"Indahmu tak seindah pikirmu, cerahmu tak secerah matamu. Tapi kau tahu kau salah, mengapa kau membisu?"

Senin, 03 Januari 2011

Sebuah catatan perjalanan

Saat itu penuh memori. Terniat dari lama dengan penuh semangat. Harap tak dapat, asa tetap tak putus. Harinya pun tiba. Hubungi kawan sana-sini. Dan kami pun siap berangkat.
Hingga tiba di sebuah kediaman tak berpenghuni. Menaruh harapan untuk hidup tiga hari. Memugar ruang menjadi nyaman. Memulai waktu dengan sejuta rencana untuk momen nan istimewa.

Petang telah sampai di penghujung. Tak sempat menyusuri negeri sekitar. Tapi rencana tetap bertahan. Arang siap dibakar untuk memanggang daging bertulang yang telah dipersiapkan. Sedikit tak puas. Api pun berpindah pada kembang-kembang yang bertaburan di langit bagai bintang. Kami melingkar saling menggenggam mengucap doa untuk hari depan. Bunyi-bunyi semarak berpadu di kelam malam hingga pagi menghampiri dan tak mau kehilangan momen itu.

Saat siang terjaga, terniat hati menyisiri rupa-rupa panorama. Lalu bersiap untuk perjalanan panjang yang akhirnya berpenghujung. Jalan-jalan setapak ditempuh demi satu tujuan. Susuri jalan yang tak dikenal. Terus melaju dengan semangat tinggi mencapai puncak. Tapi sedikit malang, jalan yang berliku itu semakin lama semakin sempit, curam, dan mencekam. Hingga akhirnya harus menuntun sepeda motor yang setia menemani langkah. Mengadu nyali untuk tak sekadar nekad.

Ala off road, kami menjajaki tanah yang entah milik siapa. Jalan yang entah ke mana ujungnya. Roda-roda terus berputar, berdecit saat pedal rem ditekan. Pertanda wahana semakin menguji. Ujian pertama telah terlewati saat bertemu jalan di keramaian. Tapi tak berapa waktu, mendung menggelayut. Tak urung, hutan dengan tujuh curug menjadi tujuan. Roda-roda pun diistirahatkan, berganti kaki yang menopang badan untuk jalan menginjak akar-akar licin yang berkelok. Mata air yang turun dari bukit mengucur dan mengalir. Itulah tempat tujuan yang dicari. Dingin mulai menggerogoti. Dikelilingi sejuta pohon yang menari-nari di tengah gerimis.

Saat matahari nyaris tak terlihat, roda-roda pun kembali berputar menggelinding ke atas di tengah jalanan yang penuh kendaraan. Mencari Rumah Allah yang berada di puncak sana. Kabut menebal, tapi tetap ditembus dengan penuh tekad. Langit tak berbintang dihibur dengan semarak kembang warna-warni dari serbuk mercon. Hujan sedikit demi sedikit membasahi tubuh. Angin pun tak mau kalah menembus hingga tulang. Badan menggigil, kulit tak berasa. Puncak terlihat dan kami pun berlindung di bawah keteduhan rumahNya yang megah. Saat hujan undur diri, kami menembus angin malam tanpa peduli dengan gemeletuk gigi dan rintihan tulang yang digigit malam. Yang ada hanya keinginan untuk menemukan peraduan.

Keberanian menelusuri jejak berbeda. Jalan yang melebar tapi sama mencekam. Pendakian, lika-liku aspal tetap disusuri tanpa cahaya. Jalan-jalan kosong, kadang berpenghuni, kadang tidak. Terus menerobos hingga kembali ke titik awal. Peraduan semakin dekat, bantal dan selimut telah menanti ditambah dengan kehangatan para kawan.

Sebuah catatan pengalaman perjalanan panjang dengan lika-liku seru.
Jakarta—Sentul—Puncak
Malam Pergantian Tahun
Sentul City, Curug Cilember, Masjid Attawun