Swiss, negara yang beroperasi dengan aturan dan kepercayaan.
Tepatnya tanggal 27 Februari 2013 lalu, aku menginjakkan kaki di sebuah negara paling tidak pernah berpihak di seluruh dunia, Switzerland atau bahasa kampungnya sama dengan Swiss.
Selama 6 hari di sana rasanya tak cukup apalagi tujuanku ke sana bukanlah untuk traveling. Aku hanya mendampingi ibuku yang ikut festival kebudayaan dunia MUBA di Basel. Tapi aku punya beberapa cerita yang bisa kubagi di sini. Yah, mungkin sebagian orang sudah tau, tapi gak ada salahnya berbagi kembali.
Pesawatku saat itu mendarat di Zurich dengan suhu udara 0 derajat celcius tepat pukul 6 pagi, beda 7 jam dengan waktu Indonesia. Saat itu aku tahu bahwa orang Swiss memiliki perhitungan waktu yang sangat akurat. Setelah pengecekan imigrasi dan bagasi, kami berjalan ke pintu kedatangan. Udara di dalam ruangan hangat, tapi begitu keluar pintu, jangan harap anda bisa menahan terpaan udara pagi musim dingin dengan tetes salju masih menyisa di aspal. Dingin seperti bermalam di kulkas (walaupun belum pernah berdiam diri di dalam kulkas, tapi setidaknya rasanya seperti itu), seperti memegang batu es sekitar 5 menit. Dingin yang ngilu. Aku langsung mengalungkan syal dan memakai sarung tangan, meski sedikit hangat, tapi lumayan membekukan ujung-ujung saraf.
Kami telah ditunggu beberapa utusan dari KBRI. Kami punya waktu sekitar 10 menit untuk mengemasi bagasi karena katanya pukul 7 teng, bus sewaan KBRI akan sampai di lobi dan mereka tidak bisa menunggu barang 5 menit pun. Sistem di sana memang telah diatur seperti itu. Bus yang disews pukul 7, maka tepat jam segitu bus itu datang dan sopirnya tidak bisa menunggu. Di sini serba sigap karena setiap orang yang bekerja di negara itu dibayar per jam. Mereka tidak mau merelakan waktu barang 1 menit saja untuk sebuah kelalaian.
Aku pun bergegas saat busnya datang. Sang sopir dengan ramah menyapa kami dengan berbahasa Inggris. Bahkan sopir pun sangat berpendidikan. Bus itu akan melaju mengantarkan kami ke kota Basel dalam 1 setengah jam. Jadi pukul 08.30 kami sudah di hotel. KBRI telah menyusunkan jadwal kami dengan rapi.
Kulihat Basel adalah kota yang tak terlalu besar. Jalanannya dipenuhi garis-garis yang merupakan jalur jalur tram, jalur khusus sepeda, jalur untuk parkir, jalur untuk orang buta, kursi roda, anak-anak, bus, dll. Aku jatuh cinta dengan kota ini. Semua diatur sedemikian sempurna. Semua pun berjalan dengan semestinya.
Kami dibagikan sebuah kartu, katanya itu kartu pass untuk naik kereta selama berada di Basel. Tadinya kupikir kartu itu ditunjukkan ke petugas stasiun atau petugas kereta setiap naik kereta. Ternyata tidak demikian adanya. Kartu itu hanya disimpan, buat berjaga-jaga jika sewaktu-waktu ada pemeriksaan.
Nah, yang jadi pertanyaan, kapan pemeriksaan itu dilakukan? Selama aku berada di sana, sama sekali kartu kami tidak diperiksa, begitu juga dengan orang-orang bule itu yang kesehariannya naik kereta. Mereka mengisi voucher tiket di sebuah mesin mirip mesin ATM yang ada di halte. Mereka mengisi voucher, tapi tidak pernah ada yang memeriksa. Lantas bisa saja dong ada orang yang menyelinap tanpa bayar? Anyway, di Basel ini ada kereta besar yang menghubungkan antar kota dan negara, serta kereta kecil atau tram yang menghubungkan setiap wilayah di kota Basel. Kartu yang diberikan Orang KBRI pada kami adalah kartu tiket untuk naik tram.
Akhirnya aku tau jawabannya. Negara itu menjunjung tinggi kepercayaan. Transportasi di Basel beroperasi dengan sistem kepercayaan itu dan takjubnya semua orang menaatinya. Kebayang kan kalau di Indonesia diterapkan sistem seperti itu? Orang kita masih termasuk barbar untuk diberikan kepercayaan semacam itu. Sementara di Swiss, denda bukanlah hukuman, melainkan rasa malu karena mendapat penghinaan publik serasa seperti hukuman mati.
Tepatnya tanggal 27 Februari 2013 lalu, aku menginjakkan kaki di sebuah negara paling tidak pernah berpihak di seluruh dunia, Switzerland atau bahasa kampungnya sama dengan Swiss.
Selama 6 hari di sana rasanya tak cukup apalagi tujuanku ke sana bukanlah untuk traveling. Aku hanya mendampingi ibuku yang ikut festival kebudayaan dunia MUBA di Basel. Tapi aku punya beberapa cerita yang bisa kubagi di sini. Yah, mungkin sebagian orang sudah tau, tapi gak ada salahnya berbagi kembali.
Pesawatku saat itu mendarat di Zurich dengan suhu udara 0 derajat celcius tepat pukul 6 pagi, beda 7 jam dengan waktu Indonesia. Saat itu aku tahu bahwa orang Swiss memiliki perhitungan waktu yang sangat akurat. Setelah pengecekan imigrasi dan bagasi, kami berjalan ke pintu kedatangan. Udara di dalam ruangan hangat, tapi begitu keluar pintu, jangan harap anda bisa menahan terpaan udara pagi musim dingin dengan tetes salju masih menyisa di aspal. Dingin seperti bermalam di kulkas (walaupun belum pernah berdiam diri di dalam kulkas, tapi setidaknya rasanya seperti itu), seperti memegang batu es sekitar 5 menit. Dingin yang ngilu. Aku langsung mengalungkan syal dan memakai sarung tangan, meski sedikit hangat, tapi lumayan membekukan ujung-ujung saraf.
Kami telah ditunggu beberapa utusan dari KBRI. Kami punya waktu sekitar 10 menit untuk mengemasi bagasi karena katanya pukul 7 teng, bus sewaan KBRI akan sampai di lobi dan mereka tidak bisa menunggu barang 5 menit pun. Sistem di sana memang telah diatur seperti itu. Bus yang disews pukul 7, maka tepat jam segitu bus itu datang dan sopirnya tidak bisa menunggu. Di sini serba sigap karena setiap orang yang bekerja di negara itu dibayar per jam. Mereka tidak mau merelakan waktu barang 1 menit saja untuk sebuah kelalaian.
Aku pun bergegas saat busnya datang. Sang sopir dengan ramah menyapa kami dengan berbahasa Inggris. Bahkan sopir pun sangat berpendidikan. Bus itu akan melaju mengantarkan kami ke kota Basel dalam 1 setengah jam. Jadi pukul 08.30 kami sudah di hotel. KBRI telah menyusunkan jadwal kami dengan rapi.
Kulihat Basel adalah kota yang tak terlalu besar. Jalanannya dipenuhi garis-garis yang merupakan jalur jalur tram, jalur khusus sepeda, jalur untuk parkir, jalur untuk orang buta, kursi roda, anak-anak, bus, dll. Aku jatuh cinta dengan kota ini. Semua diatur sedemikian sempurna. Semua pun berjalan dengan semestinya.
Kami dibagikan sebuah kartu, katanya itu kartu pass untuk naik kereta selama berada di Basel. Tadinya kupikir kartu itu ditunjukkan ke petugas stasiun atau petugas kereta setiap naik kereta. Ternyata tidak demikian adanya. Kartu itu hanya disimpan, buat berjaga-jaga jika sewaktu-waktu ada pemeriksaan.
Nah, yang jadi pertanyaan, kapan pemeriksaan itu dilakukan? Selama aku berada di sana, sama sekali kartu kami tidak diperiksa, begitu juga dengan orang-orang bule itu yang kesehariannya naik kereta. Mereka mengisi voucher tiket di sebuah mesin mirip mesin ATM yang ada di halte. Mereka mengisi voucher, tapi tidak pernah ada yang memeriksa. Lantas bisa saja dong ada orang yang menyelinap tanpa bayar? Anyway, di Basel ini ada kereta besar yang menghubungkan antar kota dan negara, serta kereta kecil atau tram yang menghubungkan setiap wilayah di kota Basel. Kartu yang diberikan Orang KBRI pada kami adalah kartu tiket untuk naik tram.
Akhirnya aku tau jawabannya. Negara itu menjunjung tinggi kepercayaan. Transportasi di Basel beroperasi dengan sistem kepercayaan itu dan takjubnya semua orang menaatinya. Kebayang kan kalau di Indonesia diterapkan sistem seperti itu? Orang kita masih termasuk barbar untuk diberikan kepercayaan semacam itu. Sementara di Swiss, denda bukanlah hukuman, melainkan rasa malu karena mendapat penghinaan publik serasa seperti hukuman mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar