"Indahmu tak seindah pikirmu, cerahmu tak secerah matamu. Tapi kau tahu kau salah, mengapa kau membisu?"

Senin, 15 November 2010

Segenap Asa dari Seorang Ibu

Ibu,

aku sakit

aku ingin kau memelukku erat-erat

kuingin kau mengusap kepalaku perlahan-lahan

dan membisikkan doa-doa

--segala doa yang kau hafal dengan baik--

untuk kesembuhanku

Ibu,

aku sangat ingin...



Asep Sambodja, Citayem 23 Desember 2009



Bergetar hati ini ketika membaca larik demi larik tulisan Asep Sambodja yang kerap dipanggil Mas Asep ini. Tentang Ibu. Rindu pada ibu saat kita terbaring sakit. Dekapan hangat Ibu mampu menyembuhkan. Doanya pun sangat ampuh. Itu yang diharap seorang pesakitan, seperti yang dirasa Mas Asep yang kini sedang terkulai lemah.


Harap akan sosok ibu tak pernah hilang. Ada atau tiadanya seorang ibu itu, saat sakit, rindu itu datang menjelang. Ada asa untuk kesembuhan di balik ketiak ibu. Mendengar degup jantung ibu dalam dekapan terasa menenangkan. Bulu kuduk pun merinding karena belaiannya. Sakit pun akan cepat pulihnya.


Tergerak kembali untuk menggenggam memori tentang ibu. Membaca puisi ini seakan memberi wajah baru tentang arti seorang ibu. Peluk,usap,dan bisikannya. Itu yang hendak disampaikan dalam puisi ini. Begitu dalam menyiratkan kerinduan. Begitu berat sakit yang dirasakan. /Ibu, aku sakit/, /Ibu, aku sangat ingin.../.


Merinding ketika membayangkan sakit itu melemahkan. Sakit itu dapat meresahkan. Sakit itu juga mengembalikan kita ke saat kanak-kanak. Ketergantungan, rasa ingin didekap, dan hasrat ingin dimanja. Semua kembali pada ibu. Ibu, ibu, dan ibu. Bersama ibu kita dapat membagi rasa sakit itu. Dalam pelukan itu kita dapat mencari kesembuhan. Dalam usapan lembutnya kita dapat menemukan semangat untuk pulih. Segenap asa ada pada ibu. Dan dalam puisi ini, membaca puisi ini, lalu memaknai puisi ini, ada segenap asa pula untuk Mas Asep Sambojda.


Merenung dan berdoa.

Minggu, 07 November 2010

Aku dan Puisi

Dulu orang mengatakanku aku tak bisa berpuisi
Apa puisi itu
Aku pun tak mengerti
Rupanya saja aku tak tahu
Lalu orang juga sempat berucap
Aku tak punya hati
Oleh karena itu tak bisa menggoreskan
Satu kata pun untuk puisi
Karena hati dan puisi saling terpaut
Aku pun mencari rantai pemautnya
Jika tak jua kutemukan
Artinya aku tak sehati dengan puisi

Lalu ini apa?
Aku menjawab, ini sebuah puisi

Aku hanya Satu Rupa di Dunia Penuh Warna

Aku bertanya pada dunia
Yang menjadikanku besar di jagad ini
Aku, raga, dan mata
Menatap apa yang dihadapkan pada kita
Mendengar apa yang diperdengarkan pada jiwa

Aku pun jengah
Ingin kusembelih batas warna pada cakrawala
Biru laut dan biru langit
Agar menyatu, agar berpadu
Menyulut rupa dunia
Dan aku pun dapat meraba
Lalu berkaca
Sungguh kecil yang dihadapkan
Begitu bau, begitu asam saat kukecap
Dan aku terjaga
Tercekat
Sadar bahwa dunia begitu berwarna
Dan aku hanya satu rupa

Jumat, 05 November 2010

Kata Adalah Wakil Dunia

apa tak bisa diungkap?
akan terkatakan oleh kata
karena kata adalah wakil dunia

kata tak hanya sekadar deretan huruf
kata tak dapat hanya bungkam
kata pun berbicara
apa yang tidak terkatakan oleh jiwa

ketika jiwa merana, ada pesan dari kata
saat hati bahagia, ada pesan dari kata
kala terbelanga, kata pun ikut berperan
karena kata adalah wakil dunia
dan dunia akan berbicara pada kita
lewat kata

Kamis, 04 November 2010

Mengecap Itu

Sulung Siti Hanum

Menyerap energi bumi
Memadu bersama angin
Gemerisik daun bernyanyi
Dan di sana aku berdiri
Menatap
Mengecap
Menghirup
Merasakan

Kutadahkan tangan menangkap udara
Mengecap dingin
Lalu kuhirup udara dalam genggaman
Kupastikan rasanya begitu manis
Bukan hambar seperti roti tawar
Atau pahit bagaikan kopi pekat
Kecapan itu masih terasa hingga kerongkongan
Rasa manisnya mengusir gusar yang bersembunyi di dada

Itulah aku
Dengan segala rasa
Kusadar bahwa angin pun memiliki rasa
Aromanya berbeda
Saat kulihat dari sisi yang tentu saja tak sama

Rabu, 03 November 2010

Dunia Nyata, Rekaan, dan Maya

Sulung Siti Hanum
(Sebuah Opini Lama)

Seperti apa hidup ini? Tergantung pribadi kita menjalaninya. Alur yang kita lalui, menghadapkan kita pada sebuah kenyataan hidup di dunia. Banyak orang menganggap hidup ini begitu pahit, itu jika digunakan oleh pikiran seorang dewasa. Semuanya serba susah. Belum lagi, untuk biaya hidup yang jumlahnya tidak sedikit. Tapi pernahkah kita terpikir, sebenarnya kita memiliki tiga dunia sekaligus dalam hidup ini?
Seiring bertambahnya usia, akan semakin kayalah kita dengan pengalaman. Namun tidak sedikit orang yang semakin lanjut umurnya, semakin garing hidupnya. Seolah tak punya rasa humor. Masa-masa belia yang dilalui terasa berupa kenangan masa lalu yang perlahan mulai pudar. Mungkin terlupa, kita punya imajinasi dan impian yang terus mengikuti langkah kita. Namun, tetap saja orang menganggap, daya khayal dan mimpi-mimpi yang kita miliki, akan mengganggu jalannya hidup dalam dunia nyata. Ini hanya berupa pelarian yang justru memperumit hidup. Nah, yang dipertanyakan, apakah memang benar demikian?
Para orang tua kadang jengkel dengan ulah anaknya seperti tidak peduli dengan sekitarnya. Bahkan mereka sering berkata, “Jangan mengkhayal terlalu tinggi. Kita hidup susah begini, eh, kamu malah asyik nonton TV atau buang-buang duit beli buku bergambar yang nggak jelas itu. Buat apa itu semua?” Apa yang bisa diperbuat si anak, selain menuruti ucapan orang tuanya. Andaikan saja orang dewasa bisa mengerti. Mereka hanya menilik kepada hal-hal yang masuk akal, sehingga pupus sudah impian dan khayalan tadi.
Logika saja, kita tidak bisa terus-terusan belajar hidup dari pengalaman. Oke, jika pengalaman itu sifatnya membangun. Tetapi, jika tidak…Kita butuh belajar dari hal lain.
Kita memiliki dua dunia lain yang mengiringi jalan hidup kita. Sebut saja, dunia rekaan dan dunia maya. Tampaknya tak bermakna sama sekali. Tapi coba dipikir, kita memiliki alam mimpi yang selalu datang ketika mulai memejamkan mata. Itu adalah sebuah dunia. Lalu, ketika kita sedang gandrung-gandrungnya menonton sebuah serial drama di televisi, itu merupakan sebuah dunia baru yang direkayasa sendiri oleh sang sutradara. Tanpa diasadari dunia itu membawa empati bagi penikmatnya. Dan ketika kita membaca novel, seolah kita terbawa dalam suasana yang diangkat si penulis lewat tutur bahasanya. Apalagi namanya itu kalau bukan dunia rekaan yang berasal dari imajinasi. Memang tidak berguna dilihat sekilas. Hiburan? Bolehlah.
Bisa dibilang kita banyak belajar dari dunia khayalan yang kita reka-reka sendiri. Kita tidak mungkin terus menjalani hidup, melangkah maju di dunia nyata, tanpa menggubris suara kepala yang tetap memanggil untuk membuka pintu khayalan. Apakah kita mengubur khayalan itu begitu saja, padahal banyak gunanya, lho. Bukan sekarang Sebenarnya tanpa disadari, kita telah masuk ke dunia rekaan tersebut. Menonton, membaca, melamun, merencanakan sesuatu, itu kan hanya sebuah rekaan belaka.
Lain lagi dengan dunia maya. Perkembangan teknologi begitu pesatnya di era modern ini. Ditambah lagi dengan masuknya globalisasi dalam ruang lingkup kehidupan kita, membuat jarak dan waktu bukan lagi hambatan. Salah satunya, kita difasilitasi sistem informasi yang bisa menjelajahi sampai ke pelosok dunia nan jauh di sana, hanya dengan meng-klik tombol mouse dengan ujung jari. Dalam kedipan mata, dunia seakan berada dalam genggaman. Walaupun itu hanya sebuah dunia cyber. Semu. Maya. Tidak nyata, tetapi banyak yang kita dapat. Asyiknya dunia di ujung jari itu memang begitu.
Banyak yang bilang, dunia maya itu penuh tipuan, dan ada pula yang mengungkapkan dunia maya itu sebuah kawasan penuh khayalan dan memperkaya imajinasi. Terserah bagaimana persepsi orang menilainya. Namun memang tidak terelakkan lagi, jika pada kenyataannya, terfokus pada remaja dan pelajar, bisa dibilang tidak ada yang tidak kenal dengan internet. Bahkan, selain mencari informasi, mereka banyak mendapat teman yang tinggalnya entah dimana. Tetapi bisa berbagi pengalaman. Tersedia juga berbagai fasilitas di dalamnya, layaknya organisasi di dunia nyata. Sama halnya dengan ponsel. Tiba-tiba ada yang missed call dari nomor tak dikenal. Eh, nantinya justru bisa menjadi teman, paling tidak ada yang diistilahkan sebagai secret admirer. Sebenarnya dunia maya termasuk dunia nyata. Medianya saja yang maya. Informasi dapat diperoleh dari berbagai sumber yang tersebar, dan cukup diakses di depan satu layar monitor.
Coba dibayangkan, walaupun dua dunia itu tidak benar-benar ada, tetapi justru karena itulah ia dibutuhkan. Kita perlu penyegaran dalam hidup. Kita perlu mengadakan perjalanan menembus kedua dunia tersebut, bolak-balik dari dunia nyata ke dunia maya dan rekaan. Dalam dunia nyata, kita disuguhi berbagai macam aturan hidup, serta begitu banyak pilihan. Langkah yang telah kita ambil, tak dapat dikembalikan. Tetapi kita dapat kembali berulang ke masa lampau dengan bantuan dunia rekaan. Siapa bilang, mesin waktu tak pernah ada? Buktinya, kita bisa melangkah menembus waktu, kembali ke masa lampau, belajar dari peristiwa lalu yang bisa didapat dari dunia maya ataupun dunia imajinasi. Selain itu, kita juga bisa melangkah jauh ke masa depan, hanya dengan khayalan tingkat tinggi manusia yang berpola pikir maju. Mungkin dari situlah, dikembangkan penemuan-penemuan baru. Layaknya Newton dengan teori gravitasinya, hanya dengan sebuah apel yang jatuh menimpa kepalanya, kemudian timbul tanda tanya besar di otaknya yang menggiringnya menuju dunia imajinasi. Dan hasilnya, menjadi nyata, kan?
Ada sumber yang mengatakan melalui teori mimesis. Di dalam dunia rekaan itu, apa yang terjadi di dunia nyata bisa ‘diulang’ lagi, dan dunia ‘replay’ itu bisa terus-menerus diulang setiap kali kita memasuki dunia rekaan, hingga kita bisa memaknainya dalam sebuah arti. Ini berarti, dunia rekaan dan sekaligus dunia maya juga menampilkan hal yang tidak tampak dalam dunia nyata. Hal yang tidak bisa kita temui dalam alur kehidupan yang tampak nyata. Hal yang tidak bisa diketahui hanya dengan mengandalkan penglihatan yang kasat mata.
Yah, kalau kita hanya menjalani hidup ‘lurus-lurus’ saja, mau jadi apa kita? Sebagai anak, kita kembali lagi ke dalam masalah anak dan orang tua. Memang, orang tua ingin yang terbaik buat anaknya. Namun apa yang dipikirkan orang tua tidak sama dengan perkembangan pemikiran anaknya. Begitu juga bagi remaja yang sekaligus mengemban tugas sebagai pelajar yang masih harus banyak belajar. Bukan berarti ini kita menentang prinsip orang tua, tetapi ini hanya sebuah perbedaan pengertian saja.
Tidak selayaknya kita meninggalkan dua dunia itu, karena memang akan selalu mendampingi kita terus. Mau tidak mau.
Anggap saja dunia maya dan rekaan ini sebagai pelengkap dalam hidup di dunia nyata. Setidaknya bisa menjadi bumbu yang bermanfaat, penghilang stres dan hiburan. Tidak sepenuhnya hidup kita penuh kemelut. Langkah yang terasa layu, bisa lebih crispy. Jalanan yang hambar, bisa menjadi asin. Kehidupan yang sedemikian pahit, akan berubah menjadi lebih manis. Hal itu bisa dirasakan dengan hadirnya dunia kedua dan ketiga yang mengiringi dunia pertama.

Belajar untuk Tidak Belajar

Sulung Siti Hanum
(Sebuah tulisan lama)

Setiap orang pasti memiliki rasa bosan. Dan kebosanan itu akan sampai pada puncaknya ketika kita melakukan sesuatu terus-menerus tanpa ada perubahan. Ibarat kita makan dengan menu yang sama setiap hari akan timbul rasa bosan terhadap makanan tersebut. Sama halnya dengan sekolah. Sekarang setiap anak di Indonesia diwajibkan bersekolah selama 12 tahun. Dalam tempo yang dirasakan cukup lama itu, berapa kalikah kita merasa kalau sekolah memang lembaga pendidikan yang betul-betul menyenangkan, layaknya masa taman kanak-kanak?!
Jika dipikirkan lagi, 12 tahun bukanlah waktu yang singkat. Terbayang oleh kita bagaimana waktu dihabiskan di gedung sekolah dengan kegiatan belajar mengajar, plus sistem yang tidak berubah. Dalam tahun-tahun itu, kita dapat mengenal karakter guru yang berbeda, sehingga seiring berkembangnya pola pikir, kita pun mulai jenuh dengan cara penyajian pelajaran yang cenderung bersifat text book.
Suasana kelas menjadi sangat membosankan. Pola pengajarannya masih monoton dengan disuguhi wacana-wacana dan teori tanpa ada prakteknya secara langsung. Dengan santai guru-guru menerangkan pelajaran di depan kelas seolah berpidato hingga jam pelajaran usai. Mereka tidak mempedulikan apakah siswanya benar-benar menyimak dengan baik. Mereka menganggap semuanya telah mengerti dengan materi ajarnya. Namun persepsi itu melenceng. Jangankan mengerti, mendengarkan saja bak masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Yang didapat dari siswanya justru muka keruh dengan mata yang mulai mengantuk bagaikan mendengar dongeng sebelum tidur. Dan sayangnya dari sisi siswa sendiri jarang memprotes hal itu. Kami dari kecil memang sudah dididik seperti itu, mematuhi apa yang dikatakan guru tidak peduli salah dan benarnya, serta menghormati mereka yang lama-kelamaan tertuang dalam wujud rasa takut. Takut dimarahi lantaran akan disangkut-pautkan dengan nilai rapor.
Sebagai pelajar, kami tinggal duduk di kelas mendengar penjelasan guru kemudian membawa pulang setumpuk pekerjaan rumah. Paham tidak paham itu urusan nanti. Dengan diberikan tugas yang banyak, pelajar akan tetap terfokus pada pelajaran di sekolah dan tidak ada waktu untuk bermain. Masuk akal memang. Tetapi menurut saya itu tidaklah efektif, apalagi bagi pelajar yang baru saja menginjak usia remaja. Masing-masing anak memiliki motivator berbeda terhadap apa yang mereka jalani. Dan tidak ada yang berhak merampasnya atau menggantinya secara paksa. Tugas-tugas yang harus diselesaikan di rumah dalam tempo yang terbilang singkat, akan mengurangi waktu senggang yang biasa digunakan untuk kegiatan ekstrakurikuler. Seharusnya para guru menyadari hal itu. Saya menangkap maksud sebagian guru tersebut bahwa hal non- akademis itu tidak terlalu penting yang akan membuang waktu dan mengganggu konsentrasi belajar. Saya rasa itu suatu tindakan yang egois. Jika setiap pelajar hanya memikirkan hal yang berhubungan dengan pelajaran di sekolah, tanpa diimbangi dengan sesuatu yang dapat memacu potensi diri, kapan kita berkembangnya. Bukan zamannya lagi kita didikte atau diceramahi.
Saya juga berkesimpulan guru-guru telah menghambat kreativitas siswanya di luar hal akademis. Mereka seakan mematok pelajar untuk terus belajar tanpa banyak menuntut. Yang menjadi acuan tetaplah sang juara kelas dan siswa berprestasi bidang akademis sehingga mendapat perhatian lebih dari para guru, sehingga siswa lainnya tidak jarang terlupakan. Apakah seperti itu sistem yang dijalani sekarang? Kalau begitu berlakulah hukum rimba, yang pandai akan terus maju, sedangkan yang bodoh akan semakin terbelakang.
Pada dasarnya, selain mengajar, tugas guru juga mendidik prilaku siswanya dari yang kurang ajar menjadi sosok terpelajar. Namanya juga lembaga pendidikan. Memang itulah yang diutamakan. Tetapi sayang, selama saya mengecap asam garam pendidikan selama 11 tahun lebih ini, hanya sedikit guru yang benar-benar menjalankan tugasnya sebagai pengajar sekaligus pendidik. Kebanyakan yang ditemukan hanya tenaga pengajar saja bukan tenaga pendidik. Itu pun tidak maksimal. Saya mendapat gambaran, secara tidak langsung guru telah meyakinkan kita bahwa belajar merupakan pekerjaan berat yang mesti dipikul. Mau tidak mau kita harus menerimanya. Tentu saja itu hal yang menjengkelkan. Kami bersekolah untuk mencari ilmu pengetahuan dengan nuansa baru, mendapatkan sesuatu yang menarik tanpa ada beban. Tetapi pada kenyataannya sekolah menjadi tempat yang ’payah’ dan membosankan. Kita seolah tidak diberi kesempatan untuk belajar dengan menyenangkan dan kaya pengalaman unik. Padahal semua itu akan terus dijalani selama sekian tahun ke depan. Jadi tidak salah jika kami belajar untuk tidak belajar.
Bayangkan, 12 tahun lamanya kita bergumul dengan buku-buku pelajaran serta guru-guru yang bersikap dengan cara tertentu. Setiap guru pasti memiliki trik tersendiri dalam mengajar. Mereka menginginkan yang terbaik dari siswanya. Saya pahami itu. Tapi apakah para guru sudah benar-benar mengenal siswanya, sehingga dapat terjalin kecocokan antara keduanya?! Saya yakin tidak sebaik itu. Terkadang guru berusaha menciptakan suasana menyenangkan dalam belajar. Bisa dibilang berhasil pada hari-hari pertama. Namun berikutnya trik tersebut terasa ’garing’ atau ’basi’. Mungkin karena metodenya tidak bervariasi. Mau menciptakan suasana seperti apapun, ujung-ujungnya juga menjelaskan pelajaran dengan cara yang membosankan. Keasyikan belajar pun menjadi hilang yang berupa intermezo sesaat saja.
Di samping itu ada juga guru yang mengajar tanpa senyum. Mereka menganggap keseriusan belajarlah yang terpenting, yaitu dengan duduk tenang sambil memperhatikan guru menjelaskan pelajaran, tidak ngobrol dengan teman, dan mengerjakan tugas dalam kondisi diam. Tidak ada tawa, celoteh, ataupun lelucon. Guru seperti itu yang biasa dijuluki ’guru killer’. Semua terlihat kaku.
Sekarang kurikulum telah berganti dengan nama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Dengan sistem ini diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, KBK menuntut keaktifan pelajar dalam PBM 60% sedangkan guru bertindak sebagai pembimbing. Di sini pelajar bisa sedikit lebih leluasa. Namun bagaimana jalannya KBK itu masih dalam tanda tanya besar. Jangankan pelajar, guru sendiri tidak mengerti apa yang disebut KBK. Bagaimana kita bisa belajar dengan baik jika guru saja tidak tahu apa yang mesti dilakukan.
Dilihat dari konsepnya, tampaknya KBK lebih asyik, sedangkan dalam prakteknya, KBK masih tidak ubahnya kurikulum lama. Hanya ruang lingkup materi ajarnya yang sedikit berbeda. Minimnya peran guru di dalam kelas, justru banyak yang diselewengkan. Guru sekedar duduk-duduk saja memperhatikan siswanya berdiskusi, kemudian dengan gampangnya memberikan tugas studi pustaka disertai indikator tertulis. Dan nanti langsung diadakan ulangan hariannya tanpa mendapat penjelasan yang lebih detail dari guru. Lagipula diterangkan pun di kelas jarang yang masuk ke kepala. Penjelasan guru lebih cenderung bersifat wacana, sedangkan aplikasinya, pelajar yang mengembangkan sendiri. Benar-benar memusingkan. Banyak di antara siswa yang mengeluhkan KBK hanya menambah beban. Tugas-tugas bertumpuk daripada sebelumnya.
Mungkin cara pandang guru dengan siswanya berbeda. Ada yang merasa cocok dan ada pula yang tidak cocok. Di situlah tantangan bagi seorang guru. Dengan mengenal siswanya lebih dekat maka guru-guru akan tahu bidang yang diminati siswa serta cara berpikir dan karakter mereka. Kami tidak bisa tahu bagaimana orang dewasa berpikir termasuk guru, karena kita dibatasi oleh usia dan pola pikir yang berbeda, tetapi guru-guru salah kalau mereka melupakan bagaimana rasanya jadi anak muda.