"Indahmu tak seindah pikirmu, cerahmu tak secerah matamu. Tapi kau tahu kau salah, mengapa kau membisu?"

Kamis, 19 Desember 2013

Sunday Meeting Penulis Bukune, Gagas Media, Panda Media

Sejak menerbitkan buku Penunggu Puncak Ancala, aku dan teman-teman penulis Ancala jadi sering diajak ngumpul dan ngobrol bersama redaksi Bukune. Senang berbagi ilmu tentang dunia penulisan dan penerbitan. Sejak terbit buku Ancala ini pula, aku jadi resmi bergabung dengan klub penulis Bukune. Yah, meski baru menerbitkan 1 buku, tapi kami cukup terharu dengan apresiasi ini. Lumayan untuk menggenjot semangat untuk terus produktif menulis.

Aji mumpung juga, BukuneGagas Media, dan Panda Media yang bersaudara ini punya inovasi acara untuk mengakrabkan para penulisnya lewat kegiatan Sunday Meeting. Sebenarnya ini acara internal 3 penerbit beradik-kakak. Nilai plusnya adalah kami bisa bertemu dengan penulis-penulis lain yang lebih senior, bisa berbincang, berkenalan, berbagi pengalaman.

Bareng penulis-penulis kece di Sunday Meeting #1


Sunday Meeting rutin diadakan setiap bulan dan formatnya pun tematis. Penulis memang butuh didekatkan. Sampai saat ini, aku sudah hadir dalam 2 kali Sunday Meeting, November dan Desember. Sunday Meeting #1 tanggal 24 November 2013 bertema Self-Editing. Tim Ancala yang bisa hadir ya cuma aku dan Indra. Setidaknya penulis Penunggu Puncak Ancala turut hadir. Yang jadi pembicaranya adalah 3 editor senior Gagas Media dan Bukune. Ini informasi penting kalau kita ingin tetap berada di jalur kepenulisan: menulis dengan baik, berada pada genre yang diminati, mengetahui tata bahasa yang benar, serta mampu mengedit tulisan sendiri. Yap, meski ini bukan info baru buatku (karena sudah khatam berkuliah di Sastra Indonesia plus Ilmu Susastra), tapi seru juga kalau topik ini terus diulang-ulang sehingga aku sendiri bisa lebih peka dengan tulisan sendiri.

Ini dia para penulis asuhan editor Ry Azzura Bukune.

Tim Ancala bersama Bang Raditya Dika

Keceriaan tim penulis asuhan Ry Azzura. Semoga kompak, ya.

Temu Penulis Bukune-GagasMedia-PandaMedia dalam Sunday Meeting #2


Sunday Meeting #2 topiknya lebih seru. 15 Desember 2013 kami berkumpul lagi. Kali ini lebih ramai karena kuota penulisnya ditambah menjadi 40 penulis. Tadinya kan cuma terbatas 15 orang. Tema yang kedua ini adalah Personal Branding for Writers dari Raditya Dika. Siapa yang tidak mengakui keberhasilan personal branding dari penulis plus komedian yang satu ini?

Raditya Dika memberikan tips-tips yang harus dilakukan dalam personal branding yang baik, mulai dari konsep, branding, dan tools. Intinya, kita tidak dapat menciptakan brand, tapi kita mampu mempengaruhi sebuah brand. Dalam hal ini peran social media sungguh penting dalam menciptakan viral. Saat personal branding berhasil dan positif, apa pun buku yang kita terbitkan, orang akan tahu dan baca. Biarkan branding berkembang dengan sendirinya.

Oke, Bang Dika, aku belajar banyak darimu.

Oiya, sedikit spoiler, untuk Sunday Meeting #3 bulan Januari nanti temanya adalah Public Speaking. Wah, semakin menarik, ya.

Selasa, 17 Desember 2013

Ngobrol #Ancala : Langkah Mula Penunggu Puncak Ancara yang Seru dan Menggemaskan


Penunggu Puncak Ancala memang sangat super. Super penulisnya, super bukunya, super editornya, super penerbitnya, super kisahnya, super pula pembacanya. Setelah terbit awal Oktober 2013, akhirnya kami Pancala alias 5 Penulis Ancala (Indra, Acen, Dea, Ageng, dan aku) berkesempatan ngobrol asyik bersama para pembaca dan khalayak umum. TM Bookstore Depok Town Square, 1 Desember 2013 menjadi saksi langkah pertama kami melahirkan jejak Penunggu Puncak Ancala ini. Ya, Penunggu Puncak Ancala telah rilis secara resmi. Dan kami berlima ada di sana siang itu, berbincang dengan pembaca. Penerbit Bukune dengan ciamik menyiapkan spanduk lebar yang digantung di langit-langit TM Bookstore Detos. Beberapa bangku telah berjajar di tengah-tengah diapit oleh rak buku.



Wah, kami sangat antusias sekali hari itu. Antusias pertama karena kami berlima semakin kompak dan semakin sering bertemu lalu tertawa-tawa. Antusias kedua adalah karena kami akan eksis bersama untuk kali pertama. Antusias ketiga adalah penasaran ingin melihat seberapa antusias orang menyambut terbitnya buku kami. Antusias berikutnya tentu saja menunggu makan enak dan puas yang dijanjikan oleh Om Em, si penanggung jawab Ngobrol #Ancala usai acara. Yes!

Ngobrol #Ancala berlangsung selama 2 jam, dari pukul 14.00 hingga pukul 16.00. Lalu.... di luar dugaan ternyata bangku yang tersedia cukup penuh. Dan banyak pula yang memilih berdiri atau mengintip dari balik beberapa rak. Yang pasti, acara Ngobrol #Ancala sukses menarik perhatian pengunjung TM Bookstore Detos siang itu.












30 menit pertama kami masih malu-malu berkenalan dengan pembaca dan menjawab pertanyaan moderator yang notabene adalah editor Penunggu Puncak Ancala, Ry Azzura. Pertanyaannya seputar pengalaman menulis dan pengalaman mendaki gunung plus pengalaman horror. Lalu, obrolan semakin mengalir dan sepertinya cukup membuat penonton antusias. Partisipannya tidak cuma remaja, tetapi ibu-ibu dan bapak-bapak juga yang kebetulan pencinta gunung.

Kami sangat senang melihat atensi pengunjung TM Bookstore yang lumayan ramai sore itu. Interaksi kami tidak cuma sepihak dan tidak cuma sebatas tanya-jawab. Ada sesi curhat, sharing pengalaman, atau malah sekadar memberi selamat. Selain itu, yang bikin orang-orang antusias adalah adanya reward untuk penanya atau penanggap. Ya, sedikit oleh-oleh dari Bukune dan kami berlima. Khususnya Dea yang bagi-bagi souvenir sisa perjalanannya melalang buana ke berbagai negara. Kado dari Dea laris manis.

Seru juga ternyata talkshow seperti ini. Format acaranya dibuat santai. Penulis dan pembaca pun menjadi dekat. Apalagi topik-topik mengenai kisah horror, perjalanan, penjelajahan, khususnya gunung sungguh tema yang menarik. Sepertinya waktu 2 jam tidak cukup untuk ngobrol banyak. Obrolan dari kepenulisan, penerbitan, hingga pengalaman mendaki gunung dan menjelajah alam benar-benar menjadi trending topic hari itu.




Usai berbincang-bincang, yang meski belum semuanya puas, tapi karena waktu membatasi, kami harus lanjut ke sesi book-signing. Pengunjung sampai petugas TM Bookstore ikut bergantian dalamm book-signing ini. Sesekali kami juga sempat diculik untuk foto bareng pembaca. Yang pasti seru dan menyenangkan. Ini baru Ngobrol #Ancala yang pertama, menandakan launching Penunggu Puncak Ancala. Akan ada Ngobrol #Ancala berikutnya di tempat dan kota yang berbeda. Tak sabar bertemu pembaca, karena tanpa mereka kami tak berarti apa-apa.



Selamat membaca, ya.


Senin, 16 Desember 2013

Panas Jakarta dan Stasiun Kereta

Gambar ini dipinjam dari Google.com


            Apa yang kualami hari ini membuatku tahu bahwa banyak orang tidak beruntung di sekitarku. Hiruk-pikuk zaman teknologi dan dunia maya membuatku terlena. Aku selalu bertanya-tanya, mengapa orang menyebut hidup di Jakarta itu keras? Yang kulihat selama ini adalah apa yang ada di hadapanku saja. Aku tidak melihat siapa yang ada di sebelahku, bahkan aku tidak melihat apa yang terjadi di belakangku. Kini, aku mengerti. Udara Jakarta begitu panas, sangat panas, sehingga mampu membakar mimpi-mimpi yang tumbuh di negeri ini.
            Hari ini aku menjalani rutinitasku yang membuatku bosan. Kumulai hariku dengan mengemasi segala perlengkapan kuliah. Berkacak pinggang di depan cermin menjadi kebiasaanku setiap pagi sebelum berangkat. Kuperhatikan penampilanku dengan gaya kasual hari ini. Rambut pirangku dibiarkan menjuntai hingga bahu. Kemeja polos toska menutupi tubuh kurusku dengan bawahan celana polos hitam yang membalut tiga per empat kakiku. Setelah kukenakan sneakers, aku siap memulai hari di kampus.
            Aku berjalan keluar kamar dan meneriakkan salam pada ibuku. Kusambar segelas susu yang tersedia di meja makan, kuteguk hingga habis.
“Nak, kamu ke kampus naik angkot aja, ya. Ayah sudah berangkat pagi-pagi sekali ke luar kota. Kamu bisa, kan? Naik aja angkot biru langsung ke kampusmu,” teriak ibuku dari dapur.
“Apa? Tapi, Bu, aku kan belum pernah naik angkot. Aku belum tahu bagaimana lingkungan di luar. Aku, kan, masih baru di sini.”
“Makanya belajar. Masa ke mana-mana harus diantar terus. Udah. Berangkat! Nanti angkotnya penuh, lho.”
“Ah, Ibu. Kalau begini, aku bisa telat.”
Aku berlari membuka gerendel pagar. Setengah berlari, tanpa kusadari kakiku menginjak tanah lunak basah di depan rumah, bekas hujan tadi malam. Sepatuku terkena noda. “Ah, sial,” kutukku. Sepanjang jalan aku terus menggurutu. Lingkungan Jakarta benar-benar asing bagiku. Aku kaum pendatang dari Sumatera. Tiga bulan lalu ayah dipindahtugaskan ke Jakarta. Aku memilih untuk tinggal bersama paman dan bibi, tetapi ayah menginginkanku kuliah di sini.
            Aku berjalan dengan langkah cepat. Lingkungan komplek masih sepi. Di ujung jalan sana kulihat dua orang anak sedang asyik bermain tanpa alas kaki. Rambut mereka acak-acakan. Senang sekali mereka. Begitu bangun tidur, mereka langsung menembus pintu rumah dan bermain dengan selang air. Hidup tanpa beban dan tidak terikat akan suatu aturan, pasti lebih menyenangkan. Tidak sepertiku. Aku jenuh dengan rutinitasku. Sepagi ini aku mesti bangun dengan sebuah keterpaksaan. Aku tidak begitu suka hidup di kota besar. Macet dan sangat bising adalah sesuatu yang kuhindari.
            Matahari kulihat mulai merangkak naik dan membakar bumi. Aku melangkah cepat menuju halte. Saat tiba di depan komplek, aku berbelok ke kanan dan kulihat banyak orang berkerumun menunggu angkutan umum. Aku bergabung dengan orang-orang itu. Tempat duduk terisi penuh, aku hanya bisa berdiri berlindung di belakang seorang laki-laki bertubuh gempal, menghindar dari panas mentari pagi. Dia tampak berkeringat dan agak bau. Parfum dengan keringat bukanlah campuran aroma yang baik.
            Lama berdiri, angkot yang kutunggu tak kunjung tiba. Orang di sekitarku banyak yang mengeluh. Keringat mulai mengucur dari pangkal-pangkal rambutku. “Hufh,” desahku. Aku tidak biasa menunggu lama di sini. Bahkan aku sendiri belum pernah pergi kemana-mana seorang diri dan naik angkot pula. Kupandang arloji di tangan kiriku. Jam tujuh. Aku mulai resah karena akan telat kuliah. “Ah, coba ayah bisa mengantarku hari ini,” gerutuku.
            Angkot yang kutunggu akhirnya datang. Namun, aku kalah bersaing. Kuurungkan untuk naik. Aku menggoyangkan kakiku untuk menahan resah. Ada bus datang di belakangnya. Aku terbawa arus orang-orang yang berjalan mendekati bus itu. Kekhawatiran menyelimutiku. Aku mencoba keluar dari kerumunan itu. Namun, tubuhku begitu kurus untuk menahan mereka. Mau tidak mau, kunaikkan kakiku memasuki bus itu. Aku berdiri bersama orang-orang lain di bagian tengah bus. Tas selempangku tersangkut di pintu. Kucoba menariknya perlahan, tapi kerumunan melindasku. Aku semakin terdesak. “Eh, tolong, dong, Mas, tas saya!” ujarku setengah berteriak. Untung ada yang berbaik hati melepaskan sangkutan tali tas dari pintu. Aku sempat mengangguk pelan sambil berterima kasih lirih pada orang itu sebelum kembali terdorong ke tengah-tengah bus.
Kini, aku mulai gelisah. Aku tahu bus ini tidak melewati kampusku. Aku memperhatikan jalanan di luar sana seraya menyeka keringat di keningku. Kuperhatikan juga orang-orang di sekelilingku. Seseorang duduk memeluk tas kerja di depan sana. Ia duduk didampingi oleh seorang pria yang menyandarkan kepala ke jendela, tertidur. Di belakang mereka, seorang pemuda duduk dengan cuek sambil mendengar musik melalui headset. Ada pula yang ngobrol bersama teman di sebelahnya, bahkan seorang wanita asyik menelepon dan berbicara dengan volume tinggi. Macam-macam perangai orang di sini. Baru kali ini aku benar-benar melihat fenomena seperti ini. Sebelumnya aku tidak pernah menaiki bus yang sesak.
            Bus terus melaju dengan suara bising. Bus yang sebenarnya sekarat dengan besi pegangan yang telah berkarat, tapi apa boleh buat. Aku berada di dalamnya. Ketika bus berhenti di sebuah stasiun kereta, aku pun turun. Aku hanya mengikuti arus. Banyak orang yang sepertinya juga mahasiswa turun di stasiun ini. Lagipula, aku ingat kata sopirku, “Kalau tersesat atau salah naik angkot, cari saja stasiun kereta. Nanti tinggal naik kereta sampai kampus.”
Aku yakin, untuk mencapai kampus, aku harus naik kereta, karena bus yang kunaiki tidak akan sudi mengantarku hingga kampus. “Duh, mudah-mudahan aman.” Aku tidak biasa naik kereta, apalagi sendirian.
            Aku membeli tiket Commuter Line, tapi kereta yang lebih dulu datang adalah kereta ekonomi. Tanpa piker panjang, kuganti tiketku dengan yang ekonomi. Beruntung, keretaku datang. Tanpa pikir panjang, kulangkahkan kaki ke dalam. Tidak terlalu penuh dan tidak kosong. Lagi-lagi aku berdiri. Kupeluk tas yang biasa kuselempangkan, kukangkangkan kaki untuk menjaga keseimbangan. Kulihat di sekelilingku. Tidak jauh berbeda dengan suasana di bus tadi.
            “Koran....Koran....Tempo seribu, Kompas seribu, Media...Media...” teriak seorang anak kecil menjajakan setumpuk koran yang di pelukannya. Kupandangi ia. Tubuh ceking dengan baju kaos lusuh merah dengan celana pendek merah, seperti celana seragam sekolah. Sendal jepit menjadi alas kakinya yang kumal. Ia menawarkan dagangannya kepadaku. Hatiku terenyuh. Anak seusianya tidak pantas berada di sini. Ia seharusnya sedang berlarian bersama teman-temannya di sekolah. Kukeluarkan uang lima ribu dari tasku. Kuambil satu koran di tangannya.
            “Yah, kak, nggak ada kembaliannya,” ucap anak itu. Dia terlihat sopan sekali. Suaranya kecil dan lembut terdengar di telingaku.
            “Hmm, kakak juga nggak punya duit receh, Dek. Tapi, ya, sudah. Ambil aja kembaliannya.”
            “Makasih, Kak.”
            Dia pun berlalu dan menawarkan koran-korannya kepada orang lain. Sepeninggalnya, aku membolak-balik koran di tanganku. Kereta melambat dan berhenti di sebuah stasiun. Penumpang yang naik lebih banyak disbanding penumpang yang turun. Kereta mulai sesak. Kututup dan kulipat koranku lalu menjejalkannya ke dalam tas. Aku segera mengambil posisi yang nyaman agar aku bisa tetap bernapas dan tidak terbawa arus.
            Kereta mulai melaju lagi. Di kereta yang penuh ini, masih ada orang yang lewat menjual makanan, entah makanan itu terjaga kebersihannya atau tidak. “Argh,” keluhku seraya aku memiringkan tubuhku untuk memberi jalan pada penjaja makanan itu. Tak lama berselang, ada pula pemuda yang membawa aksesoris wanita, kemudian penjual lem, buah, buku, alat-alat tulis, topeng monyet, dan pengamen muncul silih berganti. Selain itu, banyak pula pengemis dengan gaya berbeda meminta belas kasihan dari orang-orang. Kuperhatikan pula seorang bapak yang menyapu lantai kereta dengan asal-asalan saja dan meminta upah kepada orang di sekitarnya.
            Ini apa ya namanya? Sebuah sandiwara keretakah? Perasaan jijik, bau, sumpek, dan kasihan bercampur. Di tengah sesak orang yang hendak berangkat kerja, kuliah, sekolah, dan berbagai keperluan lainnya di sini, para pedagang, pengamen, pengemis, dan tukang bersih-bersih juga muncul. Mereka semakin memperlihatkan ketimpangan yang ada di kereta, padahal aku baru berdiri beberapa menit di gerbong ini. Mereka melewatiku seakan menjadi figuran sebuah sandiwara hidup. Aku sebagai tokoh utamanya dan bunyi kereta sebagai musik pengiringnya.
            Akhirnya sampai juga aku di sebuah stasiun yang dekat dengan kampusku. Lega. Angin segar pertama kali menerpa wajahku, dingin meniupi bulir keringatku. Kulihat sekilas ada seorang pria yang ditahan karena tidak dapat menunjukkan tiketnya. Berbagai alasan diucapkannya sembari berlagak akting meraba-raba kantongnya. Aku hanya geleng-geleng kepala saja melihat orang itu.
Kupandangi arlojiku dan betapa kagetnya aku melihat jarum jam menunjukkan pukul delapan lewat. Sudah terlambat untuk masuk jam pertama. “Ah, tahu begini, aku tidak perlu bela-belain bangun pagi-pagi. Kan, aku bisa minta anterin aja. Uh,” lirihku pada diri sendiri.
            Karena tidak perlu terburu-buru, aku berjalan dengan santai keluar stasiun. Kupandangi langit. Matahari tampak telah meninggi. Aku menerobos panas mentari, berjalan di trotoar. Jarak stasiun dengan kampusku memang tidak terlalu jauh. Aku kembali bertemu dengan banyak penjaja makanan, koran, dan aksesoris. Aku berjalan menghiraukan tawaran mereka. Di trotoar, ada beberapa pengemis yang duduk berjauhan. Jika bisa dihitung rata-ratanya, setiap lima puluh meter, aku akan bertemu dengan seorang pengemis. Aku memperhatikan mereka yang mengharapkan sumbangan dariku. Kupandangi jalanan yang masih basah dan becek karena hujan lebat merundung kota Jakarta semalam. Kudongakkan kepala memandang ke atas. Panas. Apakah mereka akan sanggup duduk di trotoar ini sampai siang bahkan sore hari? Begitu setianya mereka menunggu, padahal waktu mereka akan lebih berharga jika mereka mau berusaha.
            Memasuki gerbang utama kampus, ponsel di dalam tasku berdering. Aku merogoh tasku dan mengambil ponsel itu. Seketika, raut wajahku langsung berubah ketika membaca pesan masuk. Dari temanku. Dia mengatakan hari ini ternyata tidak ada kuliah sama sekali. Dosen-dosen di jurusan ikut seminar. Ah, kesal. Aku mencari tempat berteduh. Kebetulan di dekat sana ada pohon rindang dan bangku taman.
            Kuhempaskan tubuhku di bangku itu. Kukeluarkan sebotol minuman yang dibawa dari rumah. Kuteguk hingga habis setengahnya. Aku pun mulai mengatur napasku, seraya menggerutu, “Bangun pagi biar nggak telat, salah naik angkot, desak-desakkan di kereta. Ayah yang nggak bisa nganterin karena mau keluar kota siang ini dengan Pak Ahmad, sopirnya. Ah, ngapain ke kampus. Buang tenaga, buang duit. Panas, keringetan. Seandainya Pah Ahmad bisa menjemputku di sini.”
            Aku terus mengutuki diriku sendiri. Aku membayangkan sopir ayah bisa menjemputku di sini. Aku bisa merasakan sejuknya AC mobil dan akan kusetel musik dengan keras, sehingga aku pun dapat tidur di mobil.
Aku melongok kesana kemari. Tak ada mahasiswa yang kukenal untuk kuajak ngobrol. Aku tidak semangat lagi masuk ke kampus. Hal yang paling kuinginkan adalah segera sampai di rumah, mandi, dan melanjutkan tidurku yang tertunda tadi subuh.
Setelah puas dibuai angin sepoi-sepoi, aku pun berdiri dan mulai berjalan kembali ke arah stasiun. Aku memutuskan untuk naik kereta saja. Jam segini angkot yang lewat di depan komplek rumahku pasti penuh, mengangkut dagangan orang dari pasar. Hawa panas begini seangkot dengan bau ikan, ayam, daging, dan sebagainya akan membuatku mual. Jadi, lebih baik aku menghindari hal itu saat ini. Tapi nanti turun di mana, ya? “Ah, biarinlah. Nanti lagi di pikirin.”
Jalan beberapa menit, sampai juga aku di stasiun kereta. Suasananya lebih ramai. Ada warung-warung makanan yang berdiri di pinggir jalan. Angkot-angkot pun banyak berhenti di depannya, menunggu penumpang. Jalanan di sekitar stasiun terlihat macet. Aku berjalan memasuki gerbang stasiun, menghindari teriakan-teriakan dari para kernet yang menawari naik angkot. Aku mencari loket, membeli tiket Commuter Line sajaStasiun terlihat ramai. Ternyata kereta ada yang mogok sehingga jalur terhambat.
Aku membuka tasku dan meneguk air minum. Berkali-kali aku menyeka keringat di muka. Baju kemeja yang kukenakan telah basah oleh keringat. Sepatuku kelihatan kotor. Rambutku yang tadinya rapi, kini mulai tidak karuan. Kuikat saja asal-asalan. Aku tidak peduli lagi dengan penampilanku hari ini. Pulang, itulah tujuanku. Aku berdiri mengantre karcis. Tasku yang berat karena berisi buku kuliah, kujinjing. Bahuku pegal menyandang tas itu terlalu lama. Kuperhatikan orang yang berseliweran di sekitarku, sibuk dengan urusan masing-masing.
Aku melihat pasangan yang duduk di peron sambil berpeluk-pelukkan. Mereka tidak memperdulikan kerisihan orang di sekeliling mereka. Tak jauh dari sana ada pula ibu-ibu yang menimang anaknya yang menangis karena hawa yang panas pagi ini. Ada segerombolan preman yang berdiri di sudut peron memperhatikan orang lain berlalu-lalang. Semua tak luput dari perhatianku. Baru kali ini aku melihat begitu banyak orang dari berbagai kalangan dan berbagai tingkah polah. Ini hal yang beda bagiku. Aku tidak tahu apakah aku takjub melihat ini semua, miris, atau justru benci.
            Di tengah lamunanku, aku merasakan ada yang menarik tasku. Cepat. Ketika aku berpaling, tasku telah dibawa lari oleh seorang preman.
“Jambret... Jambret... To... Tolong.... Tolong....Pak, Bu, dia mengambil tas saya. Tolong... Tolong... Jambret...” Aku berteriak sekencang-kencangnya.
Semua orang melihat ke arahku. Aku keluar dari antrean, hendak mengejar, tapi ia telah tenggelam di tengah kerumunan orang. Satpam stasiun telah mengejar penjambret yang mengambil tasku itu. Mata sekian banyak orang yang tadinya memandang ke arahku, telah kembali kepada pikiran mereka masing-masing. Hanya beberapa orang saja yang mendekatiku.
            “Kenapa, Mbak?”
            “Dia mengambil apa saja?”
            “Mbak, nggak apa-apa, kan?”
            “Gimana ciri-ciri orangnya?”
            “Makanya, hati-hati, Mbak. Jangan bengong.”
            Aku tidak bisa menjawab pertanyaan dari orang-orang itu. Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Sesak. Aku tidak bisa menangis lagi. Aku tidak bisa berteriak lagi. Suaraku tercekat di tenggorokan. Aku hanya bisa mengatur napasku.
            Kekacauan itu hanya terjadi sesaat. Berondongan pertanyaan orang-orang pun mulai berkurang. Mereka tidak lagi mengerumuniku. Satpam yang mengejar tadi tidak kunjung kembali. Tak ada alasan untuk menangis. Uang, ponsel, kartu pengenalku ada di dalam tas. Tidak ada sepeser uang pun tersisa di kantong celanaku. Untuk menelepon rumah dengan telepon koin pun tidak bisa.
            Aku melangkah gontai ke arah bangku-bangku stasiun yang kosong. Duduk lalu mengikuti orang-orang yang berjalan dengan pandanganku. Sedikit banyak aku paham tentang Jakarta hari ini. Kehidupan keras Jakarta yang menurutku aman dan damai saja, ternyata menyimpan kepedihan di sekelilingnya.
            Saat itu, tertangkap olehku sepasang kakek nenek yang berjalan berdua. Pakaian mereka lusuh dan tubuh mereka tampak kumal. Mereka menggunakan sendal jepit yang telah tipis dan kotor. Mereka berjalan di hadapanku. Tak jauh dariku, mereka pun berhenti dan duduk lesehan begitu saja di lantai stasiun. Mereka masih sempat bercanda. Mereka duduk berdekatan sambil menghitung beberapa uang ribuan. Mesra sekali. Meskipun hanya beberapa uang ribuan di tangan, mereka tampak senyum-senyum saja. Jakarta yang panas dengan sandiwara keretanya mengajarkan mereka banyak hal. Jakarta tak lagi mengajarkan mereka perduli, tapi mengajarkan mereka cara bertahan hidup. Tak ada yang memperhatikan dua pasangan tua itu. Hanya aku yang melihat. Hanya aku yang duduk termangu.

Agustus 2013



Sungai Rhine Swiss Terbangkan Angan dari Paris hingga Berlin

Sungai Rhine... membawa anganku hingga Paris dan Berlin.



Ada satu sungai besar dan panjang yang membelah kota Basel, Swiss. Sungai ini membentang memisahkan Basel Besar dan Basel Kecil (itu sebutan orang Basel untuk memisahkan wilayah pemukiman berdasarkan tingkatan ekonomi). Setiap kali tram yang kunaiki melewati jembatan yang lebar ini, aku terkagum dengan aliran air yang tenang tapi tampak mengalir pasti. Sungai Rhine, memabukkan anganku saat menatapnya hingga kesekian kali.

Aku tak begitu tau berapa lebar sungai itu, tapi kapal pesiar lalu lalang melaju di bawah kami. Ada taman yang disediakan di pinggir sungai, pas sekali untuk melihat pemandangan sungai itu. Saat matahari tampak menyeruak setelah berhari-hari bersembunyi di balik kabut winter, orang-orang Basel kelihatan menikmati waktu berjemur di pinggiran sungai sana. Meskipun cuaca masih terasa dingin menusuk, mereka seperti tak segan duduk berlama-lama sembari membawa anjing-anjing mereka berjalan-jalan.

Aku terpukau dengan sungai ini. Usut diusut, sungai Rhine termasuk sungai terpanjang yang ada di Eropa. Sungai ini membelah Swiss, melewati Jerman hingga Prancis. Ini menjadi salah satu jalur transportasi orang yang ingin bertamasya sepanjang sungai.

Airnya biru. Aku tak melihat setitik pun sampah atau limbah mengotorinya. Kulihat burung-burung dara terbang sambil menyentuhkan kaki mereka di permukaan air, lalu terbang lagi yang tinggi. Aku tidak begitu tau kedalamannya. Tapi mungkin ada beberapa orang yang melakukan percobaan bunuh diri mengingat tingginya jarak jembatan dengan permukaan air. Siapa yang tidak gamang?

Sungai Rhine ini sangat meneduhkan. Di tengah negara Swiss yang tidak punya laut, sungai ini menggantikannya. Anginnya yang meniup pelan hingga kencang, airnya yang sesekali bergelombang kecil, serta kapal yang melintasinya pada waktu-waktu tertentu, cukup membuat pelancong di Basel itu puas. Aku pun juga puas dengan kebersihan yang sangat dijunjung tinggi negeri Swiss itu.


Swiss, Negeri dengan Sejuta Cokelat dan Keju

Swiss adalah negeri coklat... dan keju.

Swiss itu sangat dingin. Apalagi dengan bentangan pegunungan Alpen yang melingkupinya. Di saat winter seperti itu, paling enak makan coklat. Benar kata orang, coklat tu menghangatkan. COklat itu menstimulus otak untuk perasaan tenang. Itulah swiss. Negeri yang tidak terlalu hingar bingar karena warganya memakan coklat.


Aku tidak terlalu berlebihan bila menilai Swiss sebagai negeri yang senyap. Bukan berarti semua orang berbicara berbisik, atau tidak ada panggung konser yang memekakkan telinga. Tapi yang kulihat justru pertemanan dan perbincangan hanya dilakukan seperlunya. Mereka sepertinya tidak mengenal basa-basi. Jarang pula kulihat ada anak-anak muda yang cekikika sepulang sekolah atau seraya menunggu kereta.

Suatu hari aku berkesempatan berjalan-jalan ke pasar tradisional di Basel. Pasar itu terletak di depan gedung pemerintahan Basel. Sebut saja namanya Balai Kota. Jangan harap kamu akan mendapati pasar yang ramai, celoteh kencang pedagang, gosip para pembelanja, dan sebagainya. Pasar ini benar-benr jauh dari hiruk pikuk Dan jangan pula bayangkan pasar yang kotor dan becek. HEy, ini Eropa. Semuanya bersih. Konon katanya, Swiss adalah negeri terbersih di tanah Eropa sana. yaa itu kan konon, aku percaya saja mengingat belum menginjak negara yang lain. Negara terakhir yang bersihnya keterlaluan yang pernah kukunjungi adalah Singapura. Konon pula katanya Singapura itu memang disebut Swiis-nya Asia. Oke catat, aku bahkan baru tau lho istilah itu dari sebuah buku The Geography of Bliss karangan Eric Weiner.

Lanjut lagi mengenai pasar tradisional tadi. Apa saja yang dijual? mayoritas adalah coklat dan keju segar, murni, asli. Bayangkan melihat keju-kejuu batangan mulai dari porsi kecil sampai besar dihampar begitu saja. Para pencinta keju akan ngiler abis-abisan. Aku beruntung tidak termasuk kaum itu. namun aku kagum jajaran keju yang ada di sana. Di Indonesia aku mengenal keju dalam kemasan dengan komposisi gizi lengkap di kemasannya. Saat itu aku justru melihat balok-balok keju berwarna kuning pucat dijajakan di pinggir jalan terbuka, dengan udarayang super dingin. tidak perlu takut akan meleleh karena winter itu kulkas alam

Tapi jangan langsung kalap menyerbu pasar ini, karena harganya lebih mahal daripada harga coklat dan keju di toko, swalayan maupun supermarket.  KAta pemanduku dari KBRI, barang yang dijual di sini adalah hasil ladang mereka. Petani di sini makmur dan sejahtera. Mereka menjual hasil ladang itu dengan harga tinggi di pasar tradisional. sementara di toko-toko relatif lebih murah. Tetapi kenapa tetap ramai? Karena barangnya masih segar dan murni. Oke, kuurungkan untuk berbelanja di pasar sini. Kalau beli yang murni-murni untuk oleh-oleh, barangkali saat pesawatku meninggalkan Zurich, semua coklat akan lumer dan keju akan berbau menyengat karena tidak berada pada suhu seharusnya.


Swiss, Ada Aturan dan Ada Kepercayaan


Swiss, negara yang beroperasi dengan aturan dan kepercayaan.


Tepatnya tanggal 27 Februari 2013 lalu, aku menginjakkan kaki di sebuah negara paling tidak pernah berpihak di seluruh dunia, Switzerland atau bahasa kampungnya sama dengan Swiss.

Selama 6 hari di sana rasanya tak cukup apalagi tujuanku ke sana bukanlah untuk traveling. Aku hanya mendampingi ibuku yang ikut festival kebudayaan dunia MUBA di Basel. Tapi aku punya beberapa cerita yang bisa kubagi di sini. Yah, mungkin sebagian orang sudah tau, tapi gak ada salahnya berbagi kembali.

Pesawatku saat itu mendarat di Zurich dengan suhu udara 0 derajat celcius tepat pukul 6 pagi, beda 7 jam dengan waktu Indonesia. Saat itu aku tahu bahwa orang Swiss memiliki perhitungan waktu yang sangat akurat. Setelah pengecekan imigrasi dan bagasi, kami berjalan ke pintu kedatangan. Udara di dalam ruangan hangat, tapi begitu keluar pintu, jangan harap anda bisa menahan terpaan udara pagi musim dingin dengan tetes salju masih menyisa di aspal. Dingin seperti bermalam di kulkas (walaupun belum pernah berdiam diri di  dalam kulkas, tapi setidaknya rasanya seperti itu), seperti memegang batu es sekitar 5 menit. Dingin yang ngilu. Aku langsung mengalungkan syal dan memakai sarung tangan, meski sedikit hangat, tapi lumayan membekukan ujung-ujung saraf.

Kami telah ditunggu beberapa utusan dari KBRI. Kami punya waktu sekitar 10 menit untuk mengemasi bagasi karena katanya pukul 7 teng, bus sewaan KBRI akan sampai di lobi dan mereka tidak bisa menunggu barang 5 menit pun. Sistem di sana memang telah diatur seperti itu. Bus yang disews pukul 7, maka tepat jam segitu bus itu datang dan sopirnya tidak bisa menunggu. Di sini serba sigap karena setiap orang yang bekerja di negara itu dibayar per jam. Mereka tidak mau merelakan waktu barang 1 menit saja untuk sebuah kelalaian.

Aku pun bergegas saat busnya datang. Sang sopir dengan ramah menyapa kami dengan berbahasa Inggris. Bahkan sopir pun sangat berpendidikan. Bus itu akan melaju mengantarkan kami ke kota Basel dalam 1 setengah jam. Jadi pukul 08.30 kami sudah di hotel. KBRI telah menyusunkan jadwal kami dengan rapi.

Kulihat Basel adalah kota yang tak terlalu besar. Jalanannya dipenuhi garis-garis yang merupakan jalur jalur tram, jalur khusus sepeda, jalur untuk parkir, jalur untuk orang buta, kursi roda, anak-anak, bus, dll. Aku jatuh cinta dengan kota ini. Semua diatur sedemikian sempurna. Semua pun berjalan dengan semestinya.

Kami dibagikan sebuah kartu, katanya itu kartu pass untuk naik kereta selama berada di Basel. Tadinya kupikir kartu itu ditunjukkan ke petugas stasiun atau petugas kereta setiap naik kereta. Ternyata tidak demikian adanya. Kartu itu hanya disimpan, buat berjaga-jaga jika sewaktu-waktu ada pemeriksaan.

Nah, yang jadi pertanyaan, kapan pemeriksaan itu dilakukan? Selama aku berada di sana, sama sekali kartu kami tidak diperiksa, begitu juga dengan orang-orang bule itu yang kesehariannya naik kereta. Mereka mengisi voucher tiket di sebuah mesin mirip mesin ATM yang ada di halte. Mereka mengisi voucher, tapi tidak pernah ada yang memeriksa. Lantas bisa saja dong ada orang yang menyelinap tanpa bayar? Anyway, di Basel ini ada kereta besar yang menghubungkan antar kota dan negara, serta kereta kecil atau tram yang menghubungkan setiap wilayah di kota Basel. Kartu yang diberikan Orang KBRI pada kami adalah kartu tiket untuk naik tram.

Akhirnya aku tau jawabannya. Negara itu menjunjung tinggi kepercayaan. Transportasi di Basel beroperasi dengan sistem kepercayaan itu dan takjubnya semua orang menaatinya. Kebayang kan kalau di Indonesia diterapkan sistem seperti itu? Orang kita masih termasuk barbar untuk diberikan kepercayaan semacam itu. Sementara di Swiss, denda bukanlah hukuman, melainkan rasa malu karena mendapat penghinaan publik serasa seperti hukuman mati.

Road to Penunggu Puncak Ancala Launching Book

Ini dia 5 Penulis #Ancala

Bisik-bisik kiri-kanan baik positif maupun negatif sudah kami dengar. Tepat sudah 2 bulan Penunggu Puncak Ancala terbitan Bukune berada di toko buku. Mulanya tidak ada yang berbeda dari kami. Kami tetaplah 5 anak tengil yang hobi traveling a.k.a. menjelajah a.k.a. mendaki gunung, yang lalu dipertemukan dan diajak menulis oleh seorang editor Bukune.

2 bulan Penunggu Puncak Ancala terbit, kami mulai belajar self branding di beberapa sosial media, termasuk blog ini. (Gue akan garap blog ini lebih serius tentunya). Yah, namanya juga masih tengil, kami tetap saja masih malas-malasan menulis via blog. Harusnya per hari, 1 postingan blog tayang. Namun, (lagi-lagi) sejak Penunggu Puncak Ancala terbit, kami sudah mulai berpikir bahwa apa yang kami tulis bukan sekadar sharing curhat horror berlimaan, melainkan membagi cerita pada masyarakat luas. Ketengilan kami memang harus dikurangi.

#Ancala di tengah jajaran buku-buku horror

Grab it fast!!!

Berkat Editor Ry Azzura, kami jadi sering bertemu, berkumpul, dan bercengkerama. Kami menyebutnya fun meeting. Intensitas pertemuan mulai memasuki tahap sangat sering saat memasuki bulan November 2013. Yup, kami punya banyak rencana. Salah satunya launching secara resmi dari kami dan Bukune untuk buku Penunggu Puncak Ancala. Sebenarnya perencanaannya sudah sangat lama. Tapi baru benar-benar diseriusi bulan November ini. Maklum, kami masih tengil dan punya kesibukan masing-masing. Ini yang membuat Ry Azzura kadang-kadang murka. Menghadapi kami yang hobi traveling masing-masing ini membuat jadwal kami bentrok dan tumpang tindih. Sebut saja Dea Sihotang, dalam kurun 3 bulan terakhir sejak Penunggu Puncak Ancala naik cetak, doi sudah melalangbuana ke 3 negara plus 3 kota di Indonesia (kalau gue nggak salah ingat, ya). Nah, belum lagi Acen yang juga mulai disibukkan dengan kegiatannya ke Yogyakarta dan Malaysia berkali-kali dalam 2 bulan terakhir. Ageng Wuri masih sangat disibukkan dengan latihan Aikido-nya plus ngetrip ke Pulau Pari dan Yogyakarta juga. Indra Maulana malah sedang girang melancong ke mana-mana menjelajah alam, hingga ujung timur pulau Jawa (baca: Bromo). Sementara gue sendiri juga sempat bertolak ke Pari dan Bali bulan lalu.


Hangout #Ancala Team di CoffeeLife

Hah, kalau dipikir-pikir, pantas saya Ry Azzura bawel mengumpulkan kami di tengah kesibukan yang padat. Bukan sibuk kerja atau kuliah, lho, ya, tapi sibuk jalan-jalan. Setelah ngobrol-ngobrol melindur, akhirnya bertemu 1 titik yang jadwal kami benar-benar kosong (atau dipaksa dikosongkan). Tanggal 1 Desember 2013, pukul 2 sore Penunggu Puncak Ancala akan launching di TM BookStore Depok Town Square, Depok. Sepanjang hayat Penunggu Puncak Ancala lahir, ini adalah kali pertama kami mengadakan talkshow. Ini pertama kalinya kami akan menampakkan wujud pada para pembaca. Ya, Penunggu Puncak Ancala resmi kami berikan kepada seluruh khalayak dengan quote-quote menarik di beberapa lembar halamannya.

Dan tadi malam (malam Jumat Kliwon kata Ageng), kami kembali berkumpul untuk fun meeting menjelang talkshow launching. CoffeeLife Cafe resmi menjadi markas kami karena tempatnya yang cozy, murmer, dan wifi antilelet. Pertemuan ini didalangi oleh Ry Azzura dengan agenda teknis talkshow, perencanaan talkshow selanjutnya, plus live tweet bersama dan bagi-bagi hadiah. Yak, ini juga kali pertama kami nongol di sosial media serempak menyapa pembaca. Mulanya sepi, tapi begitu tau kami bagi-bagi beberapa pernak-pernik, sapaan pembaca pun mangalir. Pertanyaan demi pertanyaan kudu dijawab yang dimoderatori oleh admin @Bukune. Bagi yang online malam itu, linimasa @sansadhia@AgengWuri@akumelancong@acentris@deasihotang@Bukune@RyAzzura jebol pol. Live Tweet selama 3 jam dengan ditemani kentang goreng lumayan bikin lelah. Padahal kami cuma duduk dengan gadget di depan mata.

Siap-siap Live Tweet, menunggu para jejaka datang.

Tampang bingung memilih pemenang Tweet Quiz #Ancala

Nah, setelah bertemu di sosial media, kita akan lanjut bertatap muka. Ayo, datang beramai-ramai, ya, tanggal 1 Desember 2013. Kita akan ngobrol asyik dan seru-seruan.

Kisah Ancala dari kami untuk kalian.

Antusias, tak sabar, deg-degan. Kami siap bertemu para pembaca. Kami menunggu komen dari semua. Semoga setelah ini, talkshow berlanjut di tempat-tempat lain.

Tertanda,

5 penulis Penunggu Puncak Ancala
Salam Ancala!