"Indahmu tak seindah pikirmu, cerahmu tak secerah matamu. Tapi kau tahu kau salah, mengapa kau membisu?"

Senin, 24 Mei 2010

Menahan Napas di dalam Air

Aku benci rasa ini. Ya, aku mengerti kenapa orang sering menyebut mati itu sakit. Tangan kananku memegang bibir ember. Tangan yang lainnya meraba-raba bagian tubuhku mulai dari leher hingga perut. Masih utuh. Urat-urat di leherku terasa menonjol ketika kuraba dengan jemariku. Mukaku dingin, mulut terkatup, hidung sama sekali tak dapat menghirup udara. Napasku tertahan. Kubuka mata. Aku tak melihat apa-apa. Mataku mulai perih. Air membelai kulit wajahku. Sampai berapa lama aku bisa bertahan? Aku tidak bisa menahan karbon dioksida di dalam dadaku ini lebih lama. Semua harus kukeluarkan dan digantikan dengan udara segar. Aku mengeluarkan gelembung-gelembung udara dari mulutku hingga aku benar-benar kehabisan napas.
Uaaaah…..kuhirup oksigen sesering mungkin. Hidungku terasa kembang kempis. Dadaku naik turun seirama dengan tarikan napasku yang cepat. Mulutku sedikit membuka membiarkan udara masuk. Entah berapa lama aku berani mencelupkan mukaku ke dalam ember hitam berisi air itu. Yang kutahu tak sampai satu menit. Atau mungkin lebih kurang sekitar satu menit. Hidup tanpa udara itu tidak enak. Sungguh. Hei, ayolah, jangan main-main dengan oksigen! Kita bukan ikan yang dianugerahi insang. Aku suka berenang, tapi aku tak suka menyelam. Yang kutahu, aku harus belajar mengatur napas lagi di dalam air.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar