregangkan seluruh ototnya.
Berputar, menjinjit, melompat dengan indahnya.
Aku merasakan kebebasan.
Meskipun tak ada potensi balet, aku terus bergerak.

Bergerak
itulah kuncinya
Aku terus bergerak
Balerina melakukan gerak tubuh yang indah
memukau semua orang
dengan tampilannya yang optimis
gemulai, bukan lunglai

dan itulah aku
Tak mau disebut lunglai
Aku hadir di sini untuk berkarya
karena itu aku dilahirkan
bergerak menjadi acuanku
bak balerina, punya karya dibalik otot-ototnya yang lemas
Aku pun merenung
Mimpi itu datang untuk melecutku
melalui balet, baju senam, dan sepatu pipih

Sebuah Akhir yang Akhirnya Datang Juga

Dulu aku pernah berpikir tentang sebuah akhir. Sebelum ini pun aku pernah menulis tentang sebuh akhir, bukan akhir karena berakhir, melainkan akhir untuk sesuatu yang saat ini telah selesai dan akan mulai sesuatu yang lain. Aku harus menyadari bahwa akhir itu pasti ada. Bahwa aku akan kehilangan sesuatu.

Saat ini kurasakan kembali. Satu per satu selesai dan pergi. Antara meninggalkan atau ditinggalkan. Itu hanya masalah waktu, karena akhir itu telah datang menjemput yang pernah ada bersamaku.



Ini bukan raungan kesedihan. Ini adalah sebuah apresiasi untuk orang-orang yang pernah hadir di sekitarku. Kita menginjak bumi yang sama tetapi akan menghirup kesejukan udara yang berbeda. Semoga kita bisa melangkah ke tujuan masing-masing. Dan akan kembali suatu saat nanti.

Sindrom Apa Ini

Sindrom apa ini ya? Aku pun tak mengerti. badan panas dingin, jantung berdebar-debar, perut mules, otak tidak tersusun dengan rapi, perasaan campur aduk.
Aku lupa apakah aku pernah mengalami sindrom seperti ini sebelumnya? yang aku tahu, saat ini, aku sedang menunggu. Esok penentuan. Sebuah hari yang seharusnya menjadi puncak kepenatanku dalam beberapa bulan terakhir ini. Aku bahkan tidak tahu, apakah hari itu benar-benar kunantikan.
Di satu sisi, aku senang akhirnya hari itu tiba, karena setelah itu hari-hari akan terlihat berbeda. Tapi di sisi lain, aku juga tidak mampu menatap dunia yang terlampau lebar nantinya. Aku juga akan menanggalkan status sebagai seorang akademia, meninggalkan berjuta kesan yang memberikan banyak pelajaran.
Aku harus siap menatap hari esok. Hari yang membuatku tak sempat untuk berteriak senang dan meratap sedih karena aku berada di tengah-tengahnya.

Untuk keluarga, saudara, teman, dan semua orang yang pernah bermakna di dalam hidupku, terima kasih.

Sahabat, Lalu, dan Lagu

Meminjam kata seorang teman, sahabat itu adalah masa kini dan masa depan. Lalu bagaimana dengan masa lalu? Sahabatlah yang akan menyimpan serpih-serpih masa lalu itu.

Lalu buat apa sahabat itu? Sahabat itu sengaja dikirimkan untukmu dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tapi, apakah benar? Lalu mengapa orang-orang banyak tak mengerti dengan kehadiran sehabat itu? Yang pasti kulihat, kita semua mengahadapi banyak hal yang berbeda sesuai kadar diri masing-masing. Satu hal yang sama, bahwa dalam setiap masalah itu, ada keinginan untuk tertawa. Setiap orang punya hal berbeda yang dihadapi, tapi kita masih tetap memiliki rasa ingin tertawa yang sama. Hidup terlalu rumit untuk dimengerti, mengerutkan dahi, dan memeras otak untuk berpikir. Seperti kata Deddy Mizwar, “Negara ini sudah terlalu seram dan kejam, jadi lebih baik kita tertawakan saja kebodohan-kebodohan itu.” Alangkah lucunya negeri ini.
Begitu juga dengan sahabat. Sahabat menjadi tempat tertawa bersama, tempat berkeluh kesah, dan tempat untuk berdiam tanpa kata. Bersama sahabat, kita menertawakan kebodohan, kekonyolan, dan kekurangan. Bersama sahabat pula, tangisan itu ada. Dan akhirnya dengan sahabat pula kita diam seribu bahasa untuk menghadirkan jarak dan menjadikannya bermakna. Sejauh apa kita dapat menghargai seorang sahabat? Seberapa pentingkah itu? Kita berkelana dulu dalam larik-larik penuh makna yang pernah mengudara.

Salah satunya kutipan lagu Ipang, Sahabat Kecil.
/Melawan keterbatasan walau sedikit kemungkinan, takkan menyerah untuk hadapi, hingga sedih tak mau datang lagi, bersamamu kuhabiskan waktu, senang bisa mengenal dirimu, rasanya semua begitu sempurna, sayang untuk mengakhirinya, janganlah berganti, tetaplah seperti ini./

Petikan kata yang mengundang perenungan tentang hadirnya orang-orang terdekat. Senang bisa mengenal dirimu. Senang bisa mengenal kalian. Mengenalmu , maka aku mengenal diriku.

Lalu, ada pula petikan makna dari lagu Sherina, Kubahagia.
/Walau makan susah, walau hidup susah, walau tuk senyum pun susah, rasa syukur ini karena bersamamu juga susah dilupakan, oh kubahagia./

Seberat apa pun rintangan yang dihadapi, kita akan selalu bersyukur. Mungkin syukur itu tidak muncul sekarang, karena syukur itu akan muncul bersama hikmah. Bersyukur karena sahabat akan selalu ada.

Lalu, mari lihat kutipan Arti Sahabat dari Nidji.
/Kau masih berdiri, kita masih di sini, tunjukkan pada dunia arti sahabat. Kau teman sehati, kita teman sejati, hadapilah dunia, genggam tanganku. Kau adalah tempatku membagi kisahku. Kau sempurna, jadi bagian hidupku, apapun kekuranganmu./

Tangan sahabat sangat berharga, bahu sahabat pun ada untuk kita. Semua kekurangan ini akan tertutupi dengan adanya orang-orang terdekat. Semua akan menjadi sempurna dengan kehadiran mereka.

Lalu, intip sedikit lirik lagu Gigi, Sang Pemimpi.
/Raih tanganku jika kau ragu. Bila terjatuh ku kan menjaga. Kita telah berjanji bersama taklukan dunia ini. Menghadapi segala tantangan bersama , mengejar mimpi-mimpi. Bersyukurlah pada yang Maha Kuasa, hargailah orang-orang yang menyayangimu, yang selalu ada, setia di sisimu. Siapapun jangan kau pernah sakiti, dalam pencarian jati dirimu dan semua yang kau impikan./

Mengenal lebih banyak orang di luar sana, maka kita akan mengenal bagaimana caranya menghargai. Bukanlah pelajaran budi pekerti, agama, atau kewarganegaraan saat zaman sekolah dulu yang mengajarkan harga-menghargai. Cara menghargai itu akan didapat dari alam, dari manusia utusan Tuhan untuk menjadi orang terdekat kita. Sepantasnya kita menghargai orang-orang yang menyayangi kita meski tak secara wujud ada di sampingmu, karena proses jati diri itu dimulai dari diri dan lingkungan sekitar. Sahabat pun akan berperan untuk itu.

Lalu, seberapa pentingkah kau untukku? Sejauh musik yang mengalun, larik yang menyatu dalam bait, lagu yang menjadikannya indah? Jawabannya, selama itu masih mengetuk jiwa ini, maka kau, kamu, kalian, mereka akan selalu penting untukku.

Akhir itu

Ada banyak kisah tertoreh saat kita menyadari bahwa akhir semakin dekat. Duduk bersama, jalan bersama, dan tertawa bersama. Selalu tersembur pernik kisah yang membuat tubuh bergetar menahan tawa. Menertawai kehidupan, menertawai kekonyolan, menertawai diri sendiri. Seorang atau sekelompok teman akan selalu hadir untuk menemani. Mereka tidak akan menertawakan, tetapi akan mengajak kita untuk tertawa bersama. Itu makna yang kuperoleh saat –saat menjelang akhir ini.
Beberapa bulan terakhir, waktu kuhabiskan bersama mereka, teman-temanku. Orang-orang yang selalu mengerti, orang-orang yang memiliki impian yang sama untuk beberapa bulan ke depan, dan sama-sama berjuang untuk itu. Saat-saat akhir ini terasa begitu berharga dan terasa sempurna bersama mereka.
Kekonyolan itu telah menjadi satu bersama kami. Berbagai cerita mengisi hari-hari, berbagai canda mengisi sore yang redup. Tak peduli akhir itu akan memisahkan kami. Yang kuketahui akhir itu akan kulalui bersama mereka. Akhir itu tidak akan terasa indah jika konyol tak jadi datang. Aku bersyukur menjelang akhir, ku bisa mengenal mereka. Mengenal konyol lebih dekat. Mengenakan pakaian siang dan sore secara bergantian. Membuatku tak bosan menghadapi kesulitan hidup.

Tergelitik untuk Mengenang

Tak terasa langkah menapak semakin berat. Jalanan semakin kasar. Tapi kita belumlah mencapai gerbang itu. Masih terkungkung dalam istana pendidikan. Sang surya tetap saja tak lelah menemani derap kaki kita mengunjungi pengalaman demi pengalaman. Bulan pun selalu turun sebagai penghibur hati, pelipur lara dari panasnya surya.

Hari ini kudendangkan. Sebuah lagu ingin kunyanyikan. Dengan mendengar irama alam, mengilas balik, menoleh ke belakang, mencari penghidupan lama untuk dijadikan lentera. Kukulik halaman dan halaman penuh goresan. Lembar-lembar yang ringan tapi padat. Ada kisah menarik dari plot hidup ini.

Goresan rapi satu lembaran yang telah menguning. Penuh coretan tapi memiliki isian bermakna. Kuawali jejak itu dengan Bismillah.

Ingatkan sebuah kisah seperti ini?

“Sekarang keluarkan kertas tugas kalian!” ujar seorang guru akuntansi di sebuah kelas sosial.
Bunyi keresek kertas folio memenuhi ruang kelas yang mungil itu, disambut dengan desahan beberapa mulut yang tidak membawa kertas tugas mereka.
“Siapa yang tidak bawa? Tulis nama kalian di kertas kecil, taruh di meja saya,” kata guru itu dengan mimik serius. Dalam diam, beberapa anak saling memandang dongkol. “Saya menyediakan kertas folio untuk kalian yang tidak bawa. Nih, bagikan!” tambah guru tersebut.
Guru akuntansi itu mengambil spidol dari dalam tempat pensilnya. Ia mulai menulis tabel-tabel jurnal di papan tulis. Ia berujar, “Silakan salin tabel ini. Nanti saya akan bacakan soal untuk kalian.”
Perempuan setengah baya itu pun selesai menggambar tabelnya, kemudian membacakan serentetan kasus hitungan dalam bentuk soal cerita. Kelas kembali hening, hanya kerutan di kening para siswa yang berbicara. Wajar mereka bingung, mereka tentu saja belum mengerti dengan materi baru. Perempuan bertubuh gemuk yang menjadi guru itu hanya duduk di balik mejanya menunggu para siswa memecahkan soal yang diberikan. Dia hanya menunggu. Tanpa senyum. Tanpa ekspresi.
“Ayo, siapa yang berani menulis hasil pekerjaannya di papan tulis? Sebelumnya tukarkan kertas tugas kalian dengan teman sebelah untuk diperiksa dan mengurangi kecurangan. Ayo, cepat!” seru Ibu guru itu beberapa menit kemudian.
Ketegangan kelas berkurang ketika ada seorang siswa yang berjalan ke depan. Teman-temannya hanya dapat memperhatikan sederetan angka yang ditulis anak itu di papan tulis. Senyum pun tersungging dari bibir perempuan setengah baya yang tegak di sampingnya.

Atau pernah mengatakan ini?

Gadis itu mengibas kunciran rambutnya yang lurus. Sambil menepis gerah, ia berpaling ke arah pintu yang menyambut hawa panas dari luar. “Aku baru selesai ujian. Sungguh melelahkan tugas-tugasnya. Waktu 24 jam saja kurang untukku.”

Hmm…bisa jadi mengeluh seperti ini.

Ada dua jenis air muka yang tersirat dari wajah-wajah pemuda berseragam putih abu-abu itu. Pertama, air muka bingung karena tidak paham sama sekali dengan materi yang dijelaskan. Kedua, air muka paham, tapi ragu untuk bertanya. Semuanya duduk dengan kaku. Guru mereka pun tidak berusaha memecah ketegangan. Dia hanya menghela napas, kemudian duduk kembali di bangkunya. “Baiklah, karena tidak ada yang bertanya, silakan kalian buka buku halaman 125! Kerjakan tugas nomor satu dan dua untuk PR kalian. Kertas tugas tadi tolong dikumpul,” ujar Guru tersebut sembari mulai meninggalkan kelas.
“Ah, andai saja kita dapat melakukan perubahan,” khayal seorang siswa perempuan berambut keriting.
“Kita tidak punya kekuasaan untuk itu. Ada yang bilang, jika ingin mengubah sistem, kita harus masuk ke dalam sistem itu. Kamu berniat jadi kepala sekolah?” ledek temannya.


Yeah, tergelitikku ketika lembaran itu dibuka kembali. Kertas yang telah menguning pun menjadi sejarah panjang perjalanan hidup. Mengulik, mengintip, mengenang, menyegarkan memori yang telah hilang dapat membuat kita kembali hidup. Musik alam dan irama kehidupan berpadu menjadi sonata. Senandung lincah nan ringan berpola menjadi suatu warna akan kayanya pengharapan.
Buka lembar baru. Dengan tinta terbaik dari kita. Selimut kebodohan masa lalu dan ketakutan masa depan harus dihenyakkan. Berlari dan terus bernyanyi dengan melodi penghidupan, dengan lantunan dari sang dedaunan, berikan sesuatu yang berarti untuk hidup ini. Maka ku tahu aku harus meneruskan hidup ini tanpa berselimut kabut.



Untuk Ventriloquis
Mengenang kalian dalam melodi

Ada yang hilang

ada yang hilang
dan ada yang datang
musim pun berganti
masa terus melaju
dan kita takkan sama lagi