"Indahmu tak seindah pikirmu, cerahmu tak secerah matamu. Tapi kau tahu kau salah, mengapa kau membisu?"

Kamis, 28 Oktober 2010

Tergelitik untuk Mengenang

Tak terasa langkah menapak semakin berat. Jalanan semakin kasar. Tapi kita belumlah mencapai gerbang itu. Masih terkungkung dalam istana pendidikan. Sang surya tetap saja tak lelah menemani derap kaki kita mengunjungi pengalaman demi pengalaman. Bulan pun selalu turun sebagai penghibur hati, pelipur lara dari panasnya surya.

Hari ini kudendangkan. Sebuah lagu ingin kunyanyikan. Dengan mendengar irama alam, mengilas balik, menoleh ke belakang, mencari penghidupan lama untuk dijadikan lentera. Kukulik halaman dan halaman penuh goresan. Lembar-lembar yang ringan tapi padat. Ada kisah menarik dari plot hidup ini.

Goresan rapi satu lembaran yang telah menguning. Penuh coretan tapi memiliki isian bermakna. Kuawali jejak itu dengan Bismillah.

Ingatkan sebuah kisah seperti ini?

“Sekarang keluarkan kertas tugas kalian!” ujar seorang guru akuntansi di sebuah kelas sosial.
Bunyi keresek kertas folio memenuhi ruang kelas yang mungil itu, disambut dengan desahan beberapa mulut yang tidak membawa kertas tugas mereka.
“Siapa yang tidak bawa? Tulis nama kalian di kertas kecil, taruh di meja saya,” kata guru itu dengan mimik serius. Dalam diam, beberapa anak saling memandang dongkol. “Saya menyediakan kertas folio untuk kalian yang tidak bawa. Nih, bagikan!” tambah guru tersebut.
Guru akuntansi itu mengambil spidol dari dalam tempat pensilnya. Ia mulai menulis tabel-tabel jurnal di papan tulis. Ia berujar, “Silakan salin tabel ini. Nanti saya akan bacakan soal untuk kalian.”
Perempuan setengah baya itu pun selesai menggambar tabelnya, kemudian membacakan serentetan kasus hitungan dalam bentuk soal cerita. Kelas kembali hening, hanya kerutan di kening para siswa yang berbicara. Wajar mereka bingung, mereka tentu saja belum mengerti dengan materi baru. Perempuan bertubuh gemuk yang menjadi guru itu hanya duduk di balik mejanya menunggu para siswa memecahkan soal yang diberikan. Dia hanya menunggu. Tanpa senyum. Tanpa ekspresi.
“Ayo, siapa yang berani menulis hasil pekerjaannya di papan tulis? Sebelumnya tukarkan kertas tugas kalian dengan teman sebelah untuk diperiksa dan mengurangi kecurangan. Ayo, cepat!” seru Ibu guru itu beberapa menit kemudian.
Ketegangan kelas berkurang ketika ada seorang siswa yang berjalan ke depan. Teman-temannya hanya dapat memperhatikan sederetan angka yang ditulis anak itu di papan tulis. Senyum pun tersungging dari bibir perempuan setengah baya yang tegak di sampingnya.

Atau pernah mengatakan ini?

Gadis itu mengibas kunciran rambutnya yang lurus. Sambil menepis gerah, ia berpaling ke arah pintu yang menyambut hawa panas dari luar. “Aku baru selesai ujian. Sungguh melelahkan tugas-tugasnya. Waktu 24 jam saja kurang untukku.”

Hmm…bisa jadi mengeluh seperti ini.

Ada dua jenis air muka yang tersirat dari wajah-wajah pemuda berseragam putih abu-abu itu. Pertama, air muka bingung karena tidak paham sama sekali dengan materi yang dijelaskan. Kedua, air muka paham, tapi ragu untuk bertanya. Semuanya duduk dengan kaku. Guru mereka pun tidak berusaha memecah ketegangan. Dia hanya menghela napas, kemudian duduk kembali di bangkunya. “Baiklah, karena tidak ada yang bertanya, silakan kalian buka buku halaman 125! Kerjakan tugas nomor satu dan dua untuk PR kalian. Kertas tugas tadi tolong dikumpul,” ujar Guru tersebut sembari mulai meninggalkan kelas.
“Ah, andai saja kita dapat melakukan perubahan,” khayal seorang siswa perempuan berambut keriting.
“Kita tidak punya kekuasaan untuk itu. Ada yang bilang, jika ingin mengubah sistem, kita harus masuk ke dalam sistem itu. Kamu berniat jadi kepala sekolah?” ledek temannya.


Yeah, tergelitikku ketika lembaran itu dibuka kembali. Kertas yang telah menguning pun menjadi sejarah panjang perjalanan hidup. Mengulik, mengintip, mengenang, menyegarkan memori yang telah hilang dapat membuat kita kembali hidup. Musik alam dan irama kehidupan berpadu menjadi sonata. Senandung lincah nan ringan berpola menjadi suatu warna akan kayanya pengharapan.
Buka lembar baru. Dengan tinta terbaik dari kita. Selimut kebodohan masa lalu dan ketakutan masa depan harus dihenyakkan. Berlari dan terus bernyanyi dengan melodi penghidupan, dengan lantunan dari sang dedaunan, berikan sesuatu yang berarti untuk hidup ini. Maka ku tahu aku harus meneruskan hidup ini tanpa berselimut kabut.



Untuk Ventriloquis
Mengenang kalian dalam melodi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar