"Indahmu tak seindah pikirmu, cerahmu tak secerah matamu. Tapi kau tahu kau salah, mengapa kau membisu?"

Selasa, 19 Juli 2011

Mengulang Euforia LENKA

Perjalanan Lenka


“Lenka melompat dari lantai lima.”

Akhirnya penantian panjang berakhir juga. LENKA, novel 262 halaman meluncur. Lenka akhirnya melompat juga. Aku duduk menekur dengan mata tertuju pada deretan huruf di dalam Lenka. Terkenang sesuatu satu setengah tahun yang lalu. Memori ini tidak tersimpan rapi, sama seperti alur Lenka yang acak tapi menjadi satu kesatuan puzzle yang akhirnya tersusun. Pernik di otakku menerawang jauh ke beberapa bulan penggodokan Lenka.

Mari kembali pada proses kreatif lahirnya Lenka.
Bermula dari ide sang Mahaguru kami di Bengkel Penulisan Novel DKJ di penghujung Desember 2009. Lenka, seorang gadis, model, mash belia, berdarah Indo-Hungaria melompat dari lantai 5 dalam acara penggalangan dana. Kalimat ini menjadi awal terbentuknya perkumpulan Sarekat Penulis Kuping Hitam.

Dari ide cerita muncullah berbagai setting dan alur. Topik ini dilempar ke beberapa orang peserta bengkel novel DKJ angkatan 08/09. Kisah pun mengalir tusuk-menusuk. Setiap orang dapat bagiannya masing-masing yang harus digarap dari situasi yang telah diberikan. Tak dapat dielakkan, pertarungan pun terjadi antaranggota. Yang satu mengomentari tulisan yang lain, dan yang lain sibuk merevisi agar alurnya bisa disambung-sambungkan. Prosesnya tidak dalam satu kali penulisan. Tapi berkali-kali, bahkan ada yang dirombak ulang. Selain itu, tidak jarang, dari satu situasi yang dikembangkan, akan muncul setting yang baru. Cerita semakin liar dan berkembang, tapi tetap pada satu koridor topik utama. Ide dan fantasi yang semakin melalang buana antar belasan kepala yang terlibat sempat kebingungan akan diapakan tokoh Lenka ini.

Meski ini menjadi proyek bersama untuk sebuah cerita, plotnya terpisah. Sama seperti tokoh utamanya, alurnya pun meluncur melompat-lompat. Setiap bab mewakili satu setting cerita yang nanti menjadi benang merah setiap kejadian. Inilah formula mengapa novel ini bisa digarap beramai-ramai. Kebebasan untuk mengembangkan cerita, keliaran mengolah imajinasi dan menyingkronkannya dengan informasi membuat pertarungan antarpenulis pun terjadi. Konflik Lenka yang memuncak, konflik pemikiran anggota Sarekat terus mengalir. Pengeroyokan sering terjadi jika salah satu atau beberapa dari kami mulai 'nakal' menelengkan kemudi keluar jalur. Ada yang sekarat. Tentu saja. Namun tak kehabisan napas. Sedangkan aku, kekurangan amunisi untuk bertempur di milis. Setoran demi setoran melaju bebas. Ada rambu jalan yang harus dipatuhi. Aku tetap pada jalurku. Kurang menjelajah memang. Kurang berkelok. Kurang lihai menyelip. Selamat untuk beberapa saat. Tapi, toh, aku diterkam juga. Kembali aku meluncurkan imajinasi pada plot yang lebih dalam lagi. Ketelitian menghadap jalanan. Gesit tanpa membuang-buang kata. Mengucurkan banyak keringat untuk mencapai garis finish bukan pekerjaan gampang. Perkiraan waktu yang ditargetkan dilewati begitu saja. Darah Lenka belum berhenti mengalir. Semua masih semangat melaju.

Tapi setelah pertarungan berbulan-bulan, melewati masa-masa jenuh, beberapa pertemuan hiburan, dan berkali-kali dicaci maki dalam karya, akhirnya Lenka terangkum dengan baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar