"Indahmu tak seindah pikirmu, cerahmu tak secerah matamu. Tapi kau tahu kau salah, mengapa kau membisu?"

Selasa, 10 Mei 2011

Mengikat Makna dari Sastrawan kita “Tentang Menulis”

Dari para ‘orang hebat’ kita

Membicang dunia tulis-menulis memang tak ada habisnya. Setiap orang memiliki pandangan berbeda tentang menulis.

Seperti Raudal Tanjung Banua, seorang penulis fiksi Indonesia. Menurutnya menulis bukan persoalan finansial, melainkan suatu kepuasan yang menimbulkan spirit bagi kita. Yang perlu diingat, kita menulis dengan rendah hati, artinya menulis jangan sampai mengubah karakter kita sebagai penulis. Dengan terus menulis, akan timbul dengan sendirinya sebuah kekhasan yang diiringi sebuah obsesi yang diperjuangkan terus-menerus (Soliloque). Menulis yang baik juga bergantung kepada intensitas kalimat, yaitu bagaimana menghadirkan kalimat pembaharuan. Kita harus bisa melawan diri sendiri dalam menuturkan sebuah kisah. Berani kejam terhadap apa yang dituliskan. (Catatan perbincangan Januari 2006)

Seiring dengan itu, Raudal belajar dari Budi Dharma, pengarang absurd kita yang telah almarhum sempat berujar bahwa problem menulis cerpen itu bagaimana cara mengakhiri, tetapi novel justru bermasalah ketika mengawali.

Ada lagi pesan dari Taufiq Ismail, seorang sosok yang selalu kita kenal lewat puisinya. Beliau tak gentar memperjuangkan misi agar pemuda tidak rabun membaca dan lumpuh menulis. Dia cuma berpesan, memulai proses kreatif menulis adalah dengan membaca, membaca, membaca, kemudian mulailah menulis. Membaca dan menulis merupakan saudara kembar yang tak terpisahkan. Apa saja yang kau baca, selama itu menarik, bacalah! Kalau kau tidak suka baca buku yang ada di tanganmu, tinggalkan saja. Jangan hal itu menghambat kau untuk menyebangi karya sastra. Bacalah buku yang menyenangkan bagi dirimu sendiri. Selama kau suka membaca, selama itu pula kamu akan mulai mengerti karya sastra. (Catatan Januari 2006)

Kemudian, Khairul Jasmi juga pernah berpesan kepada saya. Beliau ahli dalam menulis feature. Menulis itu asyik. Jangan mengarang, tapi menulis. Jangan terfokus pada teori. Biarkan apa yang kita tulis itu mengalir seadanya. Dalam menulis jangan setengah-setengah dan jangan berhenti sebelum selesai, karena ide yang ada akan cepat hilang. Jangan menunda-nunda aspirasi yang keluar, tetapi biarkan, dan tulis apa yang ada di dalam pikiran. (Sebuah perbincangan pada Desember 2005)

Lalu, sebelum meninggal, penyair Hamid Jabbar sempat mengatakan sesuatu yang bermakna lain. Indahmu tak seindah pikirmu, cerahmu tak secerah matamu. Tapi kau tahu kau salah, mengapa kau membisu? Sastra itu permainan yang bukan sekadar permainan. Sastra itu dapat menembus ruang dan waktu. Manusia itu mencipta sastra dengan membuat huruf-huruf yang bergotong royong membangun kerajaan kata, dan hasilnya berupa karya sastra. Sastra selayaknya tetap ada dan dibaca, karena manusia ada dan perlu membaca dan dibaca, manusia tahan kias, binatang tahan palu. Bila kata tak dapat lagi mewakili manusia berbicara dengan sesame, itu tandanya kehancuran kemanusiaan dan hiduplah Tuanku Binatang dengan bahasa palu. (Mengenang beliau di catatan Maret 2004)

Ibrahim Ghaffar, penyair Malaysia juga sempat berpendapat, konsep sastra itu sama di berbagai Negara. Hanya corak dan wujudnya saja yang tampak berbeda. Dengan adanya pengucapan Puisi Nusantara, kita harus berpikir untuk mempusakakan diri kita melalui puisi dan prosa, meramahi taman sastra dan pemahaman bahasa, serta menghujah kata mencari keserasian. (catatan pertemuan Mei 2007)

Mohd. Diani Kasian, masih dari Malaysia menambahkan bahwa teruslah berkarya hingga kita tak bernyawa. (catatan pertemuan Mei 2007)

Guru saya, motivator saya, Yusrizal KW, seorang sastrawan pernah mengajarkan, Jika kalian menjadi dokter, maka kita adalah dokter yang bisa menulis. Jika kalian menjadi presiden maka kita adalah presiden yang bisa menulis. Itulah yang membedakan kita dengan orang lain. (Sepanjang perjalanan saya di dunia sastra)

Akhirnya, saya menyimpulkan. Kita harus menunjukkan bahwa kita menulis dan bisa mewakili maksud kita pada dunia.


Mengenang pertemuan dengan mereka dalam tulisan ini
Sulung Siti Hanum
10 Mei 2011

Dua Sisi: Teenlit dan Sastra

Siapa pun pasti bisa jadi penulis. Dengan tekad yang kuat, suatu saat nanti akan menghasilkan sebuah karya. Karena itu, Mulailah! Kita tidak pernah tahu kemampuan kita kalau kita tidak mencobanya.

Ada beberapa kisah tentang perseteruan antara sastra dan teenlit atau metropop. Teenlit atau metropop disebut sastra populer, berbeda dengan sastra murni. Ada pendapat di satu pihak, antara sastra murni dan sastra populer terlihat garis batas yang membedakan mereka. Sebuah pengalaman seorang penulis, para sastrawan di pulau Jawa memandang pengarang teenlit sebagai penulis ‘sampah’, ditambah denagn istilah mereka yang menyebutkan, teenlit disebut dengan istilah ‘ Sastra Jerawat’.

Secara bijaksana, seorang sastrawan kita mengulas karya sastra sebagai dua fungsi yang bergerak antara dua titik. Berangkat dari titik yang sifatnya memberi, ke arah yang sifatnya membangkitkan. Di sana, sebuah karya sastra akan menempatkan pembaca sebagai subjek, bukan sekadar objek yang hanya menerima saja. Diharapkan pembaca mendapatkan sesuatu dari dalam diri mereka melalui nilai-nilai tersirat dalam karya sastra.

Seorang penulis pernah berkata kepada saya secara personal, semua karya fiksi itu adalah sastra. Untuk membuktikan ke-sastra-annya, lihat apa yang dapat diambil dari karya itu. Karya itu akan disebut sebagai sastra yang ‘besar’ jika ada yang diperoleh dari membaca atau menulis karya tersebut. Kembali ke hakekat untuk apa karya itu ada.

Namun, terlepas dari semua itu, sebagai penulis pemula, tidak perlu memikirkan aliran mana yang harus dipilih. Menjadi penulis harus menulis. Oleh karena itu, ada tiga yang harus diingat. Pertama, penulis peka dengan lingkungan, bergaul dengan banyak orang. Hal ini dilakukan untuk membantu penulis melakukan pendalaman karakter.

Hal yang kedua, seorang penulis sebaiknya sering mengitari dan memperhatikan. Tujuannya untuk pembentukan setting dalam cerita. Kemudian yang ketiga, memperbanyak wawasan melalui membaca, browsing internet, dan rajin menyimak berita.
Sebagai penulis, kita harus melihat dari luar semua persoalan yang diuraikan sebagai cerita. Untuk itulah keterampilan dan wawasan yang luas dibutuhkan melalui membaca karya-karya orang lain. Menurut saya, penulis itu seharusnya rendah hati sehingga ia dapat menulis dengan jujur. Tanpa kejujuran, makna takkan didapat dari hasil karyanya.

Mengingat teenlit dan sastra banyak yang membedakan, sebenarnya pada dasarnya dua hal itu sama. Perbedaannya terletak pada penggambarannya. Teenlit, metropop, atau karya populer lainnya mampu menyuguhkan sebuah karya yang membuat pembacanya menjadi ingin tahu bagaimana alur dan akhir kisahnya. Sedangkan sastra murni selain memberikan informasi juga condong untuk mengajak pembacanya berpikir bahwa ada makna dan pesan tersirat di dalamnya.

Di luar perseteruan ragam karya sastra itu, setiap orang bisa melahirkan sebuah karya dari pemikirannya sendiri. Novel teenlit dan sejenisnya dapat dijadikan langkah awal sebagai motivasi dalam menulis dan membaca. Dunia menulis adalah sesuatu yang mencengangkan. Jika kita percaya, kita dapat mencobanya, dan kita akan menikmati hal-hal baru yang membuat diri ini semakin bangga.

Sulung Siti Hanum
10 Mei 2011

Hanya Ingin berbagi tentang buah pikiran
Hasil perbincangan dengan tiga penulis: Gus Tf Sakai (Sastrawan), Donna Rosamayna dan Esti Kinasih (penulis Teenlit), Maret 2006

Kata-kata dan Ide dapat Mengubah Dunia

Dead Poets Society. Sebuah film yang menceritakan mutu pendidikan di Amerika Serikat tahun 1950. Film ini menyuguhkan keprihatinan mata pelajaran sastra yang dianggap terbelakang dan belum menempati posisi yang sebanding dengan bidang sains. Film ini mampu mengorek sisi humanis penonton melalui emosi-emosi yang ditampilkan.
Dalam film yang diperankan oleh Robin Williams sebagai Mr. Keating ini membuka mata murid-murid sekolah Welton tentang keinginan, minat, dan bakat yang dimiliki oleh siswa. Mereka yang pada mulanya tergolak dengan bidang sains yang mampu meningkatkan nilai dan derajat keluarga, apalagi dengan bersekolah terbaik di Amerika Serikat saat itu, membuat setiap siswa Welton berlomba mendulang prestasi di sekolah. Tiada waktu untuk bermain, itulah prinsip yang tertanam di dalam diri setiap siswa. Di sini Mr. Keating muncul sebagai sosok yang mengajak siswanya untuk melihat sesuatu dari sisi lain. Keluar dari segala jalur yang telah terpola selama ini. Hal itu menumbuhkan spirit tersendiri dari siswanya untuk mulai berpikir tentang hal lain yang sebelumnya terkubur seiring peraturan ketat dari sekolah. Dengan hanya mengucapkan satu kata. ‘Carpediem’. Raihlah Kesempatan!
SIsi sastra yang lebih ditonjolkan dalam film tersebut telah mengajarkan bahwa kata dan ide mampu mengubah dunia. Sastra dijelaskan di sini sebagai suatu kemerdekaan berpikir sehingga tidak dibatasi oleh definisi.
Dead Poets Society sendiri diartikan sebagai masyarakat kematian puisi. Dari hal itu film ini ingin mengatakan kepada kita bahwa puisi adalah kehidupan, dan segala sesuatu membutuhkan kebebasan. Seperti kutipan dialog Mr. Keating, “Dengan imajinasi-lah manusia dapat hidup bebas sesuai pilihannya.” Dan melalui sastra hal itu dapat dituangkan.
Dari film yang dirilis tahun 1990 ini dapat disimpulkan bahwa menulis puisi tak hanya sekadar keindahan, tetapi karena kita umat manusia. Umat manusia punya gairah. Kita memiliki rasa, cipta, dan karsa, dan mulailah untuk memikirkan hal itu. Bagaimana pengajaran sastra dilihat dari kacamata pendidikan, telah dikupas habis di dalam film tersebut.
Ada pesan penting yang perlu direnungkan. Misalnya, Mr. Keating dalam sebuah kalimatnya saat mengajar mengatakan bahwa pendidikan itu sesungguhnya mengajarkan manusia untuk berpikir sendiri. Kemudian, di lain adegan, Keating guru yang atraktif dan inspiratif itu juga mengatakan, kata-kata dan ide dapat mengubah dunia.
Akhirnya, poinnya adalah Dead Poets Society , sebuah film yang sesungguhnya perlu ditonton oleh guru, orang tua, dan pengamat pendidikan.

Sulung Siti Hanum
(Arsip Juni 2006)

Memaknai Malam

Malam datang. Satu hari lagi telah dilalui. Tanpa disadari, banyak yang diperoleh dari satu hari ini. Tanpa terasa, dua belas jam pun berlalu. Matahari pulang, beristirahat. Malam datang tak sekadar menukar hari, membuat yang terang menjadi gelap. Namun, malam datang untuk meredakan segala kegiatan. Siang berlalu, energi pun banyak tersedot. Maka malam yang mampu mengobatinya. Ada efek udara yang membuat kantuk. Tak perlu dilawan. Ikuti saja arah mata saat terlelap. Siang begitu garang dengan dunia nyatanya, sedangkan malam penuh dengan mimpi.

Malam mampu membuaiku. Terlena dengan malam. Malam pun tak mau kalah dengan siang dalam mengumbar keindahannya. Ada warna-warni lampu menerangi. Gemerlapan. Lalu, ada jutaan gemintang yang menabur langit kelam. Kemilau bintang bak berlian yang berkilau sungguh indah untuk ditatap.

Malam mampu meredakan kegarangan. Malam seperti air yang mematikan api. Karena apa? Karena malam adalah antiklimaks dari emosi kita. Emosiku. Digantikan lelah dan ngantuk sebagai obatnya. Kenapa mesti malam? Ya, tinggal dipilih saja. Malam akan kita lalui seperti apa. Malam menawarkan berbagai pillihan sebelum pagi datang. Malam dapat dijadikan pelarian. Malam dapat pula menjadi tempat peraduan. Malam bukan berarti ketenangan, tetapi malam hanya meredam. Tinggal memilih, tetap tinggal untuk dibuai keindahannya, atau beranjak lelap untuk dibuai oleh mimpi dengan berjuta pesonanya.

Sulung Siti Hanum
9 Mei 2011

Senin, 09 Mei 2011

Menapak Jejak Danau Singkarak

Perut Kenyang, Hati pun Senang (Perjalanan penuh Makan)

Ini bukan perjalanan pertama. Sekelompok kecil manusia yang ingin menjelajah, menyentuh dan mengecap udara yang lebih segar. Hasrat ini terlepas sudah, tak perlu lama berencana, dadakan pun jadi. Danau Singkarak yang dituju. Tak perlu ragu untuk penginapan, karena telah disiapkan tumpangan di sebuah rumah gadang milik salah satu teman.

Dua perjalanan dengan satu cerita. Perjalanan pertama pada awal tahun 2007. Tanpa berangan-angan untuk kembali lagi, lima tahun kemudian, tepatnya April 2011, kami mengulangin perjalanan yang sama. Menapaki jejak yang pernah kami toreh di jalanan sana. Tak sekadar keindahan yang dicari, tapi satu bulatan tekad untuk sebuah kebersamaan.

Untuk satu kata liburan, tak perlu mahal, tak perlu mewah, tak perlu banyak barang. Cukup dengan menikmati apa yang ada di sekitar kita. Itulah yang kami lakukan. Trip ke SIngkarak yang dua malam itu memuat kisah yang beragam. Ada kisah menarik yang dapat dikulik.

Tujuan perjalanan memang mengenang langkah yang pernah dijejakkan di sini lima tahun yang lalu. Dengan lokasi yang sama, penginapan yang sama, makanan yang sama tak membuat suasana menjadi membosankan. Selalu ada yang baru dibaliknya.
Begitu sampai, kami beristirahat sebentar seraya makan siang di rumah teman kami itu. Sorenya kami langsung ke dermaga. Saat itu dermaga danau sangat ramai dengan orang-orang yang juga sedang berlibur di sana. Kami duduk di pinggiran dermaga sambil melihat ikan bilih yang bergerombol. Aku kagum dengan sinar dari bukit yang mengelilingi danau. Itu adalah cahaya matahari membias di sela-sela awan. Angin kencang bertiup. Kupikir itu badai, tapi bukan. Itu cuma angin sore yang bertiup dari arah danau.

Sebelum magrib, perut yang lapar, kami mencari makan. Ada banyak pedagang yang berjualan. Tapi kami punya tempat langganan. Satu piring rujak dan satu mangkok bakso sudah dipesan. Ditemani dengan keripik balado, enam orang yang tengah kelaparan melahap kedua makanan itu sampai tak bersisa. Bukan kenyang yang dicari, tapi kebersamaan saat makan yang dirindukan dari perjalanan ini. Suasana penuh keakraban itu berakhir saat petang berganti malam. Rujak menjadi incaran ketika kami ke dermaga ini, karena memang dulu juga pernah disantap beramai-ramai saat trip Singkarak yang pertama.

Pulang dengan perut kenyang, hati pun senang. Malam datang, rumah gadang menjadi tempat peristirahatan. Dalam perjalanan, tak hentinya aku menatap langit. Langit ditaburi gemintang. Aku hanya bisa terkagum-kagum melihat langit malam itu. Rasanya ingin duduk di luar dan menikmati pemandangan yang langka itu. Namun, kami masih punya agenda selanjutnya. Malam terlalu sayang untuk dilewatkan dengan tidur. Oleh karena itu, kami mengeluarkan berbagai cemilan yang telah disiapkan sebelumnya, lalu mulai mengocok kartu. Sama dengan trip pertama, kami menghabiskan malam dengan canda-tawa dalam permainan. Bedanya, kalau dulu kartu remi, malam itu kami bermain kartu uno. Selebihnya sama, suasananya sama, lampu yang remang-remang, riuhnya, bahkan reward dan punishment-nya juga sama. Kami bermain hanya sampai tengah malam. Pikiran mulai keruh karena lelah dan mengantuk. Akhirnya kami menyerah dengan waktu, masing-masing mengambil posisi, siap dibuai oleh mimpi.

Pagi-pagi, meskipun keluhan di sana-sini karena masih mengantuk, kaki pun dilangkahkan keluar rumah. Tujuan kami pagi itu adalah panorama Singkarak di puncak bukit. Sambil bersenda gurau kecil, pelan-pelan kami mendaki bukit yang sebelumnya juga pernah kami tapaki. Awalnya pendakian berjalan lancer, tetapi di tengah jalan ada sedikit masalah. Badan mulai lelah. Panas semakin terik. Usut-diusut, ternyata pangkal masalahnya adalah perut yang belum diisi. Hanya ada dua pilihan, tetap mendaki dan meneruskan perjalanan, atau berbalik arah turun untuk mencari warung terdekat di bawah sana. Kami pun memilih untuk turun. Turun terasa lebih ringan dengan perut yang lapar, daripada mesti mendaki terus yang akan lebih menguras tenaga. Pendakian terhenti begitu saja. Matahari telah menguras semangat kami pagi itu. Tapi untung memang gampang diraih jika tekad awal telah bulat. Ada mobil lewat yang searah dengan perjalanan ke panorama. Sopirnya dengan senang hati memberi tumpangan kepada kami. Dalam beberapa menit, panorama sudah di depan mata. Ada warung kopi yang berdiri di sana. Kami beristirahat di sana sambil memesan teh manis hangat dan mie instan untuk mengganjal perut yang lapar.

Selesai makan, kami berjalan ke pinggir panorama. Ada jurang curam yang bermuara ke danau SIngkarak. Sangat sayang jika suasana saat itu tidak diabadikan dalam kamera. Puas bermain-main di panorama, saatnya kembali turun. Berbekal dua botol air mineral, kami meluncur turun bukit. Panas siang semakin membakar. Dua botol air mineral untuk dahaga lima orang terasa kurang ternyata. Tapi itulah indahnya berbagi. Berharap, begitu sampai rumah gadang, akan ada air menanti. Rasanya ingin menyelam di dalam danau. Oh, segarnya. Tapi saat itu, kami hanya diguyur oleh keringat.

Sesampai rumah gadang, kaki diselonjorkan. Air di kamar mandi menipis. Kami harus rela mengantre untuk mandi atau sekadar bersih-bersih. Istirahat siang itu harus diganggu oleh suara perut yang bernyanyi dan berkelontang.Pertanda sudah saatnya makan siang. Ibu dari teman kami itu telah menyiapkan makan siang. Santap siang bersama di hari yang terik seperti siang itu sungguh terasa sedapnya.
Selesai makan, kami mampir ke dermaga. Bersiap-siap untuk pulang ke Padang. Perjalanan pulang tak kalah menarik kisahnya. Sore-sore menunggu angkot untuk transit di kota Solok. Lalu, niat membeli es krim, tapi tergoda dengan sate periaman. Mampir dulu sejenak di Solok untuk makan sate. Setelah itu, perjalanan pun dilanjutkan. Minibus ke Padang sudah jarang. Sholat magrib di sebuah pom bensin, lalu menunggu keberuntungan ada relawan yang mau memberi tumpangan kepada kami malam itu. Harapan tak tinggal harapan. Ada mobil berhenti, sopirnya sedang mencari teman dalam perjalanan. Kami pun ditumpangi olehnya. Namun, malang, perjalanan malam itu tidak semulus yang diharapkan. Ternyata sopirnya jago balap. Berlomba-lomba memotong jalanan dengan truk-truk besar, serta travel liar yang memenuhi jalan ke arah Padang. Aku hanya bisa menghirup napas tertahan seraya menatap jalanan yang berkelok-kelok dan berlubang. Sebelah kanan bukit, sebelah kiri jurang, begitu sebaliknya. Si sopir mengemudi dengan seenaknya membanting stir kiri-kanan yang membuat seisi mobil ini berguncang. Pulang ke Padang dengan sopir pembalap liar nan “gila” itu sungguh menjadi akhir perjalanan kami. Yang tersisa hanya penat, dan beberapa di antara kami mengalami cidera betis.

Trip Singkarak kedua ini menjadi pengingat bahwa kami pernah melakukan perjalanan di sini sebelumnya. Selalu ada yang terasa kurang dan hilang. Yang kurang adalah tak sempat mengecap outbond yang ada di dermaga. Yang hilang adalah kesempatan makan durian bersama seperti trip pertama. Mudah-mudahan aka nada trip selanjutnya yang menggugah dan tak kalah berkesan dari perjalanan ini. Tentu saja dengan personil yang sama.

Walaupun perjalanan ini terbilang singkat, ada kesan yang ditinggalkannya. Kesan itu tertinggal di hati, dan masing-masing dapat memaknainya dengan cara berbeda. Bagiku, yang tersisa dari perjalanan itu adalah kebersamaannya, kerinduan akan alam, keakraban, dan keramahan khas urang awak. Aku merekamnya dalam tulisan ini. Makna itu hadir dalam kata-kata yang meluncur di sini.

Sulung Siti Hanum
9 Mei 2011
Mengenang perjalanan ke Singkarak 3-4 April 2011

Minggu, 08 Mei 2011

Selamat Pagi Dunia

Sulung Siti Hanum

Setiap hari kita pasti bertemu dengan pagi. Pagi selalu menemani saat kita membuka mata. Dengan secercah harapan untuk hari ini, aku selalu berdoa pada pagi, semoga siang, sore, dan malam sama indahnya dengan pagi ini. Seperti apa pagi itu? Ada kisah menarik dari pagi.

Kokok ayam akan menjadi pertanda bahwa pagi ini telah datang. Matahari memang belum tampak, tapi udara segarnya, embun yang mencair di atas dedaunan, serta hewan-hewan pun telah gelisah menandakan pagi telah siap untuk menggantikan malam. Buat apa adanya pagi? Bagiku pagi memberi harapan. Setelah kepenatan hari kemarin, pagi memulai segalanya dari awal. Bismillah untuk pagi, segala doa dimulai di sini. Dalam Al Qur’an pun setelah usai sholat subuh kita dianjurkan untuk bertebaran di muka bumi. Tentu saja itu dimulai dari pagi. Udara pagi, kelembaban yang terkecap di lidah terasa dingin. Pagi membersihkan kotoran yang ditidurkan malam. Pagi dimulai, maka kehidupan pun diawali.

Aku yang terlelap pun akan terjaga saat udara menggelitik mata. Saat terjaga, mata dibuka, aku pun melihat dunia. Aku tau bahwa aku masih bernapas, jantungku masih berdegup seirama dengan denyut nadi di sekujur tubuhku. Banyak orang yang suka mengeluhkan pagi. Mengapa pagi datang terlalu cepat? Mengapa pagi selalu mengganggu tidur? Keluhan-keluhan itu diungkapkan dengan ekspresi kesal yang diwujudkan dengan menarik selimut hingga menutupi muka. Tapi tidak denganku. Aku mulai menyukai pagi. Karena pagi itu begitu tenang. Pagi itu begitu bersahabat. Pagi di setiap musim tak menjadi masalah untukku. Ada sesuatu di balik pagi. Aku tidak tau persis itu apa. Yang jelas saat ini aku senang dengan pagi, aku menyukainya seperti aku menyukai diriku sendiri. Pagi menemani kesendirianku. Pagi mampu mengungkap emosi-emosi dan perasaanku. Hingga aku pun tau, jika kita mengungkap emosi negatif sedari pagi, pagi takkan menghapus emosi itu sehingga kita tidak akan tenang satu hari ke depan. Namun, sebaliknya, energi positif yang kita bangun di pagi hari akan semakin kokoh saat siang menyerang, sore yang meredakan, hingga malam yang melelapkan. Akan selamanya seperti itu. Pagi membangun semuanya. Pagi tak hanya membangunkan mata dari tidur, tapi pagi juga membangunkan naga yang tertidur ddi dalam perut dan otak kita. Tergantung bagaimana kita mengisahkan pagi itu agar tetap menarik pada siang hari. Pagi memperlihatkan kebijaksanaannya padaku, bahwa hidup itu tak sekadar mengisahkan diri sendiri. Kita punya sesama. Aku mendengar kicau burung riuh rendah di samping rumah. Burung saja bisa menyapa pagi. Ayam-ayam pun sibuk berlarian di halaman, bebek-bebek siap berbaris teratur keluar dari kandangnya. Ada interaksi, komunikasi, dan sosialisasi yang terjadi. Tak ada gunanya kita memanjakan tidur yang hanya membuai mimpi. Kenapa kita tidak bangun lalu menyerap energi pagi untuk membangun pondasi untuk mimpi-mimpi kita? Aku tak mau lagi menyia-nyiakan pagi.

Ada sejuta harapan yang disimpan oleh pagi. Jangan mau rugi ditinggal pagi. Karena pagi yang manis tidak akan datang dua kali. Pagi memang datang setiap hari, tapi nilai rasanya akan berbeda. Jangan lewatkan setiap rasa yang ditawarkannya.

Menyapa pagi dengan kata.
8 Mei 2011