Sulung Siti Hanum
(Sebuah tulisan lama)
Setiap orang pasti memiliki rasa bosan. Dan kebosanan itu akan sampai pada puncaknya ketika kita melakukan sesuatu terus-menerus tanpa ada perubahan. Ibarat kita makan dengan menu yang sama setiap hari akan timbul rasa bosan terhadap makanan tersebut. Sama halnya dengan sekolah. Sekarang setiap anak di Indonesia diwajibkan bersekolah selama 12 tahun. Dalam tempo yang dirasakan cukup lama itu, berapa kalikah kita merasa kalau sekolah memang lembaga pendidikan yang betul-betul menyenangkan, layaknya masa taman kanak-kanak?!
Jika dipikirkan lagi, 12 tahun bukanlah waktu yang singkat. Terbayang oleh kita bagaimana waktu dihabiskan di gedung sekolah dengan kegiatan belajar mengajar, plus sistem yang tidak berubah. Dalam tahun-tahun itu, kita dapat mengenal karakter guru yang berbeda, sehingga seiring berkembangnya pola pikir, kita pun mulai jenuh dengan cara penyajian pelajaran yang cenderung bersifat text book.
Suasana kelas menjadi sangat membosankan. Pola pengajarannya masih monoton dengan disuguhi wacana-wacana dan teori tanpa ada prakteknya secara langsung. Dengan santai guru-guru menerangkan pelajaran di depan kelas seolah berpidato hingga jam pelajaran usai. Mereka tidak mempedulikan apakah siswanya benar-benar menyimak dengan baik. Mereka menganggap semuanya telah mengerti dengan materi ajarnya. Namun persepsi itu melenceng. Jangankan mengerti, mendengarkan saja bak masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Yang didapat dari siswanya justru muka keruh dengan mata yang mulai mengantuk bagaikan mendengar dongeng sebelum tidur. Dan sayangnya dari sisi siswa sendiri jarang memprotes hal itu. Kami dari kecil memang sudah dididik seperti itu, mematuhi apa yang dikatakan guru tidak peduli salah dan benarnya, serta menghormati mereka yang lama-kelamaan tertuang dalam wujud rasa takut. Takut dimarahi lantaran akan disangkut-pautkan dengan nilai rapor.
Sebagai pelajar, kami tinggal duduk di kelas mendengar penjelasan guru kemudian membawa pulang setumpuk pekerjaan rumah. Paham tidak paham itu urusan nanti. Dengan diberikan tugas yang banyak, pelajar akan tetap terfokus pada pelajaran di sekolah dan tidak ada waktu untuk bermain. Masuk akal memang. Tetapi menurut saya itu tidaklah efektif, apalagi bagi pelajar yang baru saja menginjak usia remaja. Masing-masing anak memiliki motivator berbeda terhadap apa yang mereka jalani. Dan tidak ada yang berhak merampasnya atau menggantinya secara paksa. Tugas-tugas yang harus diselesaikan di rumah dalam tempo yang terbilang singkat, akan mengurangi waktu senggang yang biasa digunakan untuk kegiatan ekstrakurikuler. Seharusnya para guru menyadari hal itu. Saya menangkap maksud sebagian guru tersebut bahwa hal non- akademis itu tidak terlalu penting yang akan membuang waktu dan mengganggu konsentrasi belajar. Saya rasa itu suatu tindakan yang egois. Jika setiap pelajar hanya memikirkan hal yang berhubungan dengan pelajaran di sekolah, tanpa diimbangi dengan sesuatu yang dapat memacu potensi diri, kapan kita berkembangnya. Bukan zamannya lagi kita didikte atau diceramahi.
Saya juga berkesimpulan guru-guru telah menghambat kreativitas siswanya di luar hal akademis. Mereka seakan mematok pelajar untuk terus belajar tanpa banyak menuntut. Yang menjadi acuan tetaplah sang juara kelas dan siswa berprestasi bidang akademis sehingga mendapat perhatian lebih dari para guru, sehingga siswa lainnya tidak jarang terlupakan. Apakah seperti itu sistem yang dijalani sekarang? Kalau begitu berlakulah hukum rimba, yang pandai akan terus maju, sedangkan yang bodoh akan semakin terbelakang.
Pada dasarnya, selain mengajar, tugas guru juga mendidik prilaku siswanya dari yang kurang ajar menjadi sosok terpelajar. Namanya juga lembaga pendidikan. Memang itulah yang diutamakan. Tetapi sayang, selama saya mengecap asam garam pendidikan selama 11 tahun lebih ini, hanya sedikit guru yang benar-benar menjalankan tugasnya sebagai pengajar sekaligus pendidik. Kebanyakan yang ditemukan hanya tenaga pengajar saja bukan tenaga pendidik. Itu pun tidak maksimal. Saya mendapat gambaran, secara tidak langsung guru telah meyakinkan kita bahwa belajar merupakan pekerjaan berat yang mesti dipikul. Mau tidak mau kita harus menerimanya. Tentu saja itu hal yang menjengkelkan. Kami bersekolah untuk mencari ilmu pengetahuan dengan nuansa baru, mendapatkan sesuatu yang menarik tanpa ada beban. Tetapi pada kenyataannya sekolah menjadi tempat yang ’payah’ dan membosankan. Kita seolah tidak diberi kesempatan untuk belajar dengan menyenangkan dan kaya pengalaman unik. Padahal semua itu akan terus dijalani selama sekian tahun ke depan. Jadi tidak salah jika kami belajar untuk tidak belajar.
Bayangkan, 12 tahun lamanya kita bergumul dengan buku-buku pelajaran serta guru-guru yang bersikap dengan cara tertentu. Setiap guru pasti memiliki trik tersendiri dalam mengajar. Mereka menginginkan yang terbaik dari siswanya. Saya pahami itu. Tapi apakah para guru sudah benar-benar mengenal siswanya, sehingga dapat terjalin kecocokan antara keduanya?! Saya yakin tidak sebaik itu. Terkadang guru berusaha menciptakan suasana menyenangkan dalam belajar. Bisa dibilang berhasil pada hari-hari pertama. Namun berikutnya trik tersebut terasa ’garing’ atau ’basi’. Mungkin karena metodenya tidak bervariasi. Mau menciptakan suasana seperti apapun, ujung-ujungnya juga menjelaskan pelajaran dengan cara yang membosankan. Keasyikan belajar pun menjadi hilang yang berupa intermezo sesaat saja.
Di samping itu ada juga guru yang mengajar tanpa senyum. Mereka menganggap keseriusan belajarlah yang terpenting, yaitu dengan duduk tenang sambil memperhatikan guru menjelaskan pelajaran, tidak ngobrol dengan teman, dan mengerjakan tugas dalam kondisi diam. Tidak ada tawa, celoteh, ataupun lelucon. Guru seperti itu yang biasa dijuluki ’guru killer’. Semua terlihat kaku.
Sekarang kurikulum telah berganti dengan nama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Dengan sistem ini diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, KBK menuntut keaktifan pelajar dalam PBM 60% sedangkan guru bertindak sebagai pembimbing. Di sini pelajar bisa sedikit lebih leluasa. Namun bagaimana jalannya KBK itu masih dalam tanda tanya besar. Jangankan pelajar, guru sendiri tidak mengerti apa yang disebut KBK. Bagaimana kita bisa belajar dengan baik jika guru saja tidak tahu apa yang mesti dilakukan.
Dilihat dari konsepnya, tampaknya KBK lebih asyik, sedangkan dalam prakteknya, KBK masih tidak ubahnya kurikulum lama. Hanya ruang lingkup materi ajarnya yang sedikit berbeda. Minimnya peran guru di dalam kelas, justru banyak yang diselewengkan. Guru sekedar duduk-duduk saja memperhatikan siswanya berdiskusi, kemudian dengan gampangnya memberikan tugas studi pustaka disertai indikator tertulis. Dan nanti langsung diadakan ulangan hariannya tanpa mendapat penjelasan yang lebih detail dari guru. Lagipula diterangkan pun di kelas jarang yang masuk ke kepala. Penjelasan guru lebih cenderung bersifat wacana, sedangkan aplikasinya, pelajar yang mengembangkan sendiri. Benar-benar memusingkan. Banyak di antara siswa yang mengeluhkan KBK hanya menambah beban. Tugas-tugas bertumpuk daripada sebelumnya.
Mungkin cara pandang guru dengan siswanya berbeda. Ada yang merasa cocok dan ada pula yang tidak cocok. Di situlah tantangan bagi seorang guru. Dengan mengenal siswanya lebih dekat maka guru-guru akan tahu bidang yang diminati siswa serta cara berpikir dan karakter mereka. Kami tidak bisa tahu bagaimana orang dewasa berpikir termasuk guru, karena kita dibatasi oleh usia dan pola pikir yang berbeda, tetapi guru-guru salah kalau mereka melupakan bagaimana rasanya jadi anak muda.
Sepertinya saya sempat membaca tulisan ini sebelumnya... tapi dimana ya? By the way, saya mau nanya, kalau yang ini bisa disebut opini juga gak sih? Makasih dan terus berkarya!
BalasHapuskalau pun pernah, berarti anda bersua dengan tulisan ini di alam mimpi. hmmm..ya ini bisa disebut opini juga.
BalasHapushahahahhah
BalasHapussolusi mu bgz juga ea.....
:)
hmmmm.....terima kasih. btw, ini siapa ya kalo boleh tau...
BalasHapus