"Indahmu tak seindah pikirmu, cerahmu tak secerah matamu. Tapi kau tahu kau salah, mengapa kau membisu?"

Rabu, 08 Agustus 2012

Mimpi yang Sempurna dalam Ketiadaan

            Badannya begitu lincah menguasai panggung sirkus malam itu. Berbagai atraksi dimainkan bersama satu rekannya. Tubuhnya begitu lentur dan lihai memainkan beragam atraksi. Kegesitannya mengitari panggung adalah salah satu bakatnya. Menjadi akrobat sirkus adalah bagian dari hidupnya. Menghibur banyak orang adalah keahliannya. Ya, Adril memang sangat berbakat meski umurnya belum cukup seperempat abad.
            Adril asyik menari-nari di atas panggung bundar. Segala atraksi diperagakan dan dia menikmatinya. Sampai pada atraksi berbahaya, Adril dengan sangat berani meraih sepeda roda satu lalu mengayuhnya keliling panggung. Lalu ia melompat-lompat girang di atas api yang tiba-tiba dinyalakan oleh rekannya. Tak lama setelah itu, lelaki bertubuh lentur ini salto dengan sepedanya dan perlahan memanjat seutas tali yang membentang di panggung setinggi 8 meter. Adril mengayuh sepedanya mendaki tali tersebut makin lama makin tinggi. Tali tersebut bergoyang-goyang ketika roda sepeda itu berputar. Tepuk tangan dan sorakan kagum terus menggetarkan gedung teater, tempat sirkus diadakan.
            Tanpa firasat apa-apa, kejadian tak terduga membuat pekik penonton berubah menjadi jeritan. Adril meraung secara tiba-tiba yang diiringi bunyi gedebuk pelan. Tali mengendur dan lelaki itu mulai kehilangan keseimbangan. Adril melayang dengan sepedanya dan disambut panggung kayu bundar yang cukup keras. Panik pun tak sempat lagi dirasakan, karena yang ada hanya lolongan panjang  yang memenuhi panggung.
Lampu padam. Musik berhenti.

            Kejadian mengerikan ini belum pernah terjadi. Pertunjukan Sirkus Lealta dihentikan begitu saja. Sang produser sirkus tidak mau mengambil risiko lebih besar untuk mempermalukan pertunjukan sirkusnya. Semua bubar. Penonton banyak yang mendesah, terpana bercampur ngeri, kaget, lalu memalingkan muka. Entah bagaimana keadaan Adril yang kini sudah tidak sadarkan diri. Yang pasti bapak produser tampak sangat marah.

            Adril tercenung, meringis, lalu gelap.
           Seorang pria terduduk lemah di kursi roda. Kepalanya menengadah menghadap langit malam tak berbintang. Bulan sayup-sayup mengintip dari balik awan, memperhatikan kegalauan hati si pria itu. Adril termenung. Bibirnya terkatup rapat serapat hatinya yang beku. Sesekali nyanyian jangkrik menyadarkan lamunannya. Dia pun mendesah sambil menelengkan kepalanya yang masih berpenyangga. Malam semakin larut dan dingin.
            Seorang pria tua menyentuh bahu Adril. “Apa yang kau risaukan, Nak?”
            Adril cuma melirik lewat sudut matanya. Bapak produser sirkus rupanya. Adril tak berminat menjawab pertanyaannya.
            Pria tua itu menggeser sebuah bangku dan duduk di sebelah Adril. Ia mengeluarkan sebatang rokok, menyalakannya lalu menghisap dengan sepenuh hati. Asap mengepul dari bibirnya mengiringi desahan napasnya.
            Beberapa saat mereka duduk dalam diam sampai Adril membuka pembicaraan.
           “Bagaimana dengan pertunjukan Lealta bulan depan, Yah?”
           “Aman.”
           “Bagaimana dengan polisi?”
           “Mereka terlalu sibuk untuk mengurusi berbagai masalah. Kejadian di sirkus malam itu sudah dibereskan. Kau sudah keluar dari rumah sakit. Larangan show juga sudah dicabut bersyarat. Kita harus kembali beraktivitas,” jelas Bapak produser sambil menyeruput batangan rokoknya lagi dan lagi.
           Adril tak menanggapi. Matanya kembali kosong. Semenjak kejadian di sirkus malam itu, hidup Adril tak sama lagi. Dia kehilangan banyak hal. Adril harus menghabiskan hari-harinya dengan kursi roda selama berbulan-bulan. Tangannya diperban, ada beberapa keretakan di tulang punggungnya, sedangkan tungkai kakinya pun patah. Dia juga mengalami geger otak yang membuatnya tertidur berhari-hari di rumah sakit. Apa yang bisa dilakukan dengan keadaan tubuh rusak seperti itu? Adril hanya seonggok tulang rusak tak berguna yang menghuni rumah sirkus yang didirikan ayahnya.
           Sang ayah berdeham. Ia merasa bersalah mengingatkan anaknya tentang kejadian buruk 2 bulan lalu. Ia kembali menyenggol bahu anaknya dengan lembut. “Sudah malam. Mari tidur,” selorohnya sambil bangkit berdiri dan menghilang di dalam rumah.
           Adril belum beranjak dari teras rumahnya. Hatinya semakin gusar. Ia tahu ayahnya gundah memikirkan kesehatannya dan juga sirkus mereka. Satu hal yang pasti, Adril tidak akan diizinkan lagi memasuki arena sirkus. Pada malam kecelakaan itu, ayahnya sangat marah dengan kelalaian yang terjadi di panggung. Tali yang dilintasi anaknya sudah diikat dengan sangat kuat dan kokoh. Tapi sayangnya, tali itu sudah cukup tua dan sering dipakai untuk properti akrobat. Malang melintang, ikatan tali terputus. Kebetulan pula, yang sedang manaiki tali itu adalah anaknya sendiri. Kini Bapak Produser itu menyesal, karena sirkusnya telah menghancurkan sebagian hidup anaknya. Adril selalu melihat kesedihan di mata ayahnya. Tapi sirkus mereka tak boleh mati, karena itu adalah nadi keluarga. Tanpa sirkus, mereka sekeluarga termasuk ibu dan adik perempuannya tak bisa makan. Tanpa sirkus, Adril tak punya biaya untuk terapi. Kenapa hidup seniman sirkus harus berkahir tragis?
  
Mungkinkah bila ku bertanya
Pada bintang-bintang
Dan bila ku mulai merasa
Bahasa kesunyian


               "Haah..." desah Adril dalam kesendiriannya. Matanya menyapu langit malam. Sepi, sunyi, sendiri.

               Mimpi buruk kembali hadir begitu ayahnya kembali semangat membangun rumah sirkusnya yang berantakan. Semua anggota dikumpulkan. Ayahnya juga mencari beberapa talent baru. Tentu saja untuk mengganti anaknya yang kini setengah cacat. Tenggorokan Adril selalu tercekat memikirkan hal itu. Adril ingin mengungkapkan kemarahannya. Ia marah pada keadaan yang membuatnya hancur.

              Adril menari, Adril melompat.
              Panggung sirkus yang telah menghidupinya selama sepuluh tahun terakhir, kini terasa sangat jauh darinya. Ia lebih banyak diam sejak kecelakaan itu. Ia seperti kehilangan separuh jiwanya. Sirkus adalah hidupnya. Meskipun dulu ibunya sempat menentang dan ayahnya tidak mau Adril ikut pertunjukan, diam-diam Adril tetap maju untuk belajar. Banyak pengalaman yang diperolehnya dari dunia pertunjukan sirkus itu. Kesan buruk dan rendah yang sering melekat pada artis sirkus, akhirnya dapat ditepisnya. Dia adalah anak seorang seniman dan darah seni itu sudah ada di darahnya.
              Ia tertarik pada sirkus bukan lantaran ayahnya sendiri adalah pendiri sebuah kelompok sirkus. Adril sering diajak seru-seruan nonton berbagai pertunjukan hiburan, mulai dari sirkus, teater, musik, dan tari. Pasar malam pun dijabani olehnya. Adril kecil bersama kawanan teman masa kecilnya pasti selalu hadir menunggu atraksi sirkus keliling yang biasa menyemarakkan pasar malam tersebut. Sejak saat itu, Adril kecil tertarik untuk berlatih akrobat. Dimulai dengan lompatan-lompatan ringan, olah otot dan sedikit belajar jenis-jenis breakdance untuk memperkaya referensinya. Meski berbahaya, tetapi ia tertantang. Ayahnya pun menyadari bakat anaknya meski dia sendiri tak begitu menyukai kenyataan itu. Kemudian ketika umurnya tiga belas tahun, ia diberi kesempatan untuk tampil di pertunjukan ayahnya untuk pertama kali. Adril menjadi bagian dari sirkus ayahnya, Rumah Sirkus Lealta. Adril meniti kariernya sebagai akrobat dengan lebih serius. Ia pun lihai melompat dari panggung kecil di tengah kampung hingga panggung besar di sebuah gedung pertunjukan.

              Keadaan berubah seketika. Memang takdir tak bisa diprediksi. Bintang pun tak akan membisiki kapan dia akan terang dan kapan redupnya. Adril dengan sedih mengenang masa-masa indah perjalanannya bersama rombongan sirkus. Tapi kini, Adril ambruk. Tak ada lagi panggung, tak ada lagi keramaian, tak ada kepercayaan diri yang tersisa. Hidupnya telah menghapus mimpinya. Bahkan ia tak lagi percaya kekuatan harapan. Dalam diam, terpana dan terbata, Adril dinaungin keraguan akan hidup.

              Adril bermimpi untuk jadi sempurna
              Adril mengayuh pelan kursi rodanya ke dalam rumah. Sudah dini hari. Kepalanya mulai migrain. Akhir-akhir ini ia sering mengeluh sakit kepala lebih sering daripada sebelum kecelakaan terjadi. Tapi dia masih bersyukur, dia tidak kehilangan ingatan sama sekali.
              Adril masuk ke kamarnya yang berlampu redup. Ia perlahan berdiri dan memindahkan badannya ke tempat tidur. Tungkai kakinya masih terasa nyeri. Dengan sedikit meringis, ia berhasil mendudukkan badannya di kasur yang empuk.
               Sebelum sempat merebahkan diri, ada yang mengetuk pintu kamarnya. Adik perempuannya, Agil, masuk.
               "Kamu belum tidur rupanya," ucap Adril.
              Agil duduk di sebelah kakaknya. Ia menoleh menatap Adril.
               "Bagaimana terapi tadi siang, Kak?"
               "Lumayan. Masih nyeri sana-sini," sahut Adril datar.
               "Pasti sembuh, Kak," hibur Agil yang kali ini membantu kakaknya rebahan di tempat tidur.
               "Sembuh tapi tidak berguna," desah Adril, lebih kepada dirinya sendiri.
              Agil menyelimuti kakaknya. "Kak Dril tahu arti mimpi? Saat kita bermimpi, bintang-bintang akan berkumpul. Kesempurnaan itu gak akan ada, Kak. Tapi kita bisa bermimpi untuk menjadi sempurna. Bintanglah yang menjamin kita berada di titik terang atau gelap. Bintang akan berkompromi dengan mimpi kita. Cuma 1 hal yang harus kak Dril ingat, sempurna bukan berarti semua terwujud sesuai apa yang kita inginkan. Sempurna artinya hidup kita lebih berarti setelah ini." Seulas senyum terlukis dari wajah adiknya.
             Adril mengikuti gerak Agil yang keluar kamar dengan matanya. Kata-kata motivasi yang dilontarkan adiknya kini tak lagi mempan. Apa arti sempurna? Kesempurnaan baginya hanya sirkus. Bahkan saat ini, untuk berdiri aja, seluruh badannya ngilu. Bagaimana mungkin dia bisa meliuk-liuk, berlari, dan melompat sana-sini? Keretakan di bagian punggung menuntutnya harus pensiun dari dunia akrobat.
             Adril menoleh ke arah jendela kamarnya yang masih terbuka. Langit terlihat mendung pekat. Tak ada penerangan dari bintang. "Ah, bintang pun tak ada di sini saat aku jatuh. Bintang tak akan menjawab pertanyaanku," batinnya. Kepala Adril mulai panas. Rasanya mau pecah karena migrainnya kambuh. Adril belum bisa tidur. Sesekali matanya menoleh ke jendela, sedikit berharap masih ada 1 bintang yang muncul.
            Adril mencoba duduk kembali. Dia menggapai kursi rodanya dengan tangannya yang bebas dari perban. Dengan meringis, Adril mendorong tubuhnya untuk berdiri, berputar dan duduk di kursi roda. Terasa setruman di sendi kakinya. Adril menggigit bibirnya menahan sakit. Ia tidak mau suaranya membanguni orang rumah. Adril mengayuh kursi rodanya ke pintu belakang rumah, membukanya lalu keluar.
              Tepat di belakang rumahnya, ada paviliun tempat properti sirkus disimpan. Adril membuka gerendel pintu dengan kunci yang ada di kantungnya. Setelah menyalakan lampu, Adril menyapu seluruh ruangan dengan matanya. Paviliun ini adalah tempat Bapak Produser merangkai impiannya untuk membangun kelompok sirkus. Paviliun ini adalah otak dari Rumah Sirkus Lealta. Adril tumbuh di dalamnya.
              Saat dia masuk ke dalam paviliun, ada yang menghambat laju kursi rodanya. Ternyata itu sepeda roda 1 yang sering dimainkannya. Sekelebat bayangan mengerikan tentang malam kecelakaan itu kembali hadir di benak Adril. Kemarahan langsung memanasi dadanya. Dadanya sesak naik-turun. Adril lalu melakukan tindakan yang tak pernah terlintas olehnya. Dia membuka perban tangan dan kakinya dengan cepat. Rasa sakit sudah tidak begitu membuatnya terganggu, seakan sakit sudah menyatu dengan dirinya.     Pandangannya menjadi liar. Ia menghirup oksigen sebanyak-sebanyaknya untuk mengusir kengiluan.
             Terengah-engah, Adril mencoba bangkit dari kursi rodanya. Tak tahu apa yang sedang terpikir olehnya, Adril meraih sepedanya. Tapi tetiba dia pun luruh. Dengkulnya tak kuat menopang tubuhnya. Lutut itu terantuk ke ubin hitam paviliun, menyenggol kursi rodanya. Dengan sekuat tenaga, Adril kembali bangkit berdiri. Kali ini ia bertumpu pada sepedanya, memegangi dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya yang patah menjulai lemah di sisi tubuhnya. Adril mulai jengah.
             "Kalau sempurna itu tak pernah ada, kenapa harus ada mimpi?" teriaknya marah. "Bintang bukan Tuhan. Bintang hanya bulan-bulanan anak kecil."
             Dia berteriak. Dia melangkah dan mencoba menduduki sepeda itu. Tentu saja berulang kali dia ambruk. Namun, berulang kali pula dia mencoba dan terus mencoba. Sampai akhirnya dia duduk menyeimbangkan diri memegangi sepeda itu dengan 1 tangannya yang sehat, lalu kaki kanannya menginjak pedal. Dia memukul-mukul dengkul kirinya yang sakit untuk bergerak. "Ayo dong, harus bisa!" ucapnya samar penuh kemarahan.
             Tidak berhasil. Lagi-lagi dia terduduk di ubin. Kini air mata menetes dari sudut luar matanya. Dia menendang-nendang kursi rodanya. Adril rebah. Lalu dengan tangannya yang bebas, dia memukul-mukulkan stang sepeda di kepalanya. Migrainnya makin hebat.
             Adril terisak. Ketukan stang sepedanya juga makin kencang. Tak peduli kepalanya memar dan mulai berdarah. Dia terus menghantuk-antukkan kepalanya membabi buta, kepala bagian belakang pun ikut dihentak ke ubin. Penyangga lehernya mengendur. Kini bahkan lehernya mati rasa.
             "Anjrit. Argh!"
             Lalu gelap, semua rasa pun sirna.

Aku dan semua
yang terluka karena kita

Aku kan menghilang
dalam pekat malam
lepas ku melayang

Biarlah ku bertanya
pada bintang-bintang
tentang arti kita
dalam mimpi yang sempurna

            Mimpi yang sempurna artinya tiada. Mimpi yang sempurna untuk jiwa yang mati. Mimpi yang sempurna untuk hati yang sepi.



Agustus 2012
@sansadhia
Terinspirasi dari lagu Peterpan, "Mimpi yang Sempurna"
Cerpen ini diikutkan dalam #CerpenPeterpan