Dari para ‘orang hebat’ kita
Membicang dunia tulis-menulis memang tak ada habisnya. Setiap orang memiliki pandangan berbeda tentang menulis.
Seperti Raudal Tanjung Banua, seorang penulis fiksi Indonesia. Menurutnya menulis bukan persoalan finansial, melainkan suatu kepuasan yang menimbulkan spirit bagi kita. Yang perlu diingat, kita menulis dengan rendah hati, artinya menulis jangan sampai mengubah karakter kita sebagai penulis. Dengan terus menulis, akan timbul dengan sendirinya sebuah kekhasan yang diiringi sebuah obsesi yang diperjuangkan terus-menerus (Soliloque). Menulis yang baik juga bergantung kepada intensitas kalimat, yaitu bagaimana menghadirkan kalimat pembaharuan. Kita harus bisa melawan diri sendiri dalam menuturkan sebuah kisah. Berani kejam terhadap apa yang dituliskan. (Catatan perbincangan Januari 2006)
Seiring dengan itu, Raudal belajar dari Budi Dharma, pengarang absurd kita yang telah almarhum sempat berujar bahwa problem menulis cerpen itu bagaimana cara mengakhiri, tetapi novel justru bermasalah ketika mengawali.
Ada lagi pesan dari Taufiq Ismail, seorang sosok yang selalu kita kenal lewat puisinya. Beliau tak gentar memperjuangkan misi agar pemuda tidak rabun membaca dan lumpuh menulis. Dia cuma berpesan, memulai proses kreatif menulis adalah dengan membaca, membaca, membaca, kemudian mulailah menulis. Membaca dan menulis merupakan saudara kembar yang tak terpisahkan. Apa saja yang kau baca, selama itu menarik, bacalah! Kalau kau tidak suka baca buku yang ada di tanganmu, tinggalkan saja. Jangan hal itu menghambat kau untuk menyebangi karya sastra. Bacalah buku yang menyenangkan bagi dirimu sendiri. Selama kau suka membaca, selama itu pula kamu akan mulai mengerti karya sastra. (Catatan Januari 2006)
Kemudian, Khairul Jasmi juga pernah berpesan kepada saya. Beliau ahli dalam menulis feature. Menulis itu asyik. Jangan mengarang, tapi menulis. Jangan terfokus pada teori. Biarkan apa yang kita tulis itu mengalir seadanya. Dalam menulis jangan setengah-setengah dan jangan berhenti sebelum selesai, karena ide yang ada akan cepat hilang. Jangan menunda-nunda aspirasi yang keluar, tetapi biarkan, dan tulis apa yang ada di dalam pikiran. (Sebuah perbincangan pada Desember 2005)
Lalu, sebelum meninggal, penyair Hamid Jabbar sempat mengatakan sesuatu yang bermakna lain. Indahmu tak seindah pikirmu, cerahmu tak secerah matamu. Tapi kau tahu kau salah, mengapa kau membisu? Sastra itu permainan yang bukan sekadar permainan. Sastra itu dapat menembus ruang dan waktu. Manusia itu mencipta sastra dengan membuat huruf-huruf yang bergotong royong membangun kerajaan kata, dan hasilnya berupa karya sastra. Sastra selayaknya tetap ada dan dibaca, karena manusia ada dan perlu membaca dan dibaca, manusia tahan kias, binatang tahan palu. Bila kata tak dapat lagi mewakili manusia berbicara dengan sesame, itu tandanya kehancuran kemanusiaan dan hiduplah Tuanku Binatang dengan bahasa palu. (Mengenang beliau di catatan Maret 2004)
Ibrahim Ghaffar, penyair Malaysia juga sempat berpendapat, konsep sastra itu sama di berbagai Negara. Hanya corak dan wujudnya saja yang tampak berbeda. Dengan adanya pengucapan Puisi Nusantara, kita harus berpikir untuk mempusakakan diri kita melalui puisi dan prosa, meramahi taman sastra dan pemahaman bahasa, serta menghujah kata mencari keserasian. (catatan pertemuan Mei 2007)
Mohd. Diani Kasian, masih dari Malaysia menambahkan bahwa teruslah berkarya hingga kita tak bernyawa. (catatan pertemuan Mei 2007)
Guru saya, motivator saya, Yusrizal KW, seorang sastrawan pernah mengajarkan, Jika kalian menjadi dokter, maka kita adalah dokter yang bisa menulis. Jika kalian menjadi presiden maka kita adalah presiden yang bisa menulis. Itulah yang membedakan kita dengan orang lain. (Sepanjang perjalanan saya di dunia sastra)
Akhirnya, saya menyimpulkan. Kita harus menunjukkan bahwa kita menulis dan bisa mewakili maksud kita pada dunia.
Mengenang pertemuan dengan mereka dalam tulisan ini
Sulung Siti Hanum
10 Mei 2011
Mari berproses untuk terus menulis...
BalasHapus