Badannya begitu lincah menguasai panggung sirkus malam itu. Berbagai atraksi dimainkan bersama satu rekannya. Mengendarai sepeda beroda satu, berjalan di atas seutas tali, bermain dengan api, dan berbagai atraksi berbahaya lainnya. Menjadi akrobat sirkus adalah bagian dari hidupnya yang telah ditekuni selama kurang lebih sepuluh tahun terakhir ini. Ia selalu tampak bahagia menghibur orang banyak melalui pentas sirkus itu.
Pria itu menari-nari di atas panggung bundar dengan kelihaian seorang akrobat profesional. Segala atraksi diperagakan mulai dari tingkat bahaya yang sedang hingga tingkat bahaya yang tinggi. Pria itu tampak menikmatinya. Saat itu, pria yang memoles mukanya dengan make up tebal itu sedang memainkan sepeda beroda satunya. Melompat-lompat girang di atas api dan melewati seutas tali yang membentang dari permukaan panggung hingga ketinggian empat meter di sepanjang panggung. Tali tersebut bergoyang-goyang ketika roda sepeda itu berputar di permukaan atas tali. Tiba-tiba tali mengendor dan pria itu mulai kehilangan keseimbangan. Saat itu ia telah mencapai ketinggian di atas tiga meter. Panik pun tak sempat lagi dirasakan, karena yang ada hanya raungan panjang yang memenuhi panggung. “Aaaaaaaaaaaaargh!!!” Buk.
Lampu-lampu gedung tiba-tiba dipadamkan. Alunan musik pengiring pertunjukan pun berhenti. Seketika penonton resah. Tampak petugas yang mengawasi panggung berkerumun mengangkat tubuh orang yang tengah menjerit kesakitan.
“Aduuuuh!” teriaknya kesakitan.
Para penonton pun langsung berdiri, sedikit terpana dan shock melihat kejadian yang sangat cepat tadi.
Pelahan pria itu membuka mata. Penglihatannya sedikit buram. Adril, nama pria itu. Kepalanya terasa pusing dan tulang-tulangnya sedikit nyeri. Matanya mulai menerawang memperhatikan situasi di sekitar. Ada beberapa orang berdiri di sampingnya. Ibunya, manajer sikusnya, dan satu orang pendamping akrobatnya. Langit-langit dengan lampu berpijar di tengahnya. Ketika ia menelengkan kepalanya, ia langsung sadar bahwa lehernya diberi penyangga.
“Adril, syukurlah, akhirnya kau sadar. Kau berada di rumah sakit,” ujar seorang wanita paruh baya yang berbisik di sebelah telinga Adril.
Seketika raut muka Adril langsung berubah. Ekspresi tanya, heran, tidak percaya bercampur di wajahnya. Keningnya berkerut dan mulutnya ternganga. Ia ingin bicara, tapi tak satu pun suara yang terdengar dari mulutnya. Ia tercekat. Matanya mengerjap.
“Tenanglah, Dril. Kau tidak perlu khawatir. Saat ini waktunya kau istirahat, ya,” bisik lembut dari wanita paruh baya itu lagi.
Adril membuka mulutnya berusaha untuk bicara. “Aku kenapa, Bu? Pertunjukannya?” Bisikan kasar dan serak akhirnya membuka percakapan ibu dan anak itu.
“Tenang, ya, Nak. Kamu tidak boleh banyak bergerak. Waktu itu… waktu itu… kamu kecelakaan di lantai sirkus. Lalu…” Wanita itu tidak dapat melanjutkan ucapannya. Hanya air mata yang berbicara.
Adril tidak mengerti dengan apa yang telah terjadi padanya. Ingatannya berkelana ke kecelakaan di panggung sirkus itu. Ia hanya mengingat saat ia kehilangan keseimbangan, limbung, dan teriakan kesakitan. Badannya terhempas dari ketinggian lebih kurang tiga meter. Sepeda yang sedang dikendarainya juga ikut jatuh menimpa tubuhnya. Setelah itu semuanya gelap. Ternyata kecelakaan itu berakibat sangat fatal. Menyadari dirinya terbaring di rumah sakit dengan kaki dan tangan kaku karena balutan perban, Adril merasa hampa.
Adril melewati masa perawatan dan terapi tahap awal selama lebih kurang satu bulan. Ia mengalami patah tulang pada bagian pergelangan kaki dan lutut. Ia juga mengalami geger otak ringan.
Masa penyembuhan untuk patah tulangnya cukup lama. Selama tiga bulan itu, ia cuti dari pekerjaannya di panggung sirkus. Ia tak dapat melakukan apa-apa kecuali berpikir. Hal itu pula yang membuat kepalanya sering sakit. Dengan kondisinya yang seperti ini seakan membuat hatinya teriris. Menyesal. Putus asa. Semua berkecamuk di dadanya. Ia marah pada tali yang menyebabkan keseimbangannya lumpuh. Ia marah pada petugas dekorasi panggung yang menyebabkan tali mengendor. Di samping itu, ia tahu bahwa itu hanya sebuah kecelakaan.
Adril memerhatikan kakinya yang masih dibalut perban. Ia sedang duduk di beranda rumahnya di atas sebuah kursi roda. Ia menyandarkan kepalanya ke tembok. Tiba-tiba sakitnya menyerang seiring dengan kemarahan di dalam hatinya. Kecelakaan yang dialami Adril tidak hanya menyebabkan kerusakan fisik, tetapi juga berdampak kepada psikologisnya.
Panggung sirkus yang telah menghidupinya selama sepuluh tahun terakhir, kini terasa sangat jauh darinya. Ia lebih banyak diam sejak kecelakaan itu. Ia seperti kehilangan separuh jiwanya. Sirkus adalah hidupnya. Meskipun dulu ibunya sempat menentang pekerjaanya itu, Adril tetap maju untuk belajar. Banyak pengalaman yang diperolehnya dari dunia pertunjukan sirkus itu. Kesan buruk dan rendah yang sering melekat pada artis sirkus, akhirnya dapat ditepisnya.
Ia tertarik pada sirkus ketika ada pasar malam di dekat rumahnya. Tak ketinggalan ia dengan setia menunggu atraksi sirkus keliling yang biasa menyemarakkan pasar malam tersebut. Sejak saat itu, Adril kecil tertarik untuk berlatih akrobat. Meski berbahaya, tetapi ia menikmatinya. Kemudian ketika umurnya tiga belas tahun, ia diberi kesempatan untuk mendampingi seorang akrobat dalam pertunjukannya. Setelah itu, ia sering diajak untuk tur keliling.
Adril dengan sedih mengenang masa-masa indah perjalanannya bersama rombongan sirkus. Ia juga sering bermain-main dengan binatang buas yang kerap mengisi pertunjukan akrobatnya. Dahulu, panggung sirkus hanya sebuah panggung kecil untuk mengisi acara-acara suatu kampung atau kecamatan. Akan tetapi, saat ini pertujukan sirkus telah dikomersilkan. Tentu saja pertunjukannya pun merambah kepada masyarakat kalangan menengah ke atas. Adril meniti kariernya sebagai akrobat dimulai dari panggung kecil dan menginap di van hingga panggung besar bagaikan sebuah konser dan tidak jarang menginap di wisma atau hotel.
Kini, Adril tidak yakin lagi dapat bermain sempurna. Ia tidak bisa apa-apa lagi. Yang tersisa hanya hampa, putus asa, sedih karena berduka kehilangan separuh jiwanya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar