Apa yang kualami hari ini membuatku tahu bahwa banyak orang tidak beruntung di sekitarku. Hiruk-pikuk zaman teknologi dan dunia maya membuatku terlena. Aku selalu bertanya-tanya, mengapa orang menyebut hidup di Jakarta itu keras? Yang kulihat selama ini adalah apa yang ada di hadapanku saja. Aku tidak melihat siapa yang ada di sebelahku, bahkan aku tidak melihat apa yang terjadi di belakangku. Kini, aku mengerti. Udara Jakarta begitu panas, sangat panas, sehingga mampu membakar mimpi-mimpi yang tumbuh di negeri ini.
Hari ini aku menjalani rutinitasku yang membuatku bosan. Kumulai hariku dengan mengemasi segala perlengkapan kuliah. Berkacak pinggang di depan cermin menjadi kebiasaanku setiap pagi sebelum berangkat. Kuperhatikan penampilanku dengan gaya kasual hari ini. Rambut pirangku dibiarkan menjuntai hingga bahu. Kemeja polos toska menutupi tubuh kurusku dengan bawahan celana polos hitam yang membalut tiga per empat kakiku. Setelah kukenakan sneakers, aku siap memulai hari di kampus.
Aku berjalan keluar kamar dan meneriakkan salam pada ibuku. Kusambar segelas susu yang tersedia di meja makan, kuteguk hingga habis.
“Nak, kamu ke kampus naik angkot aja, ya. Ayah sudah berangkat pagi-pagi sekali ke luar kota. Kamu bisa, kan? Naik aja angkot biru langsung ke kampusmu,” teriak ibuku dari dapur.
“Apa? Tapi, Bu, aku kan belum pernah naik angkot. Aku belum tahu bagaimana lingkungan di luar. Aku, kan, masih baru di sini.”
“Makanya belajar. Masa ke mana-mana harus diantar terus. Udah. Berangkat! Nanti angkotnya penuh, lho.”
“Ah, Ibu. Kalau begini, aku bisa telat.”
Aku berlari membuka gerendel pagar. Setengah berlari, tanpa kusadari kakiku menginjak tanah lunak basah di depan rumah, bekas hujan tadi malam. Sepatuku terkena noda. “Ah, sial,” kutukku. Sepanjang jalan aku terus menggurutu. Lingkungan Jakarta benar-benar asing bagiku. Aku kaum pendatang dari Sumatera. Tiga bulan lalu ayah dipindahtugaskan ke Jakarta. Aku memilih untuk tinggal bersama paman dan bibi, tetapi ayah menginginkanku kuliah di sini.
Aku berjalan dengan langkah cepat. Lingkungan komplek masih sepi. Di ujung jalan sana kulihat dua orang anak sedang asyik bermain tanpa alas kaki. Rambut mereka acak-acakan. Senang sekali mereka. Begitu bangun tidur, mereka langsung menembus pintu rumah dan bermain dengan selang air. Hidup tanpa beban dan tidak terikat akan suatu aturan, pasti lebih menyenangkan. Tidak sepertiku. Aku jenuh dengan rutinitasku. Sepagi ini aku mesti bangun dengan sebuah keterpaksaan. Aku tidak begitu suka hidup di kota besar. Macet dan sangat bising adalah sesuatu yang kuhindari.
Matahari kulihat mulai merangkak naik dan membakar bumi. Aku melangkah cepat menuju halte. Saat tiba di depan komplek, aku berbelok ke kanan dan kulihat banyak orang berkerumun menunggu angkutan umum. Aku bergabung dengan orang-orang itu. Tempat duduk terisi penuh, aku hanya bisa berdiri berlindung di belakang seorang laki-laki bertubuh gempal, menghindar dari panas mentari pagi. Dia tampak berkeringat dan agak bau. Parfum dengan keringat bukanlah campuran aroma yang baik.
Lama berdiri, angkot yang kutunggu tak kunjung tiba. Orang di sekitarku banyak yang mengeluh. Keringat mulai mengucur dari pangkal-pangkal rambutku. “Hufh,” desahku. Aku tidak biasa menunggu lama di sini. Bahkan aku sendiri belum pernah pergi kemana-mana seorang diri dan naik angkot pula. Kupandang arloji di tangan kiriku. Jam tujuh. Aku mulai resah karena akan telat kuliah. “Ah, coba ayah bisa mengantarku hari ini,” gerutuku.
Angkot yang kutunggu akhirnya datang. Namun, aku kalah bersaing. Kuurungkan untuk naik. Aku menggoyangkan kakiku untuk menahan resah. Ada bus datang di belakangnya. Aku terbawa arus orang-orang yang berjalan mendekati bus itu. Kekhawatiran menyelimutiku. Aku mencoba keluar dari kerumunan itu. Namun, tubuhku begitu kurus untuk menahan mereka. Mau tidak mau, kunaikkan kakiku memasuki bus itu. Aku berdiri bersama orang-orang lain di bagian tengah bus. Tas selempangku tersangkut di pintu. Kucoba menariknya perlahan, tapi kerumunan melindasku. Aku semakin terdesak. “Eh, tolong, dong, Mas, tas saya!” ujarku setengah berteriak. Untung ada yang berbaik hati melepaskan sangkutan tali tas dari pintu. Aku sempat mengangguk pelan sambil berterima kasih lirih pada orang itu sebelum kembali terdorong ke tengah-tengah bus.
Kini, aku mulai gelisah. Aku tahu bus ini tidak melewati kampusku. Aku memperhatikan jalanan di luar sana seraya menyeka keringat di keningku. Kuperhatikan juga orang-orang di sekelilingku. Seseorang duduk memeluk tas kerja di depan sana. Ia duduk didampingi oleh seorang pria yang menyandarkan kepala ke jendela, tertidur. Di belakang mereka, seorang pemuda duduk dengan cuek sambil mendengar musik melalui headset. Ada pula yang ngobrol bersama teman di sebelahnya, bahkan seorang wanita asyik menelepon dan berbicara dengan volume tinggi. Macam-macam perangai orang di sini. Baru kali ini aku benar-benar melihat fenomena seperti ini. Sebelumnya aku tidak pernah menaiki bus yang sesak.
Bus terus melaju dengan suara bising. Bus yang sebenarnya sekarat dengan besi pegangan yang telah berkarat, tapi apa boleh buat. Aku berada di dalamnya. Ketika bus berhenti di sebuah stasiun kereta, aku pun turun. Aku hanya mengikuti arus. Banyak orang yang sepertinya juga mahasiswa turun di stasiun ini. Lagipula, aku ingat kata sopirku, “Kalau tersesat atau salah naik angkot, cari saja stasiun kereta. Nanti tinggal naik kereta sampai kampus.”
Aku yakin, untuk mencapai kampus, aku harus naik kereta, karena bus yang kunaiki tidak akan sudi mengantarku hingga kampus. “Duh, mudah-mudahan aman.” Aku tidak biasa naik kereta, apalagi sendirian.
Aku membeli tiket Commuter Line, tapi kereta yang lebih dulu datang adalah kereta ekonomi. Tanpa piker panjang, kuganti tiketku dengan yang ekonomi. Beruntung, keretaku datang. Tanpa pikir panjang, kulangkahkan kaki ke dalam. Tidak terlalu penuh dan tidak kosong. Lagi-lagi aku berdiri. Kupeluk tas yang biasa kuselempangkan, kukangkangkan kaki untuk menjaga keseimbangan. Kulihat di sekelilingku. Tidak jauh berbeda dengan suasana di bus tadi.
“Koran....Koran....Tempo seribu, Kompas seribu, Media...Media...” teriak seorang anak kecil menjajakan setumpuk koran yang di pelukannya. Kupandangi ia. Tubuh ceking dengan baju kaos lusuh merah dengan celana pendek merah, seperti celana seragam sekolah. Sendal jepit menjadi alas kakinya yang kumal. Ia menawarkan dagangannya kepadaku. Hatiku terenyuh. Anak seusianya tidak pantas berada di sini. Ia seharusnya sedang berlarian bersama teman-temannya di sekolah. Kukeluarkan uang lima ribu dari tasku. Kuambil satu koran di tangannya.
“Yah, kak, nggak ada kembaliannya,” ucap anak itu. Dia terlihat sopan sekali. Suaranya kecil dan lembut terdengar di telingaku.
“Hmm, kakak juga nggak punya duit receh, Dek. Tapi, ya, sudah. Ambil aja kembaliannya.”
“Makasih, Kak.”
Dia pun berlalu dan menawarkan koran-korannya kepada orang lain. Sepeninggalnya, aku membolak-balik koran di tanganku. Kereta melambat dan berhenti di sebuah stasiun. Penumpang yang naik lebih banyak disbanding penumpang yang turun. Kereta mulai sesak. Kututup dan kulipat koranku lalu menjejalkannya ke dalam tas. Aku segera mengambil posisi yang nyaman agar aku bisa tetap bernapas dan tidak terbawa arus.
Kereta mulai melaju lagi. Di kereta yang penuh ini, masih ada orang yang lewat menjual makanan, entah makanan itu terjaga kebersihannya atau tidak. “Argh,” keluhku seraya aku memiringkan tubuhku untuk memberi jalan pada penjaja makanan itu. Tak lama berselang, ada pula pemuda yang membawa aksesoris wanita, kemudian penjual lem, buah, buku, alat-alat tulis, topeng monyet, dan pengamen muncul silih berganti. Selain itu, banyak pula pengemis dengan gaya berbeda meminta belas kasihan dari orang-orang. Kuperhatikan pula seorang bapak yang menyapu lantai kereta dengan asal-asalan saja dan meminta upah kepada orang di sekitarnya.
Ini apa ya namanya? Sebuah sandiwara keretakah? Perasaan jijik, bau, sumpek, dan kasihan bercampur. Di tengah sesak orang yang hendak berangkat kerja, kuliah, sekolah, dan berbagai keperluan lainnya di sini, para pedagang, pengamen, pengemis, dan tukang bersih-bersih juga muncul. Mereka semakin memperlihatkan ketimpangan yang ada di kereta, padahal aku baru berdiri beberapa menit di gerbong ini. Mereka melewatiku seakan menjadi figuran sebuah sandiwara hidup. Aku sebagai tokoh utamanya dan bunyi kereta sebagai musik pengiringnya.
Akhirnya sampai juga aku di sebuah stasiun yang dekat dengan kampusku. Lega. Angin segar pertama kali menerpa wajahku, dingin meniupi bulir keringatku. Kulihat sekilas ada seorang pria yang ditahan karena tidak dapat menunjukkan tiketnya. Berbagai alasan diucapkannya sembari berlagak akting meraba-raba kantongnya. Aku hanya geleng-geleng kepala saja melihat orang itu.
Kupandangi arlojiku dan betapa kagetnya aku melihat jarum jam menunjukkan pukul delapan lewat. Sudah terlambat untuk masuk jam pertama. “Ah, tahu begini, aku tidak perlu bela-belain bangun pagi-pagi. Kan, aku bisa minta anterin aja. Uh,” lirihku pada diri sendiri.
Karena tidak perlu terburu-buru, aku berjalan dengan santai keluar stasiun. Kupandangi langit. Matahari tampak telah meninggi. Aku menerobos panas mentari, berjalan di trotoar. Jarak stasiun dengan kampusku memang tidak terlalu jauh. Aku kembali bertemu dengan banyak penjaja makanan, koran, dan aksesoris. Aku berjalan menghiraukan tawaran mereka. Di trotoar, ada beberapa pengemis yang duduk berjauhan. Jika bisa dihitung rata-ratanya, setiap lima puluh meter, aku akan bertemu dengan seorang pengemis. Aku memperhatikan mereka yang mengharapkan sumbangan dariku. Kupandangi jalanan yang masih basah dan becek karena hujan lebat merundung kota Jakarta semalam. Kudongakkan kepala memandang ke atas. Panas. Apakah mereka akan sanggup duduk di trotoar ini sampai siang bahkan sore hari? Begitu setianya mereka menunggu, padahal waktu mereka akan lebih berharga jika mereka mau berusaha.
Memasuki gerbang utama kampus, ponsel di dalam tasku berdering. Aku merogoh tasku dan mengambil ponsel itu. Seketika, raut wajahku langsung berubah ketika membaca pesan masuk. Dari temanku. Dia mengatakan hari ini ternyata tidak ada kuliah sama sekali. Dosen-dosen di jurusan ikut seminar. Ah, kesal. Aku mencari tempat berteduh. Kebetulan di dekat sana ada pohon rindang dan bangku taman.
Kuhempaskan tubuhku di bangku itu. Kukeluarkan sebotol minuman yang dibawa dari rumah. Kuteguk hingga habis setengahnya. Aku pun mulai mengatur napasku, seraya menggerutu, “Bangun pagi biar nggak telat, salah naik angkot, desak-desakkan di kereta. Ayah yang nggak bisa nganterin karena mau keluar kota siang ini dengan Pak Ahmad, sopirnya. Ah, ngapain ke kampus. Buang tenaga, buang duit. Panas, keringetan. Seandainya Pah Ahmad bisa menjemputku di sini.”
Aku terus mengutuki diriku sendiri. Aku membayangkan sopir ayah bisa menjemputku di sini. Aku bisa merasakan sejuknya AC mobil dan akan kusetel musik dengan keras, sehingga aku pun dapat tidur di mobil.
Aku melongok kesana kemari. Tak ada mahasiswa yang kukenal untuk kuajak ngobrol. Aku tidak semangat lagi masuk ke kampus. Hal yang paling kuinginkan adalah segera sampai di rumah, mandi, dan melanjutkan tidurku yang tertunda tadi subuh.
Setelah puas dibuai angin sepoi-sepoi, aku pun berdiri dan mulai berjalan kembali ke arah stasiun. Aku memutuskan untuk naik kereta saja. Jam segini angkot yang lewat di depan komplek rumahku pasti penuh, mengangkut dagangan orang dari pasar. Hawa panas begini seangkot dengan bau ikan, ayam, daging, dan sebagainya akan membuatku mual. Jadi, lebih baik aku menghindari hal itu saat ini. Tapi nanti turun di mana, ya? “Ah, biarinlah. Nanti lagi di pikirin.”
Jalan beberapa menit, sampai juga aku di stasiun kereta. Suasananya lebih ramai. Ada warung-warung makanan yang berdiri di pinggir jalan. Angkot-angkot pun banyak berhenti di depannya, menunggu penumpang. Jalanan di sekitar stasiun terlihat macet. Aku berjalan memasuki gerbang stasiun, menghindari teriakan-teriakan dari para kernet yang menawari naik angkot. Aku mencari loket, membeli tiket Commuter Line saja. Stasiun terlihat ramai. Ternyata kereta ada yang mogok sehingga jalur terhambat.
Aku membuka tasku dan meneguk air minum. Berkali-kali aku menyeka keringat di muka. Baju kemeja yang kukenakan telah basah oleh keringat. Sepatuku kelihatan kotor. Rambutku yang tadinya rapi, kini mulai tidak karuan. Kuikat saja asal-asalan. Aku tidak peduli lagi dengan penampilanku hari ini. Pulang, itulah tujuanku. Aku berdiri mengantre karcis. Tasku yang berat karena berisi buku kuliah, kujinjing. Bahuku pegal menyandang tas itu terlalu lama. Kuperhatikan orang yang berseliweran di sekitarku, sibuk dengan urusan masing-masing.
Aku melihat pasangan yang duduk di peron sambil berpeluk-pelukkan. Mereka tidak memperdulikan kerisihan orang di sekeliling mereka. Tak jauh dari sana ada pula ibu-ibu yang menimang anaknya yang menangis karena hawa yang panas pagi ini. Ada segerombolan preman yang berdiri di sudut peron memperhatikan orang lain berlalu-lalang. Semua tak luput dari perhatianku. Baru kali ini aku melihat begitu banyak orang dari berbagai kalangan dan berbagai tingkah polah. Ini hal yang beda bagiku. Aku tidak tahu apakah aku takjub melihat ini semua, miris, atau justru benci.
Di tengah lamunanku, aku merasakan ada yang menarik tasku. Cepat. Ketika aku berpaling, tasku telah dibawa lari oleh seorang preman.
“Jambret... Jambret... To... Tolong.... Tolong....Pak, Bu, dia mengambil tas saya. Tolong... Tolong... Jambret...” Aku berteriak sekencang-kencangnya.
Semua orang melihat ke arahku. Aku keluar dari antrean, hendak mengejar, tapi ia telah tenggelam di tengah kerumunan orang. Satpam stasiun telah mengejar penjambret yang mengambil tasku itu. Mata sekian banyak orang yang tadinya memandang ke arahku, telah kembali kepada pikiran mereka masing-masing. Hanya beberapa orang saja yang mendekatiku.
“Kenapa, Mbak?”
“Dia mengambil apa saja?”
“Mbak, nggak apa-apa, kan?”
“Gimana ciri-ciri orangnya?”
“Makanya, hati-hati, Mbak. Jangan bengong.”
Aku tidak bisa menjawab pertanyaan dari orang-orang itu. Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Sesak. Aku tidak bisa menangis lagi. Aku tidak bisa berteriak lagi. Suaraku tercekat di tenggorokan. Aku hanya bisa mengatur napasku.
Kekacauan itu hanya terjadi sesaat. Berondongan pertanyaan orang-orang pun mulai berkurang. Mereka tidak lagi mengerumuniku. Satpam yang mengejar tadi tidak kunjung kembali. Tak ada alasan untuk menangis. Uang, ponsel, kartu pengenalku ada di dalam tas. Tidak ada sepeser uang pun tersisa di kantong celanaku. Untuk menelepon rumah dengan telepon koin pun tidak bisa.
Aku melangkah gontai ke arah bangku-bangku stasiun yang kosong. Duduk lalu mengikuti orang-orang yang berjalan dengan pandanganku. Sedikit banyak aku paham tentang Jakarta hari ini. Kehidupan keras Jakarta yang menurutku aman dan damai saja, ternyata menyimpan kepedihan di sekelilingnya.
Saat itu, tertangkap olehku sepasang kakek nenek yang berjalan berdua. Pakaian mereka lusuh dan tubuh mereka tampak kumal. Mereka menggunakan sendal jepit yang telah tipis dan kotor. Mereka berjalan di hadapanku. Tak jauh dariku, mereka pun berhenti dan duduk lesehan begitu saja di lantai stasiun. Mereka masih sempat bercanda. Mereka duduk berdekatan sambil menghitung beberapa uang ribuan. Mesra sekali. Meskipun hanya beberapa uang ribuan di tangan, mereka tampak senyum-senyum saja. Jakarta yang panas dengan sandiwara keretanya mengajarkan mereka banyak hal. Jakarta tak lagi mengajarkan mereka perduli, tapi mengajarkan mereka cara bertahan hidup. Tak ada yang memperhatikan dua pasangan tua itu. Hanya aku yang melihat. Hanya aku yang duduk termangu.
Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar