"Kita bermimpi tentang esok, dan esok tak pernah ada;
Kita bermimpi tentang kebanggaan yang tak benar-benar kita inginkan.
Kita bermimpi tentang hari baru ketika hari baru sudah tiba.
Kita lari dari peperangan ketika peperangan itu harus kita perjuangkan.
Kita mendengarkan panggilan namun tak pernah benar-benar memperhatikan,
Berharap akan masa depan ketika masa depan hanya direncanakan.
Bermimpi tentang kebijakan yang kita hindari setiap hari.
Berdoa bagi datangnya juru selamat ketika keselamatan ada di tangan kita.
Dan masih saja kita terlelap.
Dan masih saja kita terlelap.
Dan masih saja kita berdoa.
Dan masih saja kita takut...."
Kita bermimpi. Wajib.
Saya tergugah membaca puisi ini, di dalam sebuah novel yang sudah berulang kali saya baca, Dead Poets Society. Novel ini seakan tak pernah habis saya korek setiap sisi makna di dalamnya.
Lalu puisi ini, menyentil kita semua. Kita bermimpi tapi kita tak pernah menyadari bahwa mimpi itu dekat. Kita selalu sibuk dengan masalah. Padahal masalah itu sudah pasti ada. Masalah itu untuk dihadapi, bukan untuk ditinggalkan lantas kabur.
Saat bermimpi, kita terlalu takut dengan kenyataan di masa depan. Kita terlalu takut untuk memikirkan rintangan apa saja yang akan dihadapi. KIta juga tak pernah berpikir bahwa langkah yang sudah kita pilih itu justru sewaktu-waktu dapat menyelewengkan mimpi itu sendiri.
Puisi ini nyata karena menatap realita. Realitanya adalah kita selalu memikirkan hal-hal yang membuat kita sendiri tak sanggup untuk mencobanya. KIta cenderung memikirkan seuatu yang muluk, padahal sesuatu itu belum tentu ada atau mungkin sesuatu itu ada tapi tak seperti yang kita harapkan. Bermimpi bukan berarti hidup selalu aman dan nyaman. Tapi tak perlu pula kita takut.
Hari esok pasti akan datang. Dan bukan tugas kita untuk mengklaim akan seperti apa hari ini. Kita hanya perlu menjalaninya saja.
Kutipan puisi dari Dead Poets Society yang menginspirasi.
"Indahmu tak seindah pikirmu, cerahmu tak secerah matamu. Tapi kau tahu kau salah, mengapa kau membisu?"
Selasa, 27 Desember 2011
Petikan Puisi dalam Dead Poets Society
Selasa, 20 Desember 2011
Jangan Main-main dengan Mimpimu
Apa yang kita impikan akan menjadi doa untuk masa depan. Apapun itu, hal terkonyol sekalipun dapat menjadi sebuah mimpi nyata yang terkabul. Seperti kata Andrea Hirata,
Dalam hidup yang perlu dilakukan adalah bermimpi. Berani bermimpi, mempunyai harapan, dan berangan-angan untuk meraih semuanya. Tuhan tahu yang terbaik untuk kita. Kita hanya tinggal bermimpi, apa susahnya? Tunggu apa lagi?
Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu.Lalu kita juga sering dengar, perkataan adalah doa.
Dalam hidup yang perlu dilakukan adalah bermimpi. Berani bermimpi, mempunyai harapan, dan berangan-angan untuk meraih semuanya. Tuhan tahu yang terbaik untuk kita. Kita hanya tinggal bermimpi, apa susahnya? Tunggu apa lagi?
Tentang Ibu
Di sini aku ingin berbicara tentang ibu, khususnya ibuku. Lumrah sudah ibu adalah sosok terdekat dan luar biasa. Tapi ibuku lebih luar biasa lagi. Aku menyebutnya bundo.
Satu hal yang aku kagumi darinya adalah di umurnya yang hampir setengah baya ini, bundo masih punya impian. Beliau masih merancang mimpi-mimpinya untuk menjadi nyata. Di saat ibu-ibu yang lain mempersiapkan hari tua mereka denga hidup tenang dan tersenyum melihat kesuksesan anak-anak mereka, bundo justru masih terus berjuang untuk mengumpulkan puzzle di setiap momen berharga dalam hidupnya. Dia tak pernah mau untuk berhenti sebelum rencana-rencananya terlaksana.
Aku kagum padanya. Di balik sosoknya sebagai ibu yang melahirkan dan membesarkanku, aku bangga mengenalnya sebagai orang terdekat yang pantas kuteladani. Semangatnya luar biasa. Bahkan berkali-kali diterpa badai yang meruntuhkan asa, bundo tetap tegar. Kepercayaan dirinya dan keyakinannya yang tinggi membentuk tekadnya dan karakternya yang keras.
Bundo adalah seorang ibu dan juga guru. Di samping itu, bundo adalah seorang koreografer. Bundoku seniman. Puluhan karya sudah dihasilkannya. Meski masih ada yang memandangnya sebelah mata, bundo tidak peduli. Yang ia pikirkan hanya berkarya, berkarya, dan terus berkarya. Gerak adalah hidupnya, dan pentas adalah napasnya. Itulah yang membuatnya tetap sehat. Karya adalah obat kesakitannya. Bundo pun selalu mengajarkan hal itu padaku. Jangan pernah berhenti sebelum kita benar-benar lelah. Jangan tunggu orang lain untuk bertindak. Selagi kita mampu, lakukan sendiri.
Di satu sisi aku bangga. Di sisi lain aku iri. Itu yang membuatku tak mengerti diriku sendiri. Bundo yang sudah kepala empat masih punya agenda berharga untuk hidupnya. Sedangkan aku? Aku perlu mempertanyakan itu kepada diriku sendiri. Aku juga ingin terus berkarya. Seperti bundo.Bahkan ingin lebih baik dari pencapaiannya. Agar bundo tak sia-sia melahirkanku. Agar bundo juga bangga padaku.
Satu hal yang aku kagumi darinya adalah di umurnya yang hampir setengah baya ini, bundo masih punya impian. Beliau masih merancang mimpi-mimpinya untuk menjadi nyata. Di saat ibu-ibu yang lain mempersiapkan hari tua mereka denga hidup tenang dan tersenyum melihat kesuksesan anak-anak mereka, bundo justru masih terus berjuang untuk mengumpulkan puzzle di setiap momen berharga dalam hidupnya. Dia tak pernah mau untuk berhenti sebelum rencana-rencananya terlaksana.
Aku kagum padanya. Di balik sosoknya sebagai ibu yang melahirkan dan membesarkanku, aku bangga mengenalnya sebagai orang terdekat yang pantas kuteladani. Semangatnya luar biasa. Bahkan berkali-kali diterpa badai yang meruntuhkan asa, bundo tetap tegar. Kepercayaan dirinya dan keyakinannya yang tinggi membentuk tekadnya dan karakternya yang keras.
Bundo adalah seorang ibu dan juga guru. Di samping itu, bundo adalah seorang koreografer. Bundoku seniman. Puluhan karya sudah dihasilkannya. Meski masih ada yang memandangnya sebelah mata, bundo tidak peduli. Yang ia pikirkan hanya berkarya, berkarya, dan terus berkarya. Gerak adalah hidupnya, dan pentas adalah napasnya. Itulah yang membuatnya tetap sehat. Karya adalah obat kesakitannya. Bundo pun selalu mengajarkan hal itu padaku. Jangan pernah berhenti sebelum kita benar-benar lelah. Jangan tunggu orang lain untuk bertindak. Selagi kita mampu, lakukan sendiri.
Di satu sisi aku bangga. Di sisi lain aku iri. Itu yang membuatku tak mengerti diriku sendiri. Bundo yang sudah kepala empat masih punya agenda berharga untuk hidupnya. Sedangkan aku? Aku perlu mempertanyakan itu kepada diriku sendiri. Aku juga ingin terus berkarya. Seperti bundo.Bahkan ingin lebih baik dari pencapaiannya. Agar bundo tak sia-sia melahirkanku. Agar bundo juga bangga padaku.
Fenomena Seven Eleven
Seven Eleven alias Sevel memang booming di Jakarta. Ini semacam franchise mirip minimarket. Bedanya, Sevel khusus menjual makanan dan minuman, lalu ada spot-spot untuk duduk santai sambil wifi gratis. Buka 24 jam. Tempat yang nyaman buat nongkrong bukan?
Kemunculan Sevel di Jakarta cukup menarik perhatian. Tak pelak, tempat ini pun menjadi fenomena. Sevel adalah tongkrongan nomor 1 buat anak-anak muda Jakarta. Termasuk saya. Tidak perlu repot mencari spot yang nyaman untuk duduk lama tanpa diusir. Sevel menyediakan semua yang kita mau. Makanan dan minuman, khususnya Slurpee, minuman khas Sevel yang laris manis. Lalu ada wifi, kalau mau belajar, atau sekadar browsing internet, di Sevel bisa sepuasnya. Tanpa berbatas waktu pula. Sevel seakan hadir memenuhi keinginan terutama anak muda yang sedang gandrung dengan gadget dan senang berkumpul sambil mengemil.
Sevel nyaris tidak pernah sepi pengunjung. Saya melihat, malam minggu, sampai ada yang tidak kebagian tempat. Bahkan ada yang rela menunggu dan lesehan di terasnya. Saya pun sering berkeliling mencari Sevel yang kosong. Tapi itu mustahil. Apa boleh buat, kita harus puas dengan Sevel dengan segala keterbatasannya. Karena Sevel memang memakai konsep minimarket, bukan kafe atau swalayan.
Di bawah ini beberapa fakta tentang Sevel... Hmm, tanpa disadari kan.
1.Ada yang datang ke Sevel untuk wifi-an saja, dengan beli makanan cemilan seadanya, atau yang paling murah.
2.Tidak beli apa-apa, tapi nongkrong sampai berjam-jam di Sevel.
3.Siapa bilang Sevel bebas pengamen dan pengemis?! Buktinya, di Sevel Tebet ada yang mampir.
4.Katanya Sevel khusus menjual makanan dan minuman, tapi buktinya juga majalah, alat tulis, dan bahkan kamera juga ada.
Seven Eleven asal Amerika Serikat sudah menjadi fenomenal di sini. Pastinya dalam waktu dekat, tempat belajar pun akan berpindah ke Sevel. Tempat nongkrong dari anak kafe atau club malam juga akan pindah ke Sevel. Artinya, Sevel adalah tempat belanja, makan, dan nongkrong semua kalangan.
Ada yang perlu diwaspadai....
"Terlepas dari itu semua, tahukah kamu, kehadiran Sevel itu bukti bahwa kita bagian dari kapitalisme. Sevel juga akan terus-menerus mengembangkan budaya konsumtif. Dan kita adalah objeknya."
Kemunculan Sevel di Jakarta cukup menarik perhatian. Tak pelak, tempat ini pun menjadi fenomena. Sevel adalah tongkrongan nomor 1 buat anak-anak muda Jakarta. Termasuk saya. Tidak perlu repot mencari spot yang nyaman untuk duduk lama tanpa diusir. Sevel menyediakan semua yang kita mau. Makanan dan minuman, khususnya Slurpee, minuman khas Sevel yang laris manis. Lalu ada wifi, kalau mau belajar, atau sekadar browsing internet, di Sevel bisa sepuasnya. Tanpa berbatas waktu pula. Sevel seakan hadir memenuhi keinginan terutama anak muda yang sedang gandrung dengan gadget dan senang berkumpul sambil mengemil.
Sevel nyaris tidak pernah sepi pengunjung. Saya melihat, malam minggu, sampai ada yang tidak kebagian tempat. Bahkan ada yang rela menunggu dan lesehan di terasnya. Saya pun sering berkeliling mencari Sevel yang kosong. Tapi itu mustahil. Apa boleh buat, kita harus puas dengan Sevel dengan segala keterbatasannya. Karena Sevel memang memakai konsep minimarket, bukan kafe atau swalayan.
Di bawah ini beberapa fakta tentang Sevel... Hmm, tanpa disadari kan.
1.Ada yang datang ke Sevel untuk wifi-an saja, dengan beli makanan cemilan seadanya, atau yang paling murah.
2.Tidak beli apa-apa, tapi nongkrong sampai berjam-jam di Sevel.
3.Siapa bilang Sevel bebas pengamen dan pengemis?! Buktinya, di Sevel Tebet ada yang mampir.
4.Katanya Sevel khusus menjual makanan dan minuman, tapi buktinya juga majalah, alat tulis, dan bahkan kamera juga ada.
Seven Eleven asal Amerika Serikat sudah menjadi fenomenal di sini. Pastinya dalam waktu dekat, tempat belajar pun akan berpindah ke Sevel. Tempat nongkrong dari anak kafe atau club malam juga akan pindah ke Sevel. Artinya, Sevel adalah tempat belanja, makan, dan nongkrong semua kalangan.
Ada yang perlu diwaspadai....
"Terlepas dari itu semua, tahukah kamu, kehadiran Sevel itu bukti bahwa kita bagian dari kapitalisme. Sevel juga akan terus-menerus mengembangkan budaya konsumtif. Dan kita adalah objeknya."
Senin, 19 Desember 2011
Internet itu Magic, Blog adalah Tongkat Sihirnya
Bagi anak muda yang aktif, kreatif dan inovatif, pastinya kita butuh tempat buat menyalurkan kreasi. Media network telah menyediakan lahan untuk itu. Saatnya kita menjadi seorang blogger, tak sekadar blogwalker. Ada banyak hal yang bisa didapat dari blog, baik itu yang kita sadari maupun yang tidak.
Kepentingan awalnya, blog digunakan sebagai sarana promosi diri. Kita bisa mengungkap idealisme, gaya dan karya, mulai dari tulisan, foto, hingga video. Apalagi jika kita punya hobi atau keahlian khusus, seperti fashion styling, fotografi, menulis, travelling, dsb. KIta bisa berbagi informasi di dalam blog. Lalu kepentingan awal tadi akan berlanjut menjadi kebutuhan. Kebutuhan akan informasi. Blog-blog semakin menjamur. Bahkan sekarang tak perlu repot-repot eksis berbayar alias membuat sebuah website official untuk eksis. Cukup dengan blog, semua juga sudah dapat dilakukan.
Dunia akan terlihat lebih luas dan megah jika kamu bisa menggenggamnya dengan benar. Ungkapan itu bukan sekadar kata-kata motivasi yang cenderung berwujud mimpi. Tapi ini bisa benar-benar ada jika kita menyadari bahwa jendela itu tak hanya 1 lapis kaca.
Jendela itu berlapis-lapis. Dan itulah jendela dunia. Tahukah kamu jendela itu ada di mana? tak perlu repot-repot, semua ada di tanganmu, di genggaman jari-jarimu. Komputer dan gadget.
Itulah dia. Lalu blog adalah semacam fitur yang melengkapinya.
Intinya, blog akan membuat kita memiliki jaringan sosial yang lebih luas lagi. Dengan sekali klik, kita sudah memasuki areal tak berbatas dan kita tinggal memanggil apa yang dibutuhkan. Internet itu magic. Dan blog adalah tongkat sihirnya.
Kepentingan awalnya, blog digunakan sebagai sarana promosi diri. Kita bisa mengungkap idealisme, gaya dan karya, mulai dari tulisan, foto, hingga video. Apalagi jika kita punya hobi atau keahlian khusus, seperti fashion styling, fotografi, menulis, travelling, dsb. KIta bisa berbagi informasi di dalam blog. Lalu kepentingan awal tadi akan berlanjut menjadi kebutuhan. Kebutuhan akan informasi. Blog-blog semakin menjamur. Bahkan sekarang tak perlu repot-repot eksis berbayar alias membuat sebuah website official untuk eksis. Cukup dengan blog, semua juga sudah dapat dilakukan.
Dunia akan terlihat lebih luas dan megah jika kamu bisa menggenggamnya dengan benar. Ungkapan itu bukan sekadar kata-kata motivasi yang cenderung berwujud mimpi. Tapi ini bisa benar-benar ada jika kita menyadari bahwa jendela itu tak hanya 1 lapis kaca.
Jendela itu berlapis-lapis. Dan itulah jendela dunia. Tahukah kamu jendela itu ada di mana? tak perlu repot-repot, semua ada di tanganmu, di genggaman jari-jarimu. Komputer dan gadget.
Itulah dia. Lalu blog adalah semacam fitur yang melengkapinya.
Intinya, blog akan membuat kita memiliki jaringan sosial yang lebih luas lagi. Dengan sekali klik, kita sudah memasuki areal tak berbatas dan kita tinggal memanggil apa yang dibutuhkan. Internet itu magic. Dan blog adalah tongkat sihirnya.
Senin, 12 Desember 2011
Angry Bird, Si Burung Perusuh tapi Digilai
Angry Bird udah semakin merajalela. Marchindesnya udah menyebar mulai dari boneka, pajangan, hiasan, gantungan, bahkan gambar/motif pakaian.
Buat pengguna smarphone, pasti tahu dong angry bird itu seperti apa? Kenapa ia begitu terkenal dengan berbagai bentuk, terutama alisnya yang hitam dan tebal itu?
Yap yap yap. Angry bird si burung perusuh.
Ini beberapa fakta dari game angry bird yang semakin digilai saat ini.
- Permainan angry bird dapat membuat agresif sindrom pada seseorang
- Angry bird memang seru. Tapi membuat yg ketagihan dpt menimbulkan efek negatif
- game angry bird itu punya sasaran menghancurkan konstruksi bangunan
- Di satu sisi angry bird biasa saja. Tapi hal yang dilakukan oleh si angry bird dlm menghancurkan itu membuat kita pun terus-terusan melihat kekerasan
- Ini akan menstimulasi otak untuk terus memainkan game ini, sampai semuanya benar-benar hancur dan naik level
- Angry bird cenderung membidik lawan sampai mati. Kalau di versi RIO, angry bird menyelamatkan burung yang ditawan dan juga menghancurkan monyet-monyet sampai si monyet teriak histeris.
- bidikan angry bird adalah dengan cara menabrakkan dirinya ke sasaran, bunyi gedebuknya cukup keras, dan akhirnya si angry birdnya pun mati. Ini sama saja dengan aksi bunuh diri
- Binatang penghancur konstuksi bangunan punya kekuatan dan berbagai rupa
- Mungkin kekuatan itu yang menghipnotis kita untuk selalu stay membuat strategi penghancur massal
- Angry bird lucu angry bird pilu. Suaranya menggelegar mendayu dayu
- Angry bird didaulat sbgai binatang penghancur. Teganya dan tragisnya
- Buat yg mania angry bird, jgn sampai game itu mempengaruhi prilaku kita ya
- Apalagi buat anak kecil. Angry bird ini kurang bagus buat pertumbuhan otak dan prilaku mereka.karena sangat gampang terpengaruh
- Burung aslinya, angry bird di dunia nyata malah biasa saja. Mengapa angry bird bisa semarah itu di layar game?!
- Tampang angry bird itu juga biasa saja. Jutek bahkan. Tapi ada saja orang suka.
Fakta-fakta di atas bukan berarti saya kontra dengan angry bird. Saya pun ketagihan dengan game ini. Seru dan tidak ada habisnya.
Buat pengguna smarphone, pasti tahu dong angry bird itu seperti apa? Kenapa ia begitu terkenal dengan berbagai bentuk, terutama alisnya yang hitam dan tebal itu?
Yap yap yap. Angry bird si burung perusuh.
Ini beberapa fakta dari game angry bird yang semakin digilai saat ini.
- Permainan angry bird dapat membuat agresif sindrom pada seseorang
- Angry bird memang seru. Tapi membuat yg ketagihan dpt menimbulkan efek negatif
- game angry bird itu punya sasaran menghancurkan konstruksi bangunan
- Di satu sisi angry bird biasa saja. Tapi hal yang dilakukan oleh si angry bird dlm menghancurkan itu membuat kita pun terus-terusan melihat kekerasan
- Ini akan menstimulasi otak untuk terus memainkan game ini, sampai semuanya benar-benar hancur dan naik level
- Angry bird cenderung membidik lawan sampai mati. Kalau di versi RIO, angry bird menyelamatkan burung yang ditawan dan juga menghancurkan monyet-monyet sampai si monyet teriak histeris.
- bidikan angry bird adalah dengan cara menabrakkan dirinya ke sasaran, bunyi gedebuknya cukup keras, dan akhirnya si angry birdnya pun mati. Ini sama saja dengan aksi bunuh diri
- Binatang penghancur konstuksi bangunan punya kekuatan dan berbagai rupa
- Mungkin kekuatan itu yang menghipnotis kita untuk selalu stay membuat strategi penghancur massal
- Angry bird lucu angry bird pilu. Suaranya menggelegar mendayu dayu
- Angry bird didaulat sbgai binatang penghancur. Teganya dan tragisnya
- Buat yg mania angry bird, jgn sampai game itu mempengaruhi prilaku kita ya
- Apalagi buat anak kecil. Angry bird ini kurang bagus buat pertumbuhan otak dan prilaku mereka.karena sangat gampang terpengaruh
- Burung aslinya, angry bird di dunia nyata malah biasa saja. Mengapa angry bird bisa semarah itu di layar game?!
- Tampang angry bird itu juga biasa saja. Jutek bahkan. Tapi ada saja orang suka.
Fakta-fakta di atas bukan berarti saya kontra dengan angry bird. Saya pun ketagihan dengan game ini. Seru dan tidak ada habisnya.
Minggu, 13 November 2011
Terhenyak oleh Puisi
Marilah temanku
Belum terlambat mencari dunia baru
Tekadku sudah bulat
Berlayar menuju matahari terbenam
...meski
Kini kita tak sekuat masa lalu
Bergerak antara bumi dan surga
Itulah kita
Sebuah hati yang teguh
Menjadi lemah oleh waktu dan takdir tapi keras kemauan
Untuk bertahan hidup, mencari, menemukan, dan tidak menyerah
Puisi ini menyentilku. Aku sudah berhenti. Behenti mencari. Aku merasa statis. Sementara hidup itu selalu dinamis. Padahal lautan itu luas dan dunia itu tak berpenghujung. Hanya napas yang akan berhenti, dan pada saat itu bumi tentunya akan tak lagi bisa digenggam.
Puisi ini menoyorku. Kemana aku selama ini? Apakah aku selalu termenung hingga tak bisa mengeram lajunya waktu? Aku seakan membiarkan sesuatu itu pergi dan taj bisa diraih lagi. Tapi itu hanya anggapan negatif saja. Duniaku tak berhenti di sini. Masih banyak yang mesti aku cari. Masih banyak yang mesti aku pelajari. Aku punya kemampuan untuk itu. Dan aku percaya aku mampu. Hanya butuh sebuah kepercayaan dan kebulatan tekad untuk menuju pembenaran.
Puisi ini menyadarkanku akan arti sebuah kerja keras. Kita dilahirkan untuk mencari. Dai pagi hingg petang, adalah tugas kita untuk menguasai matahari. Lelah itu akan terasa sempurna jika ada penemuan yang berarti. Napas ini juga tak akan sia-sia jika kita mampu memberikan kesegaran untuk sesuatu yang sudah lekang di dunia.
Dari puisi ini aku pun tahu bahwa lemah bukanlah alasan. Keluhan tak akan menjadi rintangan. Bintang akan selalu bersinar dengan kemilaunya. Kenapa kita tidak mampu memancarkan cahaya sendiri untuk mulai menerangi jalanan?
*mengutip puisi "Ulysses" karya Tennyson.
Belum terlambat mencari dunia baru
Tekadku sudah bulat
Berlayar menuju matahari terbenam
...meski
Kini kita tak sekuat masa lalu
Bergerak antara bumi dan surga
Itulah kita
Sebuah hati yang teguh
Menjadi lemah oleh waktu dan takdir tapi keras kemauan
Untuk bertahan hidup, mencari, menemukan, dan tidak menyerah
Puisi ini menyentilku. Aku sudah berhenti. Behenti mencari. Aku merasa statis. Sementara hidup itu selalu dinamis. Padahal lautan itu luas dan dunia itu tak berpenghujung. Hanya napas yang akan berhenti, dan pada saat itu bumi tentunya akan tak lagi bisa digenggam.
Puisi ini menoyorku. Kemana aku selama ini? Apakah aku selalu termenung hingga tak bisa mengeram lajunya waktu? Aku seakan membiarkan sesuatu itu pergi dan taj bisa diraih lagi. Tapi itu hanya anggapan negatif saja. Duniaku tak berhenti di sini. Masih banyak yang mesti aku cari. Masih banyak yang mesti aku pelajari. Aku punya kemampuan untuk itu. Dan aku percaya aku mampu. Hanya butuh sebuah kepercayaan dan kebulatan tekad untuk menuju pembenaran.
Puisi ini menyadarkanku akan arti sebuah kerja keras. Kita dilahirkan untuk mencari. Dai pagi hingg petang, adalah tugas kita untuk menguasai matahari. Lelah itu akan terasa sempurna jika ada penemuan yang berarti. Napas ini juga tak akan sia-sia jika kita mampu memberikan kesegaran untuk sesuatu yang sudah lekang di dunia.
Dari puisi ini aku pun tahu bahwa lemah bukanlah alasan. Keluhan tak akan menjadi rintangan. Bintang akan selalu bersinar dengan kemilaunya. Kenapa kita tidak mampu memancarkan cahaya sendiri untuk mulai menerangi jalanan?
*mengutip puisi "Ulysses" karya Tennyson.
posted from Bloggeroid
Rabu, 02 November 2011
sesuatu untuk disukai
aku tersentuh mendengar ucapan seorang guru. jadikan hobi itu sebagai jalanmu menuju sukses. jangan jadikan sebagai tujuan akhir hidupmu.
tapi aku masih bisa menyangkalnya. aku punya kata kata sendiri. lakukan apa yang kamu sukai. karena jika sudah suka kamu dapat mengerjakan pekerjaan dengan senang hati dan penuh inovasi kreativitas. seperti kata taufiq ismail, kalau kau tak suka, tinggalkan saja. buat apa membuang waktu untuk sesuatu yang tidak kamu sukai.
semua pasti ada hikmahnya. dalam dunia kerja, bukan hanya penghasilan yang dicari, tapi kreativitas untuk menunjukkan ekaistensi. namun bukan berarti haram jika kita memaksakan melakukan sesuatu demi penghasilan. sesuatu itu berhak untuk disukai batasi. jika sudah mematikan karakter diri lebih baik jangan bertahan.
tapi aku masih bisa menyangkalnya. aku punya kata kata sendiri. lakukan apa yang kamu sukai. karena jika sudah suka kamu dapat mengerjakan pekerjaan dengan senang hati dan penuh inovasi kreativitas. seperti kata taufiq ismail, kalau kau tak suka, tinggalkan saja. buat apa membuang waktu untuk sesuatu yang tidak kamu sukai.
semua pasti ada hikmahnya. dalam dunia kerja, bukan hanya penghasilan yang dicari, tapi kreativitas untuk menunjukkan ekaistensi. namun bukan berarti haram jika kita memaksakan melakukan sesuatu demi penghasilan. sesuatu itu berhak untuk disukai batasi. jika sudah mematikan karakter diri lebih baik jangan bertahan.
posted from Bloggeroid
Minggu, 30 Oktober 2011
Sebuah eksistensi
Aku sedang berada di tengah orang yang mempercayaiku. Ya. Itulah sahabat.
Dulu aku tak begitu mempedulikannya.
Kini aku membutuhkan mereka.
Kenapa?
Karena dari merekalah aku belajar menghargai bahkan diriku sendiri.
Karena dari mereka orang orang dapat mengenaliku.
Ada cerminan tersirat tentangku yang mereka simpan.
Aku merasa ada pelindung yang menyemangatiku.
Ya mereka ada.
Aku percaya.
Sampai saat ini aku masih bersama mereka.
Sebuah eksistensi bahwa aku pernah ada untuk mereka dan sebaliknya
posted from Bloggeroid
Oktober
Aku selalu suka dengan Oktober. Oktober itu menakjubkan, memesona, membawa kebahagiaan. Bukan berarti di bulan lain aku tidak bahagia. Bulan oktober menjadi begitu ajaib sejak aku terlahir pada bulan itu
posted from Bloggeroid
Senin, 03 Oktober 2011
Manusia dan Kemanusiaan
Manusia dan kemanusiaan
Ada apa dengan bumi
Panas, tak membuat kita hangat
Hujan, tak bersahabat
Sentuhan rasa mengawali
Tapi ego seringkali merajai
memanusiakan manusia,
tak hanya soal sastra
atau sekilas budaya
Tapi ini humaniora
otak dari jalannya cipta
aku bangga menjadi bagian darinya
Sulung Siti Hanum
Didedikasikan untuk Ilmibsi
2011
Ada apa dengan bumi
Panas, tak membuat kita hangat
Hujan, tak bersahabat
Sentuhan rasa mengawali
Tapi ego seringkali merajai
memanusiakan manusia,
tak hanya soal sastra
atau sekilas budaya
Tapi ini humaniora
otak dari jalannya cipta
aku bangga menjadi bagian darinya
Sulung Siti Hanum
Didedikasikan untuk Ilmibsi
2011
Senin, 05 September 2011
Yang Heboh, yang Meriah, yang Unik di Lebaran Tahun Ini
Lebaran punya cerita. Lebaran adalah liburan penuh perjalanan.
Aku suka lebaran tahun ini. Untuk pertama kalinya, keluarga besarku berkumpul di rumah almarhum nenek.
Usaha Mak Datuak mengumpulkan kami tak sia-sia. Istilahnya “manjapuik nan di rantau”.
Yang dari Aceh, Padang, Pekanbaru, Jakarta mudik dan berkumpul dalam 1 rumah.
Orang tuaku boleh berbahagia karena bertemu dengan saudaranya yang telah lama tak jumpa. Aku pun bahagia melihat keluarga ini utuh dan merapat.
Alhasil rumah yang terlihat besar jadi menyempit karena anak, kemenakan, sepupu, dan cucu menginap di satu atap. Harus rela berbagi tempat untuk tidur. Lalu yang kaum ibu memasak layaknya orang pesta. Anak-anak perempuannya yang menghidang. Ya, keluarga kami memang sedang berpesta.
Uniknya, karena kami tinggal di berbagai daerah, ada percampuran bahasa dan dialek di sini. Dialek Melayu bercampur Minang, lalu ditambah dengan dialek bahasa Indonesia Jakarta. Tapi semua melebur, menyatu dalam keragaman. Keluargaku satu tapi punya beberapa bahasa dan budaya. Itulah yang membuat kami kaya.
Lalu, kami merencanakan jalan-jalan ke tempat wisata di Bukittinggi dan Payakumbuh, yang terdekat dari rumah (Simarasok, Baso). Tak luput dari perhatian adalah wisata kulinernya. A nan taragak, itu yang dikaja. Sate, bakso, pensi, durian, dan belum lagi makanan di rumah yang menemani lengkapnya lebaran saat itu. Ada rendang, dendeng, gulai itik cabe ijo, ketupat, tauco, goreng ikan, ayam, sapek, maco, kue gadang, galamai, kue bawang, kacang, dan ragam makanan lainnya.
Yang heboh adalah ketika kami semua bangun pagi-pagi, setelah sahur, jogging. Ibu, anak, bapak, kemenakan ikut. Kan biasanya yang suka jogging itu cuma anak-anak kecilnya saja, tapi sekarang 3 generasi terjun dan heboh. Melewati hamparan sawah, diterpa angin pagi yang dingin (bukan sejuk) dan diiringi sorak sorai. Tak heran kalau ada tetangga yang keluar melihat aksi kami di jalanan.
Ohya, kehebohan berlanjut. Makan bersama di rumah datuak yang penuh durian. Sepertinya pengaruh mabuk durian, para anak kemenakan berkumpul di pojok, bergitar dan bernyanyi berbagai macam lagu. Tak kenal kebisingan. Semua bersorak, ketawa, ngakak. Sesekali ibu-ibu dan bapak-bapak ada yang nimbrung ikut bernyanyi atau sekadar bertepuk tangan. Para anak kecil (di bawah umur) asik merekam aksi kakak-kakaknya. Riuh dan ramai.
Yang meriah adalah saat kami sekeluarga besar berarak-arak alias konvoi ke Jam Gadang dan menikmati malam takbiran yang penuh kembang api. Saat itu menunjukkan pukul 00.00. Sengaja kucatat karena momen itu jarang terjadi. Gak pandang bulu, bukan yang muda saja, tapi yang tua-tua ikut turun menatap langit malam penuh warna kembang api.
1 minggu lebaran di kampung, singkat tapi bermakna.
Rabu, 03 Agustus 2011
Kisah Albus Severus Potter
Serial Harry Potter stop sampai di buku ke-7. Begitu juga filmnya. Film Harry Potter berakhir tahun ini. Crew dan pemainnya bubar jalan. JK Rowling mantap dengan keputusannya untuk tidak melanjutkan serial ini. Padahal banyak fans yang berharap akan ada Harry Potter 8, 9, dst. Tapi konsistensi seorang penulis, JK Rowling penentu hukumnya. JK Rowling yang empunya Harry Potter.
Tapi ada yang menarik. Begitu film Harry Potter and The Deathly Hallows part 2 tayang, bagian ending menampilkan sosok Harry dan Ginny serta Ron dan Hermione versi dewasa 19 tahun kemudian yang sudah menikah. Mereka bertemu di stasiun King's Cross saat mengantarkan anak-anak mereka pada tahun ajaran baru Hogwarts. Secara pengisahan, bagian ending ini ditulis oleh JK Rowling sebagai pelengkap dan penyelesaian kisah Harry Potter si anak yang bertahan hidup. JK Rowling memanjakan pembaca dengan pengisahan ala fairy tale yang cenderung happy ending.
Namun, dari scene filmnya, justru ini memunculkan permintaan baru dari fans yang seolah tak rela serial ini berakhir. JK Rowling menolak mentah-mentah untuk meneruskan kehidupan Harry Potter. Tapi, penyuka Harry Potter tak kehabisan ide rupanya. Dari ending filmnya, ada adegan Harry berbicara dengan anak keduanya yang menjadi murid baru di Hogwarts, Albus Severus Potter. Albus menanyakan tentang asrama di Hogwarts, dan Harry menjelaskan tentang asrama-asrama itu. Lalu Harry pun menjawab ketakutan anaknya bahwa di asrama mana pun Albus Severus Potter menetap, dia akan menjadi penyihir yang hebat di asramanya.
Dari pernyataannya itu, seketika muncul harapan-harapan penonton, khususnya pencinta Harry Potter, agar JK Rowling membuat kisah Albus Severus Snape tersendiri lalu segera difilmkan, terpisah dari serial Harry Potter. Toh, Harry Potter sudah tamat. Kini tak ada salahnya giliran anaknya yang melanjutkan. Permintaan-permintaan itu tengah hoboh di jejaring sosial Twitter. Lucu juga membaca keinginan penghuni Twitter itu. Meski konyol, tapi bisa dipertimbangkan. Hmm ...
Tapi ada yang menarik. Begitu film Harry Potter and The Deathly Hallows part 2 tayang, bagian ending menampilkan sosok Harry dan Ginny serta Ron dan Hermione versi dewasa 19 tahun kemudian yang sudah menikah. Mereka bertemu di stasiun King's Cross saat mengantarkan anak-anak mereka pada tahun ajaran baru Hogwarts. Secara pengisahan, bagian ending ini ditulis oleh JK Rowling sebagai pelengkap dan penyelesaian kisah Harry Potter si anak yang bertahan hidup. JK Rowling memanjakan pembaca dengan pengisahan ala fairy tale yang cenderung happy ending.
Namun, dari scene filmnya, justru ini memunculkan permintaan baru dari fans yang seolah tak rela serial ini berakhir. JK Rowling menolak mentah-mentah untuk meneruskan kehidupan Harry Potter. Tapi, penyuka Harry Potter tak kehabisan ide rupanya. Dari ending filmnya, ada adegan Harry berbicara dengan anak keduanya yang menjadi murid baru di Hogwarts, Albus Severus Potter. Albus menanyakan tentang asrama di Hogwarts, dan Harry menjelaskan tentang asrama-asrama itu. Lalu Harry pun menjawab ketakutan anaknya bahwa di asrama mana pun Albus Severus Potter menetap, dia akan menjadi penyihir yang hebat di asramanya.
Dari pernyataannya itu, seketika muncul harapan-harapan penonton, khususnya pencinta Harry Potter, agar JK Rowling membuat kisah Albus Severus Snape tersendiri lalu segera difilmkan, terpisah dari serial Harry Potter. Toh, Harry Potter sudah tamat. Kini tak ada salahnya giliran anaknya yang melanjutkan. Permintaan-permintaan itu tengah hoboh di jejaring sosial Twitter. Lucu juga membaca keinginan penghuni Twitter itu. Meski konyol, tapi bisa dipertimbangkan. Hmm ...
Senin, 01 Agustus 2011
Selamat Berpisah, Harry Potter
Selamat berpisah, Harry Potter. Harry Potter sudah tumbuh dewasa. Dan saya pun sudah tumbuh bersama Harry Potter. Saatnya melepaskan jeratan darinya. Novelnya, filmnya, pernak-perniknya, selama 10 tahun mendunia. Laris di mana-mana. Tak peduli apa dampak negatifnya, yang orang tau, Harry Potter adalah film 1 dekade. Harry Potter adalah novel 1 dunia.
Film Harry Potter akan melegenda. Belum ada proyek film franchise sesetia film ini. Mulai dari ceritanya, karakternya, dan pemerannya. Begitu setia hingga tangis pun merayakan perpisahan itu. 7 buku dengan 8 film dan berjuta pernak. Lokasinya dijadikan taman umum buat wisatawan. Apa lagi yang dicari dari sang Harry Potter. Sungguh selalu di hati. Belum tergantikan. Mantranya ajib. Filosofisnya mantap. Sungguh contoh sebuah kisah sukses penyihirnya, JK Rowling.
Saya tersihir. Saya terkena mantra imperius. Ada yang membius otak ini dan menghipnotisnya untuk memberikan apresiasi untuk semangat yang ditunjukkan Harry Potter. Saya tumbuh bersamanya. Sebagian kenangan saya, ada kisah yang menandai bahwa Harry Potter pernah ada bersama saya. Saya takjub. Saya kagum. Dan kini saya terharu.
Selasa, 19 Juli 2011
Mengulang Euforia LENKA
Perjalanan Lenka
“Lenka melompat dari lantai lima.”
Akhirnya penantian panjang berakhir juga. LENKA, novel 262 halaman meluncur. Lenka akhirnya melompat juga. Aku duduk menekur dengan mata tertuju pada deretan huruf di dalam Lenka. Terkenang sesuatu satu setengah tahun yang lalu. Memori ini tidak tersimpan rapi, sama seperti alur Lenka yang acak tapi menjadi satu kesatuan puzzle yang akhirnya tersusun. Pernik di otakku menerawang jauh ke beberapa bulan penggodokan Lenka.
Mari kembali pada proses kreatif lahirnya Lenka.
Bermula dari ide sang Mahaguru kami di Bengkel Penulisan Novel DKJ di penghujung Desember 2009. Lenka, seorang gadis, model, mash belia, berdarah Indo-Hungaria melompat dari lantai 5 dalam acara penggalangan dana. Kalimat ini menjadi awal terbentuknya perkumpulan Sarekat Penulis Kuping Hitam.
Dari ide cerita muncullah berbagai setting dan alur. Topik ini dilempar ke beberapa orang peserta bengkel novel DKJ angkatan 08/09. Kisah pun mengalir tusuk-menusuk. Setiap orang dapat bagiannya masing-masing yang harus digarap dari situasi yang telah diberikan. Tak dapat dielakkan, pertarungan pun terjadi antaranggota. Yang satu mengomentari tulisan yang lain, dan yang lain sibuk merevisi agar alurnya bisa disambung-sambungkan. Prosesnya tidak dalam satu kali penulisan. Tapi berkali-kali, bahkan ada yang dirombak ulang. Selain itu, tidak jarang, dari satu situasi yang dikembangkan, akan muncul setting yang baru. Cerita semakin liar dan berkembang, tapi tetap pada satu koridor topik utama. Ide dan fantasi yang semakin melalang buana antar belasan kepala yang terlibat sempat kebingungan akan diapakan tokoh Lenka ini.
Meski ini menjadi proyek bersama untuk sebuah cerita, plotnya terpisah. Sama seperti tokoh utamanya, alurnya pun meluncur melompat-lompat. Setiap bab mewakili satu setting cerita yang nanti menjadi benang merah setiap kejadian. Inilah formula mengapa novel ini bisa digarap beramai-ramai. Kebebasan untuk mengembangkan cerita, keliaran mengolah imajinasi dan menyingkronkannya dengan informasi membuat pertarungan antarpenulis pun terjadi. Konflik Lenka yang memuncak, konflik pemikiran anggota Sarekat terus mengalir. Pengeroyokan sering terjadi jika salah satu atau beberapa dari kami mulai 'nakal' menelengkan kemudi keluar jalur. Ada yang sekarat. Tentu saja. Namun tak kehabisan napas. Sedangkan aku, kekurangan amunisi untuk bertempur di milis. Setoran demi setoran melaju bebas. Ada rambu jalan yang harus dipatuhi. Aku tetap pada jalurku. Kurang menjelajah memang. Kurang berkelok. Kurang lihai menyelip. Selamat untuk beberapa saat. Tapi, toh, aku diterkam juga. Kembali aku meluncurkan imajinasi pada plot yang lebih dalam lagi. Ketelitian menghadap jalanan. Gesit tanpa membuang-buang kata. Mengucurkan banyak keringat untuk mencapai garis finish bukan pekerjaan gampang. Perkiraan waktu yang ditargetkan dilewati begitu saja. Darah Lenka belum berhenti mengalir. Semua masih semangat melaju.
Tapi setelah pertarungan berbulan-bulan, melewati masa-masa jenuh, beberapa pertemuan hiburan, dan berkali-kali dicaci maki dalam karya, akhirnya Lenka terangkum dengan baik.
“Lenka melompat dari lantai lima.”
Akhirnya penantian panjang berakhir juga. LENKA, novel 262 halaman meluncur. Lenka akhirnya melompat juga. Aku duduk menekur dengan mata tertuju pada deretan huruf di dalam Lenka. Terkenang sesuatu satu setengah tahun yang lalu. Memori ini tidak tersimpan rapi, sama seperti alur Lenka yang acak tapi menjadi satu kesatuan puzzle yang akhirnya tersusun. Pernik di otakku menerawang jauh ke beberapa bulan penggodokan Lenka.
Mari kembali pada proses kreatif lahirnya Lenka.
Bermula dari ide sang Mahaguru kami di Bengkel Penulisan Novel DKJ di penghujung Desember 2009. Lenka, seorang gadis, model, mash belia, berdarah Indo-Hungaria melompat dari lantai 5 dalam acara penggalangan dana. Kalimat ini menjadi awal terbentuknya perkumpulan Sarekat Penulis Kuping Hitam.
Dari ide cerita muncullah berbagai setting dan alur. Topik ini dilempar ke beberapa orang peserta bengkel novel DKJ angkatan 08/09. Kisah pun mengalir tusuk-menusuk. Setiap orang dapat bagiannya masing-masing yang harus digarap dari situasi yang telah diberikan. Tak dapat dielakkan, pertarungan pun terjadi antaranggota. Yang satu mengomentari tulisan yang lain, dan yang lain sibuk merevisi agar alurnya bisa disambung-sambungkan. Prosesnya tidak dalam satu kali penulisan. Tapi berkali-kali, bahkan ada yang dirombak ulang. Selain itu, tidak jarang, dari satu situasi yang dikembangkan, akan muncul setting yang baru. Cerita semakin liar dan berkembang, tapi tetap pada satu koridor topik utama. Ide dan fantasi yang semakin melalang buana antar belasan kepala yang terlibat sempat kebingungan akan diapakan tokoh Lenka ini.
Meski ini menjadi proyek bersama untuk sebuah cerita, plotnya terpisah. Sama seperti tokoh utamanya, alurnya pun meluncur melompat-lompat. Setiap bab mewakili satu setting cerita yang nanti menjadi benang merah setiap kejadian. Inilah formula mengapa novel ini bisa digarap beramai-ramai. Kebebasan untuk mengembangkan cerita, keliaran mengolah imajinasi dan menyingkronkannya dengan informasi membuat pertarungan antarpenulis pun terjadi. Konflik Lenka yang memuncak, konflik pemikiran anggota Sarekat terus mengalir. Pengeroyokan sering terjadi jika salah satu atau beberapa dari kami mulai 'nakal' menelengkan kemudi keluar jalur. Ada yang sekarat. Tentu saja. Namun tak kehabisan napas. Sedangkan aku, kekurangan amunisi untuk bertempur di milis. Setoran demi setoran melaju bebas. Ada rambu jalan yang harus dipatuhi. Aku tetap pada jalurku. Kurang menjelajah memang. Kurang berkelok. Kurang lihai menyelip. Selamat untuk beberapa saat. Tapi, toh, aku diterkam juga. Kembali aku meluncurkan imajinasi pada plot yang lebih dalam lagi. Ketelitian menghadap jalanan. Gesit tanpa membuang-buang kata. Mengucurkan banyak keringat untuk mencapai garis finish bukan pekerjaan gampang. Perkiraan waktu yang ditargetkan dilewati begitu saja. Darah Lenka belum berhenti mengalir. Semua masih semangat melaju.
Tapi setelah pertarungan berbulan-bulan, melewati masa-masa jenuh, beberapa pertemuan hiburan, dan berkali-kali dicaci maki dalam karya, akhirnya Lenka terangkum dengan baik.
Jumat, 15 Juli 2011
Dibalik Proyek Kematian LENKA Ada Mereka
Ada kisah dibalik melompatnya LENKA. Ini catatan dari seorang guru yang menjadi wasit dalam pergumulan LENKA.
Catatan Proyek Lenka – Yusi Avianto Pareanom
Proyek Lenka
Sebuah buku bisa lahir karena rasa haru. Lenka adalah salah satunya. Tapi, sebelum sampai ke sana, izinkan saya melantur dulu.
Bagi saya, Bengkel Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta yang digelar pada 2008 dan 2009 adalah berkah karena kegiatan ini mempertemukan orang-orang yang beruntung. Dua pengajarnya, A.S. Laksana (Sulak) dan saya, sangat gemar membual. Kami sudah terjangkit bakat ini saat pertama kali bertemu pada 1981 di kota kelahiran kami, Semarang. Saat itu kami masih duduk di bangku SMP. Kebiasaan ini kami lanjutkan di SMA ketika kami juga belajar di sekolah yang sama. Seperti lazimnya orang Semarang yang lain, kami tumbuh atau tepatnya dikutuk menjadi tukang cela, tukang ngeyel, dan tukang keluh profesional (kuliah di Jogjakarta sedikit melunakkan bakat-bakat kami itu). Dengan portofolio semacam ini, jelas kami merasa beruntung saat Zen Hae, Nukila Amal, dan Ayu Utami dari Komite Sastra DKJ menawari kami mengasuh Bengkel. Sungguh menggiurkan, diberi kesempatan menipu orang-orang baru selama tiga bulan. Dasar jodoh, murid-murid yang kami dapatkan selama dua periode ternyata sangat senang kami gurui dan cela karyanya.
Ada dua belas kali pertemuan untuk setiap periode Bengkel yang digelar di MP Book Point di kawasan Jeruk Purut, Jakarta Selatan. Induk semang pertemuan adalah Rosdianah Angka. Setiap Sabtu, kelas dimulai pukul dua siang dan berakhir pukul empat sore. Itu jadwal resminya. Setiap selesai kelas, pertemuan selalu berlanjut sampai petang bahkan malam hari, biasanya di teras belakang MP Book Point dengan ngopi dan menggasak camilan-camilan yang bentuk, tekstur, dan rasanya ajaib—utamanya pada 2009, kadang kami pindah ke kafe lain. Jelas, pengajarnya belum puas berkicau sementara muridnya kecanduan dikibuli.
Ketika kelas 2009 berakhir pada Desember tahun itu, beberapa peserta secara terbuka menyatakan kesedihan mereka. Mungkin mereka kebanyakan nonton fim India atau telenovela. Sialnya, kami berdua ketularan. Agar ada alasan pertemuan terus berlanjut, saya menawarkan kepada angkatan 2009 untuk membuat karya bersama. Ini murni kecelakaan dan awal kepuyengan saya—saya akan menjelaskan lebih lanjut di bawah. Semestinya, saya meniru saja orang-orang desa Asterix yang tak memerlukan alasan saat ingin menggelar kenduri.
Apa pun, tawaran sudah kadung digulirkan. Apalagi saya punya janji kepada Komite Sastra, bahwa penerbitan saya, Banana, akan menerbitkan karya terbaik peserta pelatihan. Bila kemudian tawaran berubah menjadi penerbitan karya bersama, itu karena semua peserta setara kecakapannya. Sekalipun awalnya tawaran ini disodorkan di milis Bengkel 2009, saya dan Sulak juga mengajak anak-anak angkatan 2008 ikut bergabung dalam proyek kegembiraan bersama ini.
Di milis Bengkel, pada 27 Desember 2009, terilhami oleh beberapa peristiwa bunuh diri di mal-mal Jakarta, saya menulis begini: Pada sebuah acara penggalangan dana yang meriah, seorang perempuan muda bergaun biru wisnu jatuh dari lantai lima. Namanya Magdalena, biasa dipanggil Lenka mengikuti kebiasaan orang Eropa Timur (neneknya orang Magyar, Hungaria), 22 tahun, mahasiswa dan model. Bunuh diri, kecelakaan, atau sengaja didorong oleh seseorang?
Saya masih menulis beberapa kalimat pancingan lagi yang intinya meminta para montir—demikian para peserta menyebut diri mereka, saya dan Sulak tak pernah menyapa mereka seperti itu, kami memanggil mereka Sarekat Penulis Kuping Hitam, lebih lanjut soal ini di bawah—merumuskan sendiri siapa Lenka dan mengapa peristiwa naas itu bisa terjadi. Saya mempersilakan mereka mengajukan ide yang ingin mereka tulis. Boleh mengikuti pancingan, boleh juga bikin lakon carangan sepanjang ada benang merahnya.
Apakah ide awal tersebut akan menjadi kumpulan cerpen atau novel, saya menyerahkannya kepada peserta Bengkel. Apakah nantinya akan plek seperti pancingan atau menyimpang seliar mungkin, saya tak punya bayangan pada waktu itu. Saya mengambil sikap meniru sebuah bait puisi petuah dari seorang perempuan yang pernah saya taksir semasa SMA—ia sering sekali menulis puisi semacam itu di milis alumni SMA kami: biarkanlah semuanya mengalir. Tapi, saya dan Sulak yakin proses dan hasilnya bakal seru. Yang kami minta adalah anak-anak Bengkel menghadirkan kejutan dan berani meninggalkan zona nyaman mereka.
Tawaran itu langsung disambar. Pertama-tama soal keikutsertaan. Sekalipun saya memberi tenggat pendaftaran, yang telat tahu kabar ini juga ingin ikut. Lalu Sulak mengompori soal honor. Nyaris semuanya langsung mempraktekkan jurus sapi bersimpuh dan bilang bahwa diajak menulis bersama saja sudah senang. Dalam hati saya merutuk, sialan, mereka pintar memancing haru, dan itu alamat bandar bakal rugi.
Tepat pada 1 Januari 2010, Yuki Anggia Putri Ritonga menjadi orang pertama yang menggelindingkan bola. Ia menulis kehidupan kuliah Lenka dan pertemuannya dengan seorang fotografer—Andina menyambarnya dengan menyebut-nyebut soal aliran fotografi pembebasan. Lalu Miftah Rahman menulis tentang perjanjian dengan setan yang dilakukan ayah Lenka, seorang konduktor orkestra. Apendi, sesuai petingkahnya yang serba misterius dan konspiratif, bahkan sampai saat ini, menyodorkan keterlibatan organisasi rahasia yang berada di balik kematian Lenka. Wahyu Heriyadi, jauh-jauh dari Palu, menyumbang cerita mistis tentang gedung yang menjadi lokasi kematian Lenka. Sementara itu, Nia Nurdiansyah memberi tinjauan psikologi panjang lebar tentang orang-orang yang bunuh diri.
Bagaikan gerombolan piranha mendapatkan tetelan babi, anggota Bengkel yang lain menyambar dan memberi kritik. Saling kritik—atau saling bantai—memang menjadi asupan harian kami. Dilarang sakit hati adalah pelajaran hari pertama di Bengkel. Dengan kritik, ide kurang bagus bisa terasah, dan ide yang sudah bagus akan tambah mengkilap. Usulan-usulan baru pun meluncur deras. Sulak menyebut mereka kaum yang kesurupan Lenka.
Setelah beberapa bola menggelinding dan ditendang beramai-ramai, saya mengulang lagi pertanyaan apakah Proyek Lenka, demikian kegembiraan dan eksperimen bersama ini disebut, akan digarap bersama-sama sebagai sebuah novel atau setiap yang terlibat ingin membuat tafsir sendiri-sendiri atas ide awal. Semuanya sepakat memilih yang pertama.
Saya mengajak mereka berkumpul lagi untuk membahas outline dan karakter-karakter yang ingin dimunculkan. Kami bertemu pada awal Januari 2010, dan tempat pertemuan yang dipilih anak-anak Bengkel sungguh tak imajinatif. Dari 1.234 kafe di Jakarta, mereka memilih MP Book Point. Alasannya, takut kesasar kalau ke tempat lain. Saya mengancam tak akan meneruskan Proyek Lenka bila tempat pertemuan berikutnya tak berubah.
Pertemuan hari itu juga menandai perjumpaan pertama anak-anak angkatan 2008 dan 2009. Perbedaan yang mencolok antara dua angkatan ini adalah anak-anak 2008, tepatnya Wiwin Erikawati, membawa sekardus kue yang enak-enak sementara anak-anak 2009 datang dengan tangan kosong. Mungkin angkatan 2009 kangen dengan camilan MP Book Point seperti combro yang harus dicelupkan ke kopi panas karena saking kerasnya atau bolu yang seukuran telapak tangan orang dewasa yang baru saja tersengat lebah—besar sekali.
Pertemuan itu menyepakati banyak hal. Utamanya tentang apa dan siapa Lenka—usianya terpangkas menjadi 19 tahun dalam rapat ini, misalnya—motif tindakan-tindakannya, karakter-karakter pendukung, serta yang tak kalah penting adalah nada penulisan. Setiap orang boleh bereksperimen dan membawa gaya mereka masing-masing, tapi nada mesti selaras. Untuk mendapatkan keselarasan itu, saya meminta mereka membaca buku, menonton film, dan mendengarkan lagu yang saya pikir bisa membantu. Dalam waktu singkat, usulan daftar lagu dan film bertambah sementara daftar bacaan tidak.
Berdasarkan hasil rapat, saya kemudian membuat outline dan kemudian membagi bola, siapa menggarap bab berapa. Pembagian ini selain mengacu kepada minat dan usulan para penulis juga semacam tantangan kepada mereka. Jadi, sedikit banyak agak sepihak, untungnya pengambilan keputusan ala demokrasi terpimpin ini diamini anak-anak Bengkel. Sebetulnya, rencana awalnya saya dan Sulak akan ikut menulis satu bab. Tapi, akhirnya kami sepakat semuanya digarap Barisan Penulis Kuping Hitam.
Saya lalu mendorong yang terlibat dalam Proyek Lenka bereksperimen lebih lanjut. Saya meminta mereka membuat akun Facebook atas nama tokoh-tokoh dalam Lenka dan menjalankan peran itu secara bersungguh-sungguh. Hitung-hitung latihan method writing. Beberapa menjalankan dengan takzim, beberapa tak sanggup menahan geli. Yang paling parah untuk yang terakhir ini adalah Laire Siwi Mentari.
Lalu, mulailah proses yang paling menarik. Satu demi satu pengeroyok Lenka memacak bab yang mereka tulis di milis. R. Mailindra menyebut Bengkel adalah padepokan silat sehingga jika dapat sedikit tendangan atau pukulan itu wajar belaka. Artinya, kritik pedas, dan mungkin bertubi-tubi, itu mesti diterima kalau mau tambah ilmu. Ia benar, karena jika ada yang mengirimkan naskah tapi sepi tanggapan yang bersangkutan justru merasa nelangsa. Yuki yang paling rajin berperan sebagai polisi bahasa. Saya dan Sulak biasanya memberi tanggapan atas tanggapan, utamanya yang luput ditanggapi para penanggap (saya meminjam gaya bahasa Wahyu di sini).
Sulak menyebut aksinya mengkritik sebagai mengamuk. Dan, ia mengamuk dengan brutal. Yang paling sering ia lakukan adalah meminta anak-anak Bengkel memperagakan kalimat-kalimat janggal yang mereka buat. Beberapa anak Bengkel tergerak meniru, dan komentar yang muncul atas kiriman naskah semakin tajam. Kadang ada yang sedemikian tajam sehingga yang kena kritik tergores hati dan harga dirinya, lalu menyerang balik dan mempertanyakan kualitas si pengkritik. Andina menyebut gesekan semacam ini percikan bunga api. Mendengar kata bunga api itu Sulak buru-buru membawa jeriken bensin oplosan dan saya menyusul di belakangnya dengan kipas besar. Ganjilnya, hasutan kami agar perang makin ramai justru membuat anak-anak Bengkel yang bertikai saling meminta dan memberi maaf, seperti Lebaran saja.
Sebetulnya, saya dan Sulak bisa saja memainkan peran juru damai seperti Ketua RT di sinetron-sinetron Indonesia atau Babinsa di kampung-kampung. Tapi, alangkah membosankannya. Dinamika dalam sebuah grup biasanya menjadikan karya yang muncul dari kelompok itu ciamik. The Beatles jelang bubarnya menghasilkan karya-karya terbaik justru ketika ketegangan menjelujur di antara keempat anggotanya. Sebaliknya, karya Queen jelang Freddie Mercury meninggal—ketika semua anggotanya rukun—jauh di bawah album-album mereka sebelumnya. Saya sama sekali tak ingin menyamakan Sarekat Penulis Kuping Hitam dengan dua grup musik hebat itu, tapi saya ingin bilang ke mereka bahwa rivalitas itu penting karena semuanya ingin membuktikan diri sebagai yang terbaik. Rivalitas tak perlu ditakuti karena ia bukan permusuhan.
Setelah hampir semua bab ditulis, kami berkumpul lagi membahas penulisan bersama ini. Kali ini dalam jumlah besar. Pengeroyok Lenka dari dua angkatan yang sebelumnya hanya bercakap-cakap melalui milis bisa berkenalan langsung, dan makan-makan tentunya. Kali ini, mungkin malu saya sindiri terus, angkatan 2009 ikut membawa kue-kue, dan selanjutnya saling tukar hadiah atau buah tangan menjadi kebiasaan yang menyenangkan. Pertemuan semacam ini terjadi beberapa kali. Katamsi Ginano, kawan Sulak dan saya, ikut meramaikan beberapa pertemuan dan melontarkan hasutan di sana-sini agar tulisan anak-anak Bengkel makin sedap. Setiap setelah pertemuan, saya dan Sulak meminta anak-anak Bengkel merevisi tulisan mereka.
Pada Juni 2010, draf pertama Lenka rampung. Saya dan Sulak bersepakat bahwa saya akan menjadi penyunting pertama dan baru kemudian ia merapikan lebih lanjut. Lagi-lagi, ini keputusan yang keliru. Mestinya saya mengumpankan Sulak lebih dahulu. Draf pertama, sekalipun tulisan per babnya sudah lebih baik ketimbang setoran-setoran awal, bercerita tentang Lenka yang berbeda-beda. Kadang, kepribadiannya sangat bertolak belakang dari satu bab ke bab lainnya. Untuk sebuah omnibus, hal ini tak menjadi masalah. Untuk sebuah novel yang tujuh belas penulisnya bertindak sebagai satu orang, ini persoalan. Persoalan saya, tepatnya.
Untuk naskah-naskah yang kembangannya terlalu jauh dari outline, saya meminta para penulisnya menulis ulang. Tapi, persoalan tak berhenti sampai di sini. Nada penulisan yang sejak awal disepakati ternyata dilanggar beramai-ramai. Penyelarasan bab-bab yang bercerita tentang Lenka inilah yang membuat penyuntingan tahap pertama memakan waktu—untuk bab-bab yang bercerita tentang karakter pendukung penyuntingannya lebih enteng. Sialnya, anak-anak Bengkel dengan semena-semena mendakwa saya mengidap fobia menyunting Lenka. Sapi betul.
Saat menyunting, saya mengubah pembukaan beberapa bab, menambahkan kalimat-kalimat penyambung, dan juga memangkas bagian-bagian yang membikin pembacaan seret atau tak sesuai dengan nada penulisan. Ketika saya pacak icip-icip penyuntingan tahap pertama di milis, anak-anak Bengkel bereaksi. Salah seorang penulis yang naskahnya saya permak langsung protes. “Kok metafora yang saya pakai hilang semua?” Saya menjawab bahwa metaforanya lemah, dan masih untung titik dan komanya tetap saya pakai. Ia nangis bombay, tapi kemudian hari mengaku bahwa penyuntingan menjadikan naskahnya lebih bagus. Tentu saja.
Ketika naskah sudah disetor semua pertemuan bulanan tidak berhenti, menjadi-jadi malah. Kami bertemu untuk berbual-bual sembari makan dan ngopi bareng. Pada kesempatan-kesempatan semacam ini, biasanya mereka tak lupa mendesak saya untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang sekian lama mengganggu mereka: kepanjangan A.S. pada nama Sulak. Awalnya saya menjawab Ahmad Sulaiman, dan mereka percaya. Lain kali saya bilang Alexie Sherman. Anak-anak Bengkel yang makin penasaran akhirnya mengajukan kombinasi mereka sendiri: Antonio Severus, Ajengan Sayid, Amadeus Salieri dan apa saja yang cocok dengan inisial A.S. Yuki pernah suatu kali datang dengan muka serius dan bilang kepada semua orang bahwa ia akhirnya tahu kepanjangan A.S. yang sebenarnya: Alit Seto, dua nama tokoh yang sering Sulak pakai untuk cerpen-cerpennya. Saya ketawa, tidak membenarkan atau menyalahkan, hanya berpikir yang seperti itu saja kok jadi obsesi berat. Si sasaran, Sulak, ketawa-ketawa senang.
Namun, tidak semua pertemuan diisi kuis remeh-temeh semacam itu. Sesekali, kami mengisinya dengan acara yang lebih serius seperti pengenalan Jurnalisme Sastrawi yang dilakukan kawan saya, Janet Steele dari George Washington University, atau diskusi penulisan yang lain.
Setelah penyuntingan tahap pertama selesai, saya mengopernya ke Sulak. Dengan alasan tak mau mengganggu penyuntingan yang sudah saya lakukan, ia menyunting dengan cara yang orisinil sekaligus ruwet. Ia menyunting dari belakang. Saya tak tahu apakah metodanya ini bisa dipraktekkan orang lain. Pastinya, penyuntingan gaya atret ini memakan waktu lama sehingga anak-anak Bengkel berteriak lagi dan berencana membuat gerakan FB agar Sulak segera menyelesaikan penyuntingannya. Mungkin, karena khawatir bakal tambah populer, ia akhirnya beralih ke penyuntingan yang lumrah-lumrah saja. Dalam penyuntingan tahap kedua ini, Sulak juga mengubah beberapa pembukaan dan memperketat bagian-bagian longgar yang luput dari penyuntingan tahap pertama karena saya kadung kenyang mengunyah Lenka.
Setelah Sulak selesai, saya memeriksanya sekali lagi, dan hasilnya adalah buku yang sekarang ada di tangan pembaca. Kalau ada yang menghibur dari Lenka, itu adalah hasil kerja bersama, utamanya 17 orang yang bersedia memberi ruang kepada gagasan teman-temannya agar tulisan mereka semakin kaya. Setiap bab dalam Lenka digarap oleh seorang atau dua orang penulis, tapi gagasan yang ada di dalamnya adalah sumbangan semua yang terlibat. Adapun, kalau Lenka tak berhasil mencapai kualitas yang diharapkan, atau malah membuat pembaca gusar, itu benar-benar karena keteledoran saya dan Sulak sebagai penyunting.
Senyampang Lenka disunting, beberapa anak Bengkel sudah berhasil menerbitkan karya mereka, baik berupa cerpen maupun novel. Di luar penulisan, ada yang berhasil lulus kuliah, ada yang memutuskan berhenti kuliah, ada yang pindah pekerjaan, ada yang menikah, ada yang punya bayi lagi, dan ada pula yang kehilangan anggota keluarga. Perjalanan panjang Lenka sarat dengan cerita sampingan yang kelak mungkin menarik untuk ditulis tersendiri.
Tentang nama Sarekat Penulis Kuping Hitam, ada sedikit cerita. Sekian puluh tahun yang lalu ada Barisan Pelawak Kuping Hitam yang anggotanya antara lain Basiyo, Jony Gudel, dan Atmonadi. Mereka lucu dan pintar sekali. Kami berdua sangat kagum kepada mereka. Kami menganggap anak-anak Bengkel pintar dan lucu sehingga pengadopsian nama itu kok rasanya enak. Kuping juga mengisyaratkan tindakan menyimak sementara warna hitam adalah lambang kesaktian. Tentu saja, penamaan ini semena-mena. Tapi, apa boleh buat, ini konsekuensi tak terhindarkan belajar kepada sepasang pendusta seperti kami. Lagi pula, kapan pun mereka bisa menyempal dari barisan dan mendirikan panji mereka sendiri. Dan, itu akan menjadi hari yang membahagiakan bagi kami berdua.
Catatan Proyek Lenka – Yusi Avianto Pareanom
Proyek Lenka
Sebuah buku bisa lahir karena rasa haru. Lenka adalah salah satunya. Tapi, sebelum sampai ke sana, izinkan saya melantur dulu.
Bagi saya, Bengkel Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta yang digelar pada 2008 dan 2009 adalah berkah karena kegiatan ini mempertemukan orang-orang yang beruntung. Dua pengajarnya, A.S. Laksana (Sulak) dan saya, sangat gemar membual. Kami sudah terjangkit bakat ini saat pertama kali bertemu pada 1981 di kota kelahiran kami, Semarang. Saat itu kami masih duduk di bangku SMP. Kebiasaan ini kami lanjutkan di SMA ketika kami juga belajar di sekolah yang sama. Seperti lazimnya orang Semarang yang lain, kami tumbuh atau tepatnya dikutuk menjadi tukang cela, tukang ngeyel, dan tukang keluh profesional (kuliah di Jogjakarta sedikit melunakkan bakat-bakat kami itu). Dengan portofolio semacam ini, jelas kami merasa beruntung saat Zen Hae, Nukila Amal, dan Ayu Utami dari Komite Sastra DKJ menawari kami mengasuh Bengkel. Sungguh menggiurkan, diberi kesempatan menipu orang-orang baru selama tiga bulan. Dasar jodoh, murid-murid yang kami dapatkan selama dua periode ternyata sangat senang kami gurui dan cela karyanya.
Ada dua belas kali pertemuan untuk setiap periode Bengkel yang digelar di MP Book Point di kawasan Jeruk Purut, Jakarta Selatan. Induk semang pertemuan adalah Rosdianah Angka. Setiap Sabtu, kelas dimulai pukul dua siang dan berakhir pukul empat sore. Itu jadwal resminya. Setiap selesai kelas, pertemuan selalu berlanjut sampai petang bahkan malam hari, biasanya di teras belakang MP Book Point dengan ngopi dan menggasak camilan-camilan yang bentuk, tekstur, dan rasanya ajaib—utamanya pada 2009, kadang kami pindah ke kafe lain. Jelas, pengajarnya belum puas berkicau sementara muridnya kecanduan dikibuli.
Ketika kelas 2009 berakhir pada Desember tahun itu, beberapa peserta secara terbuka menyatakan kesedihan mereka. Mungkin mereka kebanyakan nonton fim India atau telenovela. Sialnya, kami berdua ketularan. Agar ada alasan pertemuan terus berlanjut, saya menawarkan kepada angkatan 2009 untuk membuat karya bersama. Ini murni kecelakaan dan awal kepuyengan saya—saya akan menjelaskan lebih lanjut di bawah. Semestinya, saya meniru saja orang-orang desa Asterix yang tak memerlukan alasan saat ingin menggelar kenduri.
Apa pun, tawaran sudah kadung digulirkan. Apalagi saya punya janji kepada Komite Sastra, bahwa penerbitan saya, Banana, akan menerbitkan karya terbaik peserta pelatihan. Bila kemudian tawaran berubah menjadi penerbitan karya bersama, itu karena semua peserta setara kecakapannya. Sekalipun awalnya tawaran ini disodorkan di milis Bengkel 2009, saya dan Sulak juga mengajak anak-anak angkatan 2008 ikut bergabung dalam proyek kegembiraan bersama ini.
Di milis Bengkel, pada 27 Desember 2009, terilhami oleh beberapa peristiwa bunuh diri di mal-mal Jakarta, saya menulis begini: Pada sebuah acara penggalangan dana yang meriah, seorang perempuan muda bergaun biru wisnu jatuh dari lantai lima. Namanya Magdalena, biasa dipanggil Lenka mengikuti kebiasaan orang Eropa Timur (neneknya orang Magyar, Hungaria), 22 tahun, mahasiswa dan model. Bunuh diri, kecelakaan, atau sengaja didorong oleh seseorang?
Saya masih menulis beberapa kalimat pancingan lagi yang intinya meminta para montir—demikian para peserta menyebut diri mereka, saya dan Sulak tak pernah menyapa mereka seperti itu, kami memanggil mereka Sarekat Penulis Kuping Hitam, lebih lanjut soal ini di bawah—merumuskan sendiri siapa Lenka dan mengapa peristiwa naas itu bisa terjadi. Saya mempersilakan mereka mengajukan ide yang ingin mereka tulis. Boleh mengikuti pancingan, boleh juga bikin lakon carangan sepanjang ada benang merahnya.
Apakah ide awal tersebut akan menjadi kumpulan cerpen atau novel, saya menyerahkannya kepada peserta Bengkel. Apakah nantinya akan plek seperti pancingan atau menyimpang seliar mungkin, saya tak punya bayangan pada waktu itu. Saya mengambil sikap meniru sebuah bait puisi petuah dari seorang perempuan yang pernah saya taksir semasa SMA—ia sering sekali menulis puisi semacam itu di milis alumni SMA kami: biarkanlah semuanya mengalir. Tapi, saya dan Sulak yakin proses dan hasilnya bakal seru. Yang kami minta adalah anak-anak Bengkel menghadirkan kejutan dan berani meninggalkan zona nyaman mereka.
Tawaran itu langsung disambar. Pertama-tama soal keikutsertaan. Sekalipun saya memberi tenggat pendaftaran, yang telat tahu kabar ini juga ingin ikut. Lalu Sulak mengompori soal honor. Nyaris semuanya langsung mempraktekkan jurus sapi bersimpuh dan bilang bahwa diajak menulis bersama saja sudah senang. Dalam hati saya merutuk, sialan, mereka pintar memancing haru, dan itu alamat bandar bakal rugi.
Tepat pada 1 Januari 2010, Yuki Anggia Putri Ritonga menjadi orang pertama yang menggelindingkan bola. Ia menulis kehidupan kuliah Lenka dan pertemuannya dengan seorang fotografer—Andina menyambarnya dengan menyebut-nyebut soal aliran fotografi pembebasan. Lalu Miftah Rahman menulis tentang perjanjian dengan setan yang dilakukan ayah Lenka, seorang konduktor orkestra. Apendi, sesuai petingkahnya yang serba misterius dan konspiratif, bahkan sampai saat ini, menyodorkan keterlibatan organisasi rahasia yang berada di balik kematian Lenka. Wahyu Heriyadi, jauh-jauh dari Palu, menyumbang cerita mistis tentang gedung yang menjadi lokasi kematian Lenka. Sementara itu, Nia Nurdiansyah memberi tinjauan psikologi panjang lebar tentang orang-orang yang bunuh diri.
Bagaikan gerombolan piranha mendapatkan tetelan babi, anggota Bengkel yang lain menyambar dan memberi kritik. Saling kritik—atau saling bantai—memang menjadi asupan harian kami. Dilarang sakit hati adalah pelajaran hari pertama di Bengkel. Dengan kritik, ide kurang bagus bisa terasah, dan ide yang sudah bagus akan tambah mengkilap. Usulan-usulan baru pun meluncur deras. Sulak menyebut mereka kaum yang kesurupan Lenka.
Setelah beberapa bola menggelinding dan ditendang beramai-ramai, saya mengulang lagi pertanyaan apakah Proyek Lenka, demikian kegembiraan dan eksperimen bersama ini disebut, akan digarap bersama-sama sebagai sebuah novel atau setiap yang terlibat ingin membuat tafsir sendiri-sendiri atas ide awal. Semuanya sepakat memilih yang pertama.
Saya mengajak mereka berkumpul lagi untuk membahas outline dan karakter-karakter yang ingin dimunculkan. Kami bertemu pada awal Januari 2010, dan tempat pertemuan yang dipilih anak-anak Bengkel sungguh tak imajinatif. Dari 1.234 kafe di Jakarta, mereka memilih MP Book Point. Alasannya, takut kesasar kalau ke tempat lain. Saya mengancam tak akan meneruskan Proyek Lenka bila tempat pertemuan berikutnya tak berubah.
Pertemuan hari itu juga menandai perjumpaan pertama anak-anak angkatan 2008 dan 2009. Perbedaan yang mencolok antara dua angkatan ini adalah anak-anak 2008, tepatnya Wiwin Erikawati, membawa sekardus kue yang enak-enak sementara anak-anak 2009 datang dengan tangan kosong. Mungkin angkatan 2009 kangen dengan camilan MP Book Point seperti combro yang harus dicelupkan ke kopi panas karena saking kerasnya atau bolu yang seukuran telapak tangan orang dewasa yang baru saja tersengat lebah—besar sekali.
Pertemuan itu menyepakati banyak hal. Utamanya tentang apa dan siapa Lenka—usianya terpangkas menjadi 19 tahun dalam rapat ini, misalnya—motif tindakan-tindakannya, karakter-karakter pendukung, serta yang tak kalah penting adalah nada penulisan. Setiap orang boleh bereksperimen dan membawa gaya mereka masing-masing, tapi nada mesti selaras. Untuk mendapatkan keselarasan itu, saya meminta mereka membaca buku, menonton film, dan mendengarkan lagu yang saya pikir bisa membantu. Dalam waktu singkat, usulan daftar lagu dan film bertambah sementara daftar bacaan tidak.
Berdasarkan hasil rapat, saya kemudian membuat outline dan kemudian membagi bola, siapa menggarap bab berapa. Pembagian ini selain mengacu kepada minat dan usulan para penulis juga semacam tantangan kepada mereka. Jadi, sedikit banyak agak sepihak, untungnya pengambilan keputusan ala demokrasi terpimpin ini diamini anak-anak Bengkel. Sebetulnya, rencana awalnya saya dan Sulak akan ikut menulis satu bab. Tapi, akhirnya kami sepakat semuanya digarap Barisan Penulis Kuping Hitam.
Saya lalu mendorong yang terlibat dalam Proyek Lenka bereksperimen lebih lanjut. Saya meminta mereka membuat akun Facebook atas nama tokoh-tokoh dalam Lenka dan menjalankan peran itu secara bersungguh-sungguh. Hitung-hitung latihan method writing. Beberapa menjalankan dengan takzim, beberapa tak sanggup menahan geli. Yang paling parah untuk yang terakhir ini adalah Laire Siwi Mentari.
Lalu, mulailah proses yang paling menarik. Satu demi satu pengeroyok Lenka memacak bab yang mereka tulis di milis. R. Mailindra menyebut Bengkel adalah padepokan silat sehingga jika dapat sedikit tendangan atau pukulan itu wajar belaka. Artinya, kritik pedas, dan mungkin bertubi-tubi, itu mesti diterima kalau mau tambah ilmu. Ia benar, karena jika ada yang mengirimkan naskah tapi sepi tanggapan yang bersangkutan justru merasa nelangsa. Yuki yang paling rajin berperan sebagai polisi bahasa. Saya dan Sulak biasanya memberi tanggapan atas tanggapan, utamanya yang luput ditanggapi para penanggap (saya meminjam gaya bahasa Wahyu di sini).
Sulak menyebut aksinya mengkritik sebagai mengamuk. Dan, ia mengamuk dengan brutal. Yang paling sering ia lakukan adalah meminta anak-anak Bengkel memperagakan kalimat-kalimat janggal yang mereka buat. Beberapa anak Bengkel tergerak meniru, dan komentar yang muncul atas kiriman naskah semakin tajam. Kadang ada yang sedemikian tajam sehingga yang kena kritik tergores hati dan harga dirinya, lalu menyerang balik dan mempertanyakan kualitas si pengkritik. Andina menyebut gesekan semacam ini percikan bunga api. Mendengar kata bunga api itu Sulak buru-buru membawa jeriken bensin oplosan dan saya menyusul di belakangnya dengan kipas besar. Ganjilnya, hasutan kami agar perang makin ramai justru membuat anak-anak Bengkel yang bertikai saling meminta dan memberi maaf, seperti Lebaran saja.
Sebetulnya, saya dan Sulak bisa saja memainkan peran juru damai seperti Ketua RT di sinetron-sinetron Indonesia atau Babinsa di kampung-kampung. Tapi, alangkah membosankannya. Dinamika dalam sebuah grup biasanya menjadikan karya yang muncul dari kelompok itu ciamik. The Beatles jelang bubarnya menghasilkan karya-karya terbaik justru ketika ketegangan menjelujur di antara keempat anggotanya. Sebaliknya, karya Queen jelang Freddie Mercury meninggal—ketika semua anggotanya rukun—jauh di bawah album-album mereka sebelumnya. Saya sama sekali tak ingin menyamakan Sarekat Penulis Kuping Hitam dengan dua grup musik hebat itu, tapi saya ingin bilang ke mereka bahwa rivalitas itu penting karena semuanya ingin membuktikan diri sebagai yang terbaik. Rivalitas tak perlu ditakuti karena ia bukan permusuhan.
Setelah hampir semua bab ditulis, kami berkumpul lagi membahas penulisan bersama ini. Kali ini dalam jumlah besar. Pengeroyok Lenka dari dua angkatan yang sebelumnya hanya bercakap-cakap melalui milis bisa berkenalan langsung, dan makan-makan tentunya. Kali ini, mungkin malu saya sindiri terus, angkatan 2009 ikut membawa kue-kue, dan selanjutnya saling tukar hadiah atau buah tangan menjadi kebiasaan yang menyenangkan. Pertemuan semacam ini terjadi beberapa kali. Katamsi Ginano, kawan Sulak dan saya, ikut meramaikan beberapa pertemuan dan melontarkan hasutan di sana-sini agar tulisan anak-anak Bengkel makin sedap. Setiap setelah pertemuan, saya dan Sulak meminta anak-anak Bengkel merevisi tulisan mereka.
Pada Juni 2010, draf pertama Lenka rampung. Saya dan Sulak bersepakat bahwa saya akan menjadi penyunting pertama dan baru kemudian ia merapikan lebih lanjut. Lagi-lagi, ini keputusan yang keliru. Mestinya saya mengumpankan Sulak lebih dahulu. Draf pertama, sekalipun tulisan per babnya sudah lebih baik ketimbang setoran-setoran awal, bercerita tentang Lenka yang berbeda-beda. Kadang, kepribadiannya sangat bertolak belakang dari satu bab ke bab lainnya. Untuk sebuah omnibus, hal ini tak menjadi masalah. Untuk sebuah novel yang tujuh belas penulisnya bertindak sebagai satu orang, ini persoalan. Persoalan saya, tepatnya.
Untuk naskah-naskah yang kembangannya terlalu jauh dari outline, saya meminta para penulisnya menulis ulang. Tapi, persoalan tak berhenti sampai di sini. Nada penulisan yang sejak awal disepakati ternyata dilanggar beramai-ramai. Penyelarasan bab-bab yang bercerita tentang Lenka inilah yang membuat penyuntingan tahap pertama memakan waktu—untuk bab-bab yang bercerita tentang karakter pendukung penyuntingannya lebih enteng. Sialnya, anak-anak Bengkel dengan semena-semena mendakwa saya mengidap fobia menyunting Lenka. Sapi betul.
Saat menyunting, saya mengubah pembukaan beberapa bab, menambahkan kalimat-kalimat penyambung, dan juga memangkas bagian-bagian yang membikin pembacaan seret atau tak sesuai dengan nada penulisan. Ketika saya pacak icip-icip penyuntingan tahap pertama di milis, anak-anak Bengkel bereaksi. Salah seorang penulis yang naskahnya saya permak langsung protes. “Kok metafora yang saya pakai hilang semua?” Saya menjawab bahwa metaforanya lemah, dan masih untung titik dan komanya tetap saya pakai. Ia nangis bombay, tapi kemudian hari mengaku bahwa penyuntingan menjadikan naskahnya lebih bagus. Tentu saja.
Ketika naskah sudah disetor semua pertemuan bulanan tidak berhenti, menjadi-jadi malah. Kami bertemu untuk berbual-bual sembari makan dan ngopi bareng. Pada kesempatan-kesempatan semacam ini, biasanya mereka tak lupa mendesak saya untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang sekian lama mengganggu mereka: kepanjangan A.S. pada nama Sulak. Awalnya saya menjawab Ahmad Sulaiman, dan mereka percaya. Lain kali saya bilang Alexie Sherman. Anak-anak Bengkel yang makin penasaran akhirnya mengajukan kombinasi mereka sendiri: Antonio Severus, Ajengan Sayid, Amadeus Salieri dan apa saja yang cocok dengan inisial A.S. Yuki pernah suatu kali datang dengan muka serius dan bilang kepada semua orang bahwa ia akhirnya tahu kepanjangan A.S. yang sebenarnya: Alit Seto, dua nama tokoh yang sering Sulak pakai untuk cerpen-cerpennya. Saya ketawa, tidak membenarkan atau menyalahkan, hanya berpikir yang seperti itu saja kok jadi obsesi berat. Si sasaran, Sulak, ketawa-ketawa senang.
Namun, tidak semua pertemuan diisi kuis remeh-temeh semacam itu. Sesekali, kami mengisinya dengan acara yang lebih serius seperti pengenalan Jurnalisme Sastrawi yang dilakukan kawan saya, Janet Steele dari George Washington University, atau diskusi penulisan yang lain.
Setelah penyuntingan tahap pertama selesai, saya mengopernya ke Sulak. Dengan alasan tak mau mengganggu penyuntingan yang sudah saya lakukan, ia menyunting dengan cara yang orisinil sekaligus ruwet. Ia menyunting dari belakang. Saya tak tahu apakah metodanya ini bisa dipraktekkan orang lain. Pastinya, penyuntingan gaya atret ini memakan waktu lama sehingga anak-anak Bengkel berteriak lagi dan berencana membuat gerakan FB agar Sulak segera menyelesaikan penyuntingannya. Mungkin, karena khawatir bakal tambah populer, ia akhirnya beralih ke penyuntingan yang lumrah-lumrah saja. Dalam penyuntingan tahap kedua ini, Sulak juga mengubah beberapa pembukaan dan memperketat bagian-bagian longgar yang luput dari penyuntingan tahap pertama karena saya kadung kenyang mengunyah Lenka.
Setelah Sulak selesai, saya memeriksanya sekali lagi, dan hasilnya adalah buku yang sekarang ada di tangan pembaca. Kalau ada yang menghibur dari Lenka, itu adalah hasil kerja bersama, utamanya 17 orang yang bersedia memberi ruang kepada gagasan teman-temannya agar tulisan mereka semakin kaya. Setiap bab dalam Lenka digarap oleh seorang atau dua orang penulis, tapi gagasan yang ada di dalamnya adalah sumbangan semua yang terlibat. Adapun, kalau Lenka tak berhasil mencapai kualitas yang diharapkan, atau malah membuat pembaca gusar, itu benar-benar karena keteledoran saya dan Sulak sebagai penyunting.
Senyampang Lenka disunting, beberapa anak Bengkel sudah berhasil menerbitkan karya mereka, baik berupa cerpen maupun novel. Di luar penulisan, ada yang berhasil lulus kuliah, ada yang memutuskan berhenti kuliah, ada yang pindah pekerjaan, ada yang menikah, ada yang punya bayi lagi, dan ada pula yang kehilangan anggota keluarga. Perjalanan panjang Lenka sarat dengan cerita sampingan yang kelak mungkin menarik untuk ditulis tersendiri.
Tentang nama Sarekat Penulis Kuping Hitam, ada sedikit cerita. Sekian puluh tahun yang lalu ada Barisan Pelawak Kuping Hitam yang anggotanya antara lain Basiyo, Jony Gudel, dan Atmonadi. Mereka lucu dan pintar sekali. Kami berdua sangat kagum kepada mereka. Kami menganggap anak-anak Bengkel pintar dan lucu sehingga pengadopsian nama itu kok rasanya enak. Kuping juga mengisyaratkan tindakan menyimak sementara warna hitam adalah lambang kesaktian. Tentu saja, penamaan ini semena-mena. Tapi, apa boleh buat, ini konsekuensi tak terhindarkan belajar kepada sepasang pendusta seperti kami. Lagi pula, kapan pun mereka bisa menyempal dari barisan dan mendirikan panji mereka sendiri. Dan, itu akan menjadi hari yang membahagiakan bagi kami berdua.
Kamis, 07 Juli 2011
Akhirnya LENKA lompat juga
TERBIT: Lenka, novel 262 halaman. Harga Rp 45 ribu.
Penyunting: A.S. Laksana dan ...Yusi Avianto Pareanom
Penulis: Andina Dwifatma Æ› Apendi (Casey Airysh) Æ› Dini Afiandri Æ› Fanny Fajarianti Æ› Laire Siwi Mentari Æ› Miftah Rahman Æ› Nia Nurdiansyah Æ› R. Mailindra Æ› Regina Kalosa Æ› Reno Puti Bulan Æ› Rizki Amalia Æ› Sitta Taqwim Æ› Sulung Siti Hanum Æ› Utami Diah Kusumawati Æ› Wahyu Heriyadi Æ› Wiwin Erikawati Æ› Yuki Anggia Putri Ritonga
"Pada sebuah acara penggalangan dana, seorang perempuan muda bergaun biru wisnu jatuh dari lantai lima. Namanya Magdalena, biasa dipanggil Lenka mengikuti kebiasaan orang Eropa Timur (neneknya orang Magyar, Hungaria), mahasiswa dan model. Bunuh diri, kecelakaan, atau sengaja didorong oleh seseorang?”
LENKA lahir dari gagasan di atas, yang dilempar ke tengah kerumunan anggota milis Bengkel Penulisan Novel DKJ 2009. Setiap dari mereka dengan ganas mengembangkan cerita dari situasi tersebut. Dan mereka kemudian bertarung sepanjang proses penulisan—dalam pengertian benar-benar saling membantai.
Setelah pertarungan lahirlah Lenka, novel karya bersama Sarekat Penulis Kuping Hitam. Dengan alur cerita yang menjadi liar dengan sendirinya, dan sudut pandang yang berganti-ganti, pembaca akan diajak mengunjungi hidup Lenka mulai sebelum ia lahir sampai sesudah kematiannya, dan juga kisah orang-orang sekitarnya: Tiung Sukmajati, ayah Lenka, komposer ternama; Luisa Báthory-Sukmajati, ibu Lenka yang berasal dari Hungaria; Pandan Salas, kakak Lenka, pecatur jenius yang menjadi harapan besar Indonesia meraih gelar juara dunia; Meimei Pikatan, tunangan Pandan Salas; Helong Lembata, teman kuliah dan fotografer penganut aliran fotografi pembebasan; dan Danny Amsterdam, pemilik agensi model Asia Jewel.
Sarekat Penulis Kuping Hitam adalah peserta Bengkel Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta 2008 dan 2009. Profesi anggota barisan beraneka ragam, mulai wartawan, pegawai negeri sipil, arsitek, mahasiswa, musisi, programmer, karyawan swasta, pelancong, fotografer, penyunting, peramal, sampai hipnotis.
by. penerbit banana
Jumat, 24 Juni 2011
Lepas Kebas Bebas
Sudah lama aku menantikan udara kebebasan
Aku sangat menantikan, mendengar detak jam setiap detik
Terasa sangat lama
butuh kesabaran berbulan-bulan untuk membuat diriku kuat
butuh asupan semangat berton-ton untuk membuat diriku realistis menatap realitas
butuh gizi nurani agar aku tetap memiliki hati
Aku menantikan itu
Aku menantikan senyumku yang pasti kan datang lagi
sebentar lagi
ya sesaat lagi
Tak sabar hati ini melepas jerat tali yang tersimpul mati
Aku akan kembali nyata
Aku akan kembali tertawa
Sebuah Renungan sore
Aku sangat menantikan, mendengar detak jam setiap detik
Terasa sangat lama
butuh kesabaran berbulan-bulan untuk membuat diriku kuat
butuh asupan semangat berton-ton untuk membuat diriku realistis menatap realitas
butuh gizi nurani agar aku tetap memiliki hati
Aku menantikan itu
Aku menantikan senyumku yang pasti kan datang lagi
sebentar lagi
ya sesaat lagi
Tak sabar hati ini melepas jerat tali yang tersimpul mati
Aku akan kembali nyata
Aku akan kembali tertawa
Sebuah Renungan sore
Aquascape, Sebuah Hiasan Hidup nan Menawan
Secara naluriah, aku tak begitu suka melihat akuarium. Meski indah bentuknya, cantik hiasannya, lucu-lucu jenis ikannya, enak dipandang mata, tapi aku kasian. Kasian melihat ikan-ikan yang berada di dalamnya. Ikan-ikan itu yang tadinya hidup bebas entah itu di laut, sungai, payau, atau danau, ditangkap lalu dimasukkan ke dalam kotak kaca ukuran tertentu. Lalu ditambah dengan hiasan-hiasan taman atau goa buatan mirip dengan habitat aslinya. Semua hiasan itu tentu saja 'bohongan' berupa mainan yang terbuat dari plastik atau bebatuan. Itu kan sama saja dengan penipuan terhadap ikan. Meski dirawat, airnya dikuras, diberi makan, tapi tetap saja, habitat mereka itu tidak di dalam kotak kaca.
Tapi itu semua anggapanku terhadap akuarium. Aku mencari solusi, ikan tanpa merasa terkekang, dan kita juga dapat manfaat dari sebuah akuarium. Akhirnya aku menemukan jawabannya baru-baru ini. Aquascape. Ada yang mengenalkan tentang dunia ikan dan tumbuhan air padaku. Aku dapat menyelami kehidupan bawah air tersebut lebih dekat. Prinsipnya sama dengan menata taman di halaman rumah, tapi ini di dalam air dan ukurannya mini. Taman mini di dalam akuarium dengan ikan-ikan kecil yang hidup di dalamnya. Tumbuhan air pun beragam.
Jika menata akuarium dengan hiasan hidup seperti itu, tumbuhan yang benar-benar hidup, bukan tumbuhan plastik, Ikan juga akan merasa nyaman hidup di dalamnya. Karena mereka hidup bersama tanaman air yang membuat air lebih segar dan senyawa mikro yang menjadi makanan bagi ikan. Ada simbiosis mutualisme di dalam akuarium. Kita yang menatanya juga tak sekadar membuat akuarium sebagai hiasan, tapi juga penyegar ruangan. Air, suara gelembung, taman mungil, ikan hias, akan menjadi peneman kita sepanjang hari di dalam ruangan. Ada oksigen tambahan yang membantu pergerakan sirkulasi udara. Kita memperoleh ilmu tentang beragam tanaman air, ikan, dan penataan taman, ikan juga dapat asik bermain di dalamnya, tumbuhan juga tumbuh subur bergoyang-goyang di dalam air. Apalagi yang dapat memuaskan hati?
Indah, cantik, menarik tanpa harus menipu ikan, itu lebih baik kan?! Dan aku mendapat ilmunya dari seseorang. Dan mendapat pengalaman langsung untuk menata taman mungil itu.
Selasa, 10 Mei 2011
Mengikat Makna dari Sastrawan kita “Tentang Menulis”
Dari para ‘orang hebat’ kita
Membicang dunia tulis-menulis memang tak ada habisnya. Setiap orang memiliki pandangan berbeda tentang menulis.
Seperti Raudal Tanjung Banua, seorang penulis fiksi Indonesia. Menurutnya menulis bukan persoalan finansial, melainkan suatu kepuasan yang menimbulkan spirit bagi kita. Yang perlu diingat, kita menulis dengan rendah hati, artinya menulis jangan sampai mengubah karakter kita sebagai penulis. Dengan terus menulis, akan timbul dengan sendirinya sebuah kekhasan yang diiringi sebuah obsesi yang diperjuangkan terus-menerus (Soliloque). Menulis yang baik juga bergantung kepada intensitas kalimat, yaitu bagaimana menghadirkan kalimat pembaharuan. Kita harus bisa melawan diri sendiri dalam menuturkan sebuah kisah. Berani kejam terhadap apa yang dituliskan. (Catatan perbincangan Januari 2006)
Seiring dengan itu, Raudal belajar dari Budi Dharma, pengarang absurd kita yang telah almarhum sempat berujar bahwa problem menulis cerpen itu bagaimana cara mengakhiri, tetapi novel justru bermasalah ketika mengawali.
Ada lagi pesan dari Taufiq Ismail, seorang sosok yang selalu kita kenal lewat puisinya. Beliau tak gentar memperjuangkan misi agar pemuda tidak rabun membaca dan lumpuh menulis. Dia cuma berpesan, memulai proses kreatif menulis adalah dengan membaca, membaca, membaca, kemudian mulailah menulis. Membaca dan menulis merupakan saudara kembar yang tak terpisahkan. Apa saja yang kau baca, selama itu menarik, bacalah! Kalau kau tidak suka baca buku yang ada di tanganmu, tinggalkan saja. Jangan hal itu menghambat kau untuk menyebangi karya sastra. Bacalah buku yang menyenangkan bagi dirimu sendiri. Selama kau suka membaca, selama itu pula kamu akan mulai mengerti karya sastra. (Catatan Januari 2006)
Kemudian, Khairul Jasmi juga pernah berpesan kepada saya. Beliau ahli dalam menulis feature. Menulis itu asyik. Jangan mengarang, tapi menulis. Jangan terfokus pada teori. Biarkan apa yang kita tulis itu mengalir seadanya. Dalam menulis jangan setengah-setengah dan jangan berhenti sebelum selesai, karena ide yang ada akan cepat hilang. Jangan menunda-nunda aspirasi yang keluar, tetapi biarkan, dan tulis apa yang ada di dalam pikiran. (Sebuah perbincangan pada Desember 2005)
Lalu, sebelum meninggal, penyair Hamid Jabbar sempat mengatakan sesuatu yang bermakna lain. Indahmu tak seindah pikirmu, cerahmu tak secerah matamu. Tapi kau tahu kau salah, mengapa kau membisu? Sastra itu permainan yang bukan sekadar permainan. Sastra itu dapat menembus ruang dan waktu. Manusia itu mencipta sastra dengan membuat huruf-huruf yang bergotong royong membangun kerajaan kata, dan hasilnya berupa karya sastra. Sastra selayaknya tetap ada dan dibaca, karena manusia ada dan perlu membaca dan dibaca, manusia tahan kias, binatang tahan palu. Bila kata tak dapat lagi mewakili manusia berbicara dengan sesame, itu tandanya kehancuran kemanusiaan dan hiduplah Tuanku Binatang dengan bahasa palu. (Mengenang beliau di catatan Maret 2004)
Ibrahim Ghaffar, penyair Malaysia juga sempat berpendapat, konsep sastra itu sama di berbagai Negara. Hanya corak dan wujudnya saja yang tampak berbeda. Dengan adanya pengucapan Puisi Nusantara, kita harus berpikir untuk mempusakakan diri kita melalui puisi dan prosa, meramahi taman sastra dan pemahaman bahasa, serta menghujah kata mencari keserasian. (catatan pertemuan Mei 2007)
Mohd. Diani Kasian, masih dari Malaysia menambahkan bahwa teruslah berkarya hingga kita tak bernyawa. (catatan pertemuan Mei 2007)
Guru saya, motivator saya, Yusrizal KW, seorang sastrawan pernah mengajarkan, Jika kalian menjadi dokter, maka kita adalah dokter yang bisa menulis. Jika kalian menjadi presiden maka kita adalah presiden yang bisa menulis. Itulah yang membedakan kita dengan orang lain. (Sepanjang perjalanan saya di dunia sastra)
Akhirnya, saya menyimpulkan. Kita harus menunjukkan bahwa kita menulis dan bisa mewakili maksud kita pada dunia.
Mengenang pertemuan dengan mereka dalam tulisan ini
Sulung Siti Hanum
10 Mei 2011
Membicang dunia tulis-menulis memang tak ada habisnya. Setiap orang memiliki pandangan berbeda tentang menulis.
Seperti Raudal Tanjung Banua, seorang penulis fiksi Indonesia. Menurutnya menulis bukan persoalan finansial, melainkan suatu kepuasan yang menimbulkan spirit bagi kita. Yang perlu diingat, kita menulis dengan rendah hati, artinya menulis jangan sampai mengubah karakter kita sebagai penulis. Dengan terus menulis, akan timbul dengan sendirinya sebuah kekhasan yang diiringi sebuah obsesi yang diperjuangkan terus-menerus (Soliloque). Menulis yang baik juga bergantung kepada intensitas kalimat, yaitu bagaimana menghadirkan kalimat pembaharuan. Kita harus bisa melawan diri sendiri dalam menuturkan sebuah kisah. Berani kejam terhadap apa yang dituliskan. (Catatan perbincangan Januari 2006)
Seiring dengan itu, Raudal belajar dari Budi Dharma, pengarang absurd kita yang telah almarhum sempat berujar bahwa problem menulis cerpen itu bagaimana cara mengakhiri, tetapi novel justru bermasalah ketika mengawali.
Ada lagi pesan dari Taufiq Ismail, seorang sosok yang selalu kita kenal lewat puisinya. Beliau tak gentar memperjuangkan misi agar pemuda tidak rabun membaca dan lumpuh menulis. Dia cuma berpesan, memulai proses kreatif menulis adalah dengan membaca, membaca, membaca, kemudian mulailah menulis. Membaca dan menulis merupakan saudara kembar yang tak terpisahkan. Apa saja yang kau baca, selama itu menarik, bacalah! Kalau kau tidak suka baca buku yang ada di tanganmu, tinggalkan saja. Jangan hal itu menghambat kau untuk menyebangi karya sastra. Bacalah buku yang menyenangkan bagi dirimu sendiri. Selama kau suka membaca, selama itu pula kamu akan mulai mengerti karya sastra. (Catatan Januari 2006)
Kemudian, Khairul Jasmi juga pernah berpesan kepada saya. Beliau ahli dalam menulis feature. Menulis itu asyik. Jangan mengarang, tapi menulis. Jangan terfokus pada teori. Biarkan apa yang kita tulis itu mengalir seadanya. Dalam menulis jangan setengah-setengah dan jangan berhenti sebelum selesai, karena ide yang ada akan cepat hilang. Jangan menunda-nunda aspirasi yang keluar, tetapi biarkan, dan tulis apa yang ada di dalam pikiran. (Sebuah perbincangan pada Desember 2005)
Lalu, sebelum meninggal, penyair Hamid Jabbar sempat mengatakan sesuatu yang bermakna lain. Indahmu tak seindah pikirmu, cerahmu tak secerah matamu. Tapi kau tahu kau salah, mengapa kau membisu? Sastra itu permainan yang bukan sekadar permainan. Sastra itu dapat menembus ruang dan waktu. Manusia itu mencipta sastra dengan membuat huruf-huruf yang bergotong royong membangun kerajaan kata, dan hasilnya berupa karya sastra. Sastra selayaknya tetap ada dan dibaca, karena manusia ada dan perlu membaca dan dibaca, manusia tahan kias, binatang tahan palu. Bila kata tak dapat lagi mewakili manusia berbicara dengan sesame, itu tandanya kehancuran kemanusiaan dan hiduplah Tuanku Binatang dengan bahasa palu. (Mengenang beliau di catatan Maret 2004)
Ibrahim Ghaffar, penyair Malaysia juga sempat berpendapat, konsep sastra itu sama di berbagai Negara. Hanya corak dan wujudnya saja yang tampak berbeda. Dengan adanya pengucapan Puisi Nusantara, kita harus berpikir untuk mempusakakan diri kita melalui puisi dan prosa, meramahi taman sastra dan pemahaman bahasa, serta menghujah kata mencari keserasian. (catatan pertemuan Mei 2007)
Mohd. Diani Kasian, masih dari Malaysia menambahkan bahwa teruslah berkarya hingga kita tak bernyawa. (catatan pertemuan Mei 2007)
Guru saya, motivator saya, Yusrizal KW, seorang sastrawan pernah mengajarkan, Jika kalian menjadi dokter, maka kita adalah dokter yang bisa menulis. Jika kalian menjadi presiden maka kita adalah presiden yang bisa menulis. Itulah yang membedakan kita dengan orang lain. (Sepanjang perjalanan saya di dunia sastra)
Akhirnya, saya menyimpulkan. Kita harus menunjukkan bahwa kita menulis dan bisa mewakili maksud kita pada dunia.
Mengenang pertemuan dengan mereka dalam tulisan ini
Sulung Siti Hanum
10 Mei 2011
Dua Sisi: Teenlit dan Sastra
Siapa pun pasti bisa jadi penulis. Dengan tekad yang kuat, suatu saat nanti akan menghasilkan sebuah karya. Karena itu, Mulailah! Kita tidak pernah tahu kemampuan kita kalau kita tidak mencobanya.
Ada beberapa kisah tentang perseteruan antara sastra dan teenlit atau metropop. Teenlit atau metropop disebut sastra populer, berbeda dengan sastra murni. Ada pendapat di satu pihak, antara sastra murni dan sastra populer terlihat garis batas yang membedakan mereka. Sebuah pengalaman seorang penulis, para sastrawan di pulau Jawa memandang pengarang teenlit sebagai penulis ‘sampah’, ditambah denagn istilah mereka yang menyebutkan, teenlit disebut dengan istilah ‘ Sastra Jerawat’.
Secara bijaksana, seorang sastrawan kita mengulas karya sastra sebagai dua fungsi yang bergerak antara dua titik. Berangkat dari titik yang sifatnya memberi, ke arah yang sifatnya membangkitkan. Di sana, sebuah karya sastra akan menempatkan pembaca sebagai subjek, bukan sekadar objek yang hanya menerima saja. Diharapkan pembaca mendapatkan sesuatu dari dalam diri mereka melalui nilai-nilai tersirat dalam karya sastra.
Seorang penulis pernah berkata kepada saya secara personal, semua karya fiksi itu adalah sastra. Untuk membuktikan ke-sastra-annya, lihat apa yang dapat diambil dari karya itu. Karya itu akan disebut sebagai sastra yang ‘besar’ jika ada yang diperoleh dari membaca atau menulis karya tersebut. Kembali ke hakekat untuk apa karya itu ada.
Namun, terlepas dari semua itu, sebagai penulis pemula, tidak perlu memikirkan aliran mana yang harus dipilih. Menjadi penulis harus menulis. Oleh karena itu, ada tiga yang harus diingat. Pertama, penulis peka dengan lingkungan, bergaul dengan banyak orang. Hal ini dilakukan untuk membantu penulis melakukan pendalaman karakter.
Hal yang kedua, seorang penulis sebaiknya sering mengitari dan memperhatikan. Tujuannya untuk pembentukan setting dalam cerita. Kemudian yang ketiga, memperbanyak wawasan melalui membaca, browsing internet, dan rajin menyimak berita.
Sebagai penulis, kita harus melihat dari luar semua persoalan yang diuraikan sebagai cerita. Untuk itulah keterampilan dan wawasan yang luas dibutuhkan melalui membaca karya-karya orang lain. Menurut saya, penulis itu seharusnya rendah hati sehingga ia dapat menulis dengan jujur. Tanpa kejujuran, makna takkan didapat dari hasil karyanya.
Mengingat teenlit dan sastra banyak yang membedakan, sebenarnya pada dasarnya dua hal itu sama. Perbedaannya terletak pada penggambarannya. Teenlit, metropop, atau karya populer lainnya mampu menyuguhkan sebuah karya yang membuat pembacanya menjadi ingin tahu bagaimana alur dan akhir kisahnya. Sedangkan sastra murni selain memberikan informasi juga condong untuk mengajak pembacanya berpikir bahwa ada makna dan pesan tersirat di dalamnya.
Di luar perseteruan ragam karya sastra itu, setiap orang bisa melahirkan sebuah karya dari pemikirannya sendiri. Novel teenlit dan sejenisnya dapat dijadikan langkah awal sebagai motivasi dalam menulis dan membaca. Dunia menulis adalah sesuatu yang mencengangkan. Jika kita percaya, kita dapat mencobanya, dan kita akan menikmati hal-hal baru yang membuat diri ini semakin bangga.
Sulung Siti Hanum
10 Mei 2011
Hanya Ingin berbagi tentang buah pikiran
Hasil perbincangan dengan tiga penulis: Gus Tf Sakai (Sastrawan), Donna Rosamayna dan Esti Kinasih (penulis Teenlit), Maret 2006
Ada beberapa kisah tentang perseteruan antara sastra dan teenlit atau metropop. Teenlit atau metropop disebut sastra populer, berbeda dengan sastra murni. Ada pendapat di satu pihak, antara sastra murni dan sastra populer terlihat garis batas yang membedakan mereka. Sebuah pengalaman seorang penulis, para sastrawan di pulau Jawa memandang pengarang teenlit sebagai penulis ‘sampah’, ditambah denagn istilah mereka yang menyebutkan, teenlit disebut dengan istilah ‘ Sastra Jerawat’.
Secara bijaksana, seorang sastrawan kita mengulas karya sastra sebagai dua fungsi yang bergerak antara dua titik. Berangkat dari titik yang sifatnya memberi, ke arah yang sifatnya membangkitkan. Di sana, sebuah karya sastra akan menempatkan pembaca sebagai subjek, bukan sekadar objek yang hanya menerima saja. Diharapkan pembaca mendapatkan sesuatu dari dalam diri mereka melalui nilai-nilai tersirat dalam karya sastra.
Seorang penulis pernah berkata kepada saya secara personal, semua karya fiksi itu adalah sastra. Untuk membuktikan ke-sastra-annya, lihat apa yang dapat diambil dari karya itu. Karya itu akan disebut sebagai sastra yang ‘besar’ jika ada yang diperoleh dari membaca atau menulis karya tersebut. Kembali ke hakekat untuk apa karya itu ada.
Namun, terlepas dari semua itu, sebagai penulis pemula, tidak perlu memikirkan aliran mana yang harus dipilih. Menjadi penulis harus menulis. Oleh karena itu, ada tiga yang harus diingat. Pertama, penulis peka dengan lingkungan, bergaul dengan banyak orang. Hal ini dilakukan untuk membantu penulis melakukan pendalaman karakter.
Hal yang kedua, seorang penulis sebaiknya sering mengitari dan memperhatikan. Tujuannya untuk pembentukan setting dalam cerita. Kemudian yang ketiga, memperbanyak wawasan melalui membaca, browsing internet, dan rajin menyimak berita.
Sebagai penulis, kita harus melihat dari luar semua persoalan yang diuraikan sebagai cerita. Untuk itulah keterampilan dan wawasan yang luas dibutuhkan melalui membaca karya-karya orang lain. Menurut saya, penulis itu seharusnya rendah hati sehingga ia dapat menulis dengan jujur. Tanpa kejujuran, makna takkan didapat dari hasil karyanya.
Mengingat teenlit dan sastra banyak yang membedakan, sebenarnya pada dasarnya dua hal itu sama. Perbedaannya terletak pada penggambarannya. Teenlit, metropop, atau karya populer lainnya mampu menyuguhkan sebuah karya yang membuat pembacanya menjadi ingin tahu bagaimana alur dan akhir kisahnya. Sedangkan sastra murni selain memberikan informasi juga condong untuk mengajak pembacanya berpikir bahwa ada makna dan pesan tersirat di dalamnya.
Di luar perseteruan ragam karya sastra itu, setiap orang bisa melahirkan sebuah karya dari pemikirannya sendiri. Novel teenlit dan sejenisnya dapat dijadikan langkah awal sebagai motivasi dalam menulis dan membaca. Dunia menulis adalah sesuatu yang mencengangkan. Jika kita percaya, kita dapat mencobanya, dan kita akan menikmati hal-hal baru yang membuat diri ini semakin bangga.
Sulung Siti Hanum
10 Mei 2011
Hanya Ingin berbagi tentang buah pikiran
Hasil perbincangan dengan tiga penulis: Gus Tf Sakai (Sastrawan), Donna Rosamayna dan Esti Kinasih (penulis Teenlit), Maret 2006
Kata-kata dan Ide dapat Mengubah Dunia
Dead Poets Society. Sebuah film yang menceritakan mutu pendidikan di Amerika Serikat tahun 1950. Film ini menyuguhkan keprihatinan mata pelajaran sastra yang dianggap terbelakang dan belum menempati posisi yang sebanding dengan bidang sains. Film ini mampu mengorek sisi humanis penonton melalui emosi-emosi yang ditampilkan.
Dalam film yang diperankan oleh Robin Williams sebagai Mr. Keating ini membuka mata murid-murid sekolah Welton tentang keinginan, minat, dan bakat yang dimiliki oleh siswa. Mereka yang pada mulanya tergolak dengan bidang sains yang mampu meningkatkan nilai dan derajat keluarga, apalagi dengan bersekolah terbaik di Amerika Serikat saat itu, membuat setiap siswa Welton berlomba mendulang prestasi di sekolah. Tiada waktu untuk bermain, itulah prinsip yang tertanam di dalam diri setiap siswa. Di sini Mr. Keating muncul sebagai sosok yang mengajak siswanya untuk melihat sesuatu dari sisi lain. Keluar dari segala jalur yang telah terpola selama ini. Hal itu menumbuhkan spirit tersendiri dari siswanya untuk mulai berpikir tentang hal lain yang sebelumnya terkubur seiring peraturan ketat dari sekolah. Dengan hanya mengucapkan satu kata. ‘Carpediem’. Raihlah Kesempatan!
SIsi sastra yang lebih ditonjolkan dalam film tersebut telah mengajarkan bahwa kata dan ide mampu mengubah dunia. Sastra dijelaskan di sini sebagai suatu kemerdekaan berpikir sehingga tidak dibatasi oleh definisi.
Dead Poets Society sendiri diartikan sebagai masyarakat kematian puisi. Dari hal itu film ini ingin mengatakan kepada kita bahwa puisi adalah kehidupan, dan segala sesuatu membutuhkan kebebasan. Seperti kutipan dialog Mr. Keating, “Dengan imajinasi-lah manusia dapat hidup bebas sesuai pilihannya.” Dan melalui sastra hal itu dapat dituangkan.
Dari film yang dirilis tahun 1990 ini dapat disimpulkan bahwa menulis puisi tak hanya sekadar keindahan, tetapi karena kita umat manusia. Umat manusia punya gairah. Kita memiliki rasa, cipta, dan karsa, dan mulailah untuk memikirkan hal itu. Bagaimana pengajaran sastra dilihat dari kacamata pendidikan, telah dikupas habis di dalam film tersebut.
Ada pesan penting yang perlu direnungkan. Misalnya, Mr. Keating dalam sebuah kalimatnya saat mengajar mengatakan bahwa pendidikan itu sesungguhnya mengajarkan manusia untuk berpikir sendiri. Kemudian, di lain adegan, Keating guru yang atraktif dan inspiratif itu juga mengatakan, kata-kata dan ide dapat mengubah dunia.
Akhirnya, poinnya adalah Dead Poets Society , sebuah film yang sesungguhnya perlu ditonton oleh guru, orang tua, dan pengamat pendidikan.
Sulung Siti Hanum
(Arsip Juni 2006)
Dalam film yang diperankan oleh Robin Williams sebagai Mr. Keating ini membuka mata murid-murid sekolah Welton tentang keinginan, minat, dan bakat yang dimiliki oleh siswa. Mereka yang pada mulanya tergolak dengan bidang sains yang mampu meningkatkan nilai dan derajat keluarga, apalagi dengan bersekolah terbaik di Amerika Serikat saat itu, membuat setiap siswa Welton berlomba mendulang prestasi di sekolah. Tiada waktu untuk bermain, itulah prinsip yang tertanam di dalam diri setiap siswa. Di sini Mr. Keating muncul sebagai sosok yang mengajak siswanya untuk melihat sesuatu dari sisi lain. Keluar dari segala jalur yang telah terpola selama ini. Hal itu menumbuhkan spirit tersendiri dari siswanya untuk mulai berpikir tentang hal lain yang sebelumnya terkubur seiring peraturan ketat dari sekolah. Dengan hanya mengucapkan satu kata. ‘Carpediem’. Raihlah Kesempatan!
SIsi sastra yang lebih ditonjolkan dalam film tersebut telah mengajarkan bahwa kata dan ide mampu mengubah dunia. Sastra dijelaskan di sini sebagai suatu kemerdekaan berpikir sehingga tidak dibatasi oleh definisi.
Dead Poets Society sendiri diartikan sebagai masyarakat kematian puisi. Dari hal itu film ini ingin mengatakan kepada kita bahwa puisi adalah kehidupan, dan segala sesuatu membutuhkan kebebasan. Seperti kutipan dialog Mr. Keating, “Dengan imajinasi-lah manusia dapat hidup bebas sesuai pilihannya.” Dan melalui sastra hal itu dapat dituangkan.
Dari film yang dirilis tahun 1990 ini dapat disimpulkan bahwa menulis puisi tak hanya sekadar keindahan, tetapi karena kita umat manusia. Umat manusia punya gairah. Kita memiliki rasa, cipta, dan karsa, dan mulailah untuk memikirkan hal itu. Bagaimana pengajaran sastra dilihat dari kacamata pendidikan, telah dikupas habis di dalam film tersebut.
Ada pesan penting yang perlu direnungkan. Misalnya, Mr. Keating dalam sebuah kalimatnya saat mengajar mengatakan bahwa pendidikan itu sesungguhnya mengajarkan manusia untuk berpikir sendiri. Kemudian, di lain adegan, Keating guru yang atraktif dan inspiratif itu juga mengatakan, kata-kata dan ide dapat mengubah dunia.
Akhirnya, poinnya adalah Dead Poets Society , sebuah film yang sesungguhnya perlu ditonton oleh guru, orang tua, dan pengamat pendidikan.
Sulung Siti Hanum
(Arsip Juni 2006)
Memaknai Malam
Malam datang. Satu hari lagi telah dilalui. Tanpa disadari, banyak yang diperoleh dari satu hari ini. Tanpa terasa, dua belas jam pun berlalu. Matahari pulang, beristirahat. Malam datang tak sekadar menukar hari, membuat yang terang menjadi gelap. Namun, malam datang untuk meredakan segala kegiatan. Siang berlalu, energi pun banyak tersedot. Maka malam yang mampu mengobatinya. Ada efek udara yang membuat kantuk. Tak perlu dilawan. Ikuti saja arah mata saat terlelap. Siang begitu garang dengan dunia nyatanya, sedangkan malam penuh dengan mimpi.
Malam mampu membuaiku. Terlena dengan malam. Malam pun tak mau kalah dengan siang dalam mengumbar keindahannya. Ada warna-warni lampu menerangi. Gemerlapan. Lalu, ada jutaan gemintang yang menabur langit kelam. Kemilau bintang bak berlian yang berkilau sungguh indah untuk ditatap.
Malam mampu meredakan kegarangan. Malam seperti air yang mematikan api. Karena apa? Karena malam adalah antiklimaks dari emosi kita. Emosiku. Digantikan lelah dan ngantuk sebagai obatnya. Kenapa mesti malam? Ya, tinggal dipilih saja. Malam akan kita lalui seperti apa. Malam menawarkan berbagai pillihan sebelum pagi datang. Malam dapat dijadikan pelarian. Malam dapat pula menjadi tempat peraduan. Malam bukan berarti ketenangan, tetapi malam hanya meredam. Tinggal memilih, tetap tinggal untuk dibuai keindahannya, atau beranjak lelap untuk dibuai oleh mimpi dengan berjuta pesonanya.
Sulung Siti Hanum
9 Mei 2011
Malam mampu membuaiku. Terlena dengan malam. Malam pun tak mau kalah dengan siang dalam mengumbar keindahannya. Ada warna-warni lampu menerangi. Gemerlapan. Lalu, ada jutaan gemintang yang menabur langit kelam. Kemilau bintang bak berlian yang berkilau sungguh indah untuk ditatap.
Malam mampu meredakan kegarangan. Malam seperti air yang mematikan api. Karena apa? Karena malam adalah antiklimaks dari emosi kita. Emosiku. Digantikan lelah dan ngantuk sebagai obatnya. Kenapa mesti malam? Ya, tinggal dipilih saja. Malam akan kita lalui seperti apa. Malam menawarkan berbagai pillihan sebelum pagi datang. Malam dapat dijadikan pelarian. Malam dapat pula menjadi tempat peraduan. Malam bukan berarti ketenangan, tetapi malam hanya meredam. Tinggal memilih, tetap tinggal untuk dibuai keindahannya, atau beranjak lelap untuk dibuai oleh mimpi dengan berjuta pesonanya.
Sulung Siti Hanum
9 Mei 2011
Senin, 09 Mei 2011
Menapak Jejak Danau Singkarak
Perut Kenyang, Hati pun Senang (Perjalanan penuh Makan)
Ini bukan perjalanan pertama. Sekelompok kecil manusia yang ingin menjelajah, menyentuh dan mengecap udara yang lebih segar. Hasrat ini terlepas sudah, tak perlu lama berencana, dadakan pun jadi. Danau Singkarak yang dituju. Tak perlu ragu untuk penginapan, karena telah disiapkan tumpangan di sebuah rumah gadang milik salah satu teman.
Dua perjalanan dengan satu cerita. Perjalanan pertama pada awal tahun 2007. Tanpa berangan-angan untuk kembali lagi, lima tahun kemudian, tepatnya April 2011, kami mengulangin perjalanan yang sama. Menapaki jejak yang pernah kami toreh di jalanan sana. Tak sekadar keindahan yang dicari, tapi satu bulatan tekad untuk sebuah kebersamaan.
Untuk satu kata liburan, tak perlu mahal, tak perlu mewah, tak perlu banyak barang. Cukup dengan menikmati apa yang ada di sekitar kita. Itulah yang kami lakukan. Trip ke SIngkarak yang dua malam itu memuat kisah yang beragam. Ada kisah menarik yang dapat dikulik.
Tujuan perjalanan memang mengenang langkah yang pernah dijejakkan di sini lima tahun yang lalu. Dengan lokasi yang sama, penginapan yang sama, makanan yang sama tak membuat suasana menjadi membosankan. Selalu ada yang baru dibaliknya.
Begitu sampai, kami beristirahat sebentar seraya makan siang di rumah teman kami itu. Sorenya kami langsung ke dermaga. Saat itu dermaga danau sangat ramai dengan orang-orang yang juga sedang berlibur di sana. Kami duduk di pinggiran dermaga sambil melihat ikan bilih yang bergerombol. Aku kagum dengan sinar dari bukit yang mengelilingi danau. Itu adalah cahaya matahari membias di sela-sela awan. Angin kencang bertiup. Kupikir itu badai, tapi bukan. Itu cuma angin sore yang bertiup dari arah danau.
Sebelum magrib, perut yang lapar, kami mencari makan. Ada banyak pedagang yang berjualan. Tapi kami punya tempat langganan. Satu piring rujak dan satu mangkok bakso sudah dipesan. Ditemani dengan keripik balado, enam orang yang tengah kelaparan melahap kedua makanan itu sampai tak bersisa. Bukan kenyang yang dicari, tapi kebersamaan saat makan yang dirindukan dari perjalanan ini. Suasana penuh keakraban itu berakhir saat petang berganti malam. Rujak menjadi incaran ketika kami ke dermaga ini, karena memang dulu juga pernah disantap beramai-ramai saat trip Singkarak yang pertama.
Pulang dengan perut kenyang, hati pun senang. Malam datang, rumah gadang menjadi tempat peristirahatan. Dalam perjalanan, tak hentinya aku menatap langit. Langit ditaburi gemintang. Aku hanya bisa terkagum-kagum melihat langit malam itu. Rasanya ingin duduk di luar dan menikmati pemandangan yang langka itu. Namun, kami masih punya agenda selanjutnya. Malam terlalu sayang untuk dilewatkan dengan tidur. Oleh karena itu, kami mengeluarkan berbagai cemilan yang telah disiapkan sebelumnya, lalu mulai mengocok kartu. Sama dengan trip pertama, kami menghabiskan malam dengan canda-tawa dalam permainan. Bedanya, kalau dulu kartu remi, malam itu kami bermain kartu uno. Selebihnya sama, suasananya sama, lampu yang remang-remang, riuhnya, bahkan reward dan punishment-nya juga sama. Kami bermain hanya sampai tengah malam. Pikiran mulai keruh karena lelah dan mengantuk. Akhirnya kami menyerah dengan waktu, masing-masing mengambil posisi, siap dibuai oleh mimpi.
Pagi-pagi, meskipun keluhan di sana-sini karena masih mengantuk, kaki pun dilangkahkan keluar rumah. Tujuan kami pagi itu adalah panorama Singkarak di puncak bukit. Sambil bersenda gurau kecil, pelan-pelan kami mendaki bukit yang sebelumnya juga pernah kami tapaki. Awalnya pendakian berjalan lancer, tetapi di tengah jalan ada sedikit masalah. Badan mulai lelah. Panas semakin terik. Usut-diusut, ternyata pangkal masalahnya adalah perut yang belum diisi. Hanya ada dua pilihan, tetap mendaki dan meneruskan perjalanan, atau berbalik arah turun untuk mencari warung terdekat di bawah sana. Kami pun memilih untuk turun. Turun terasa lebih ringan dengan perut yang lapar, daripada mesti mendaki terus yang akan lebih menguras tenaga. Pendakian terhenti begitu saja. Matahari telah menguras semangat kami pagi itu. Tapi untung memang gampang diraih jika tekad awal telah bulat. Ada mobil lewat yang searah dengan perjalanan ke panorama. Sopirnya dengan senang hati memberi tumpangan kepada kami. Dalam beberapa menit, panorama sudah di depan mata. Ada warung kopi yang berdiri di sana. Kami beristirahat di sana sambil memesan teh manis hangat dan mie instan untuk mengganjal perut yang lapar.
Selesai makan, kami berjalan ke pinggir panorama. Ada jurang curam yang bermuara ke danau SIngkarak. Sangat sayang jika suasana saat itu tidak diabadikan dalam kamera. Puas bermain-main di panorama, saatnya kembali turun. Berbekal dua botol air mineral, kami meluncur turun bukit. Panas siang semakin membakar. Dua botol air mineral untuk dahaga lima orang terasa kurang ternyata. Tapi itulah indahnya berbagi. Berharap, begitu sampai rumah gadang, akan ada air menanti. Rasanya ingin menyelam di dalam danau. Oh, segarnya. Tapi saat itu, kami hanya diguyur oleh keringat.
Sesampai rumah gadang, kaki diselonjorkan. Air di kamar mandi menipis. Kami harus rela mengantre untuk mandi atau sekadar bersih-bersih. Istirahat siang itu harus diganggu oleh suara perut yang bernyanyi dan berkelontang.Pertanda sudah saatnya makan siang. Ibu dari teman kami itu telah menyiapkan makan siang. Santap siang bersama di hari yang terik seperti siang itu sungguh terasa sedapnya.
Selesai makan, kami mampir ke dermaga. Bersiap-siap untuk pulang ke Padang. Perjalanan pulang tak kalah menarik kisahnya. Sore-sore menunggu angkot untuk transit di kota Solok. Lalu, niat membeli es krim, tapi tergoda dengan sate periaman. Mampir dulu sejenak di Solok untuk makan sate. Setelah itu, perjalanan pun dilanjutkan. Minibus ke Padang sudah jarang. Sholat magrib di sebuah pom bensin, lalu menunggu keberuntungan ada relawan yang mau memberi tumpangan kepada kami malam itu. Harapan tak tinggal harapan. Ada mobil berhenti, sopirnya sedang mencari teman dalam perjalanan. Kami pun ditumpangi olehnya. Namun, malang, perjalanan malam itu tidak semulus yang diharapkan. Ternyata sopirnya jago balap. Berlomba-lomba memotong jalanan dengan truk-truk besar, serta travel liar yang memenuhi jalan ke arah Padang. Aku hanya bisa menghirup napas tertahan seraya menatap jalanan yang berkelok-kelok dan berlubang. Sebelah kanan bukit, sebelah kiri jurang, begitu sebaliknya. Si sopir mengemudi dengan seenaknya membanting stir kiri-kanan yang membuat seisi mobil ini berguncang. Pulang ke Padang dengan sopir pembalap liar nan “gila” itu sungguh menjadi akhir perjalanan kami. Yang tersisa hanya penat, dan beberapa di antara kami mengalami cidera betis.
Trip Singkarak kedua ini menjadi pengingat bahwa kami pernah melakukan perjalanan di sini sebelumnya. Selalu ada yang terasa kurang dan hilang. Yang kurang adalah tak sempat mengecap outbond yang ada di dermaga. Yang hilang adalah kesempatan makan durian bersama seperti trip pertama. Mudah-mudahan aka nada trip selanjutnya yang menggugah dan tak kalah berkesan dari perjalanan ini. Tentu saja dengan personil yang sama.
Walaupun perjalanan ini terbilang singkat, ada kesan yang ditinggalkannya. Kesan itu tertinggal di hati, dan masing-masing dapat memaknainya dengan cara berbeda. Bagiku, yang tersisa dari perjalanan itu adalah kebersamaannya, kerinduan akan alam, keakraban, dan keramahan khas urang awak. Aku merekamnya dalam tulisan ini. Makna itu hadir dalam kata-kata yang meluncur di sini.
Sulung Siti Hanum
9 Mei 2011
Mengenang perjalanan ke Singkarak 3-4 April 2011
Ini bukan perjalanan pertama. Sekelompok kecil manusia yang ingin menjelajah, menyentuh dan mengecap udara yang lebih segar. Hasrat ini terlepas sudah, tak perlu lama berencana, dadakan pun jadi. Danau Singkarak yang dituju. Tak perlu ragu untuk penginapan, karena telah disiapkan tumpangan di sebuah rumah gadang milik salah satu teman.
Dua perjalanan dengan satu cerita. Perjalanan pertama pada awal tahun 2007. Tanpa berangan-angan untuk kembali lagi, lima tahun kemudian, tepatnya April 2011, kami mengulangin perjalanan yang sama. Menapaki jejak yang pernah kami toreh di jalanan sana. Tak sekadar keindahan yang dicari, tapi satu bulatan tekad untuk sebuah kebersamaan.
Untuk satu kata liburan, tak perlu mahal, tak perlu mewah, tak perlu banyak barang. Cukup dengan menikmati apa yang ada di sekitar kita. Itulah yang kami lakukan. Trip ke SIngkarak yang dua malam itu memuat kisah yang beragam. Ada kisah menarik yang dapat dikulik.
Tujuan perjalanan memang mengenang langkah yang pernah dijejakkan di sini lima tahun yang lalu. Dengan lokasi yang sama, penginapan yang sama, makanan yang sama tak membuat suasana menjadi membosankan. Selalu ada yang baru dibaliknya.
Begitu sampai, kami beristirahat sebentar seraya makan siang di rumah teman kami itu. Sorenya kami langsung ke dermaga. Saat itu dermaga danau sangat ramai dengan orang-orang yang juga sedang berlibur di sana. Kami duduk di pinggiran dermaga sambil melihat ikan bilih yang bergerombol. Aku kagum dengan sinar dari bukit yang mengelilingi danau. Itu adalah cahaya matahari membias di sela-sela awan. Angin kencang bertiup. Kupikir itu badai, tapi bukan. Itu cuma angin sore yang bertiup dari arah danau.
Sebelum magrib, perut yang lapar, kami mencari makan. Ada banyak pedagang yang berjualan. Tapi kami punya tempat langganan. Satu piring rujak dan satu mangkok bakso sudah dipesan. Ditemani dengan keripik balado, enam orang yang tengah kelaparan melahap kedua makanan itu sampai tak bersisa. Bukan kenyang yang dicari, tapi kebersamaan saat makan yang dirindukan dari perjalanan ini. Suasana penuh keakraban itu berakhir saat petang berganti malam. Rujak menjadi incaran ketika kami ke dermaga ini, karena memang dulu juga pernah disantap beramai-ramai saat trip Singkarak yang pertama.
Pulang dengan perut kenyang, hati pun senang. Malam datang, rumah gadang menjadi tempat peristirahatan. Dalam perjalanan, tak hentinya aku menatap langit. Langit ditaburi gemintang. Aku hanya bisa terkagum-kagum melihat langit malam itu. Rasanya ingin duduk di luar dan menikmati pemandangan yang langka itu. Namun, kami masih punya agenda selanjutnya. Malam terlalu sayang untuk dilewatkan dengan tidur. Oleh karena itu, kami mengeluarkan berbagai cemilan yang telah disiapkan sebelumnya, lalu mulai mengocok kartu. Sama dengan trip pertama, kami menghabiskan malam dengan canda-tawa dalam permainan. Bedanya, kalau dulu kartu remi, malam itu kami bermain kartu uno. Selebihnya sama, suasananya sama, lampu yang remang-remang, riuhnya, bahkan reward dan punishment-nya juga sama. Kami bermain hanya sampai tengah malam. Pikiran mulai keruh karena lelah dan mengantuk. Akhirnya kami menyerah dengan waktu, masing-masing mengambil posisi, siap dibuai oleh mimpi.
Pagi-pagi, meskipun keluhan di sana-sini karena masih mengantuk, kaki pun dilangkahkan keluar rumah. Tujuan kami pagi itu adalah panorama Singkarak di puncak bukit. Sambil bersenda gurau kecil, pelan-pelan kami mendaki bukit yang sebelumnya juga pernah kami tapaki. Awalnya pendakian berjalan lancer, tetapi di tengah jalan ada sedikit masalah. Badan mulai lelah. Panas semakin terik. Usut-diusut, ternyata pangkal masalahnya adalah perut yang belum diisi. Hanya ada dua pilihan, tetap mendaki dan meneruskan perjalanan, atau berbalik arah turun untuk mencari warung terdekat di bawah sana. Kami pun memilih untuk turun. Turun terasa lebih ringan dengan perut yang lapar, daripada mesti mendaki terus yang akan lebih menguras tenaga. Pendakian terhenti begitu saja. Matahari telah menguras semangat kami pagi itu. Tapi untung memang gampang diraih jika tekad awal telah bulat. Ada mobil lewat yang searah dengan perjalanan ke panorama. Sopirnya dengan senang hati memberi tumpangan kepada kami. Dalam beberapa menit, panorama sudah di depan mata. Ada warung kopi yang berdiri di sana. Kami beristirahat di sana sambil memesan teh manis hangat dan mie instan untuk mengganjal perut yang lapar.
Selesai makan, kami berjalan ke pinggir panorama. Ada jurang curam yang bermuara ke danau SIngkarak. Sangat sayang jika suasana saat itu tidak diabadikan dalam kamera. Puas bermain-main di panorama, saatnya kembali turun. Berbekal dua botol air mineral, kami meluncur turun bukit. Panas siang semakin membakar. Dua botol air mineral untuk dahaga lima orang terasa kurang ternyata. Tapi itulah indahnya berbagi. Berharap, begitu sampai rumah gadang, akan ada air menanti. Rasanya ingin menyelam di dalam danau. Oh, segarnya. Tapi saat itu, kami hanya diguyur oleh keringat.
Sesampai rumah gadang, kaki diselonjorkan. Air di kamar mandi menipis. Kami harus rela mengantre untuk mandi atau sekadar bersih-bersih. Istirahat siang itu harus diganggu oleh suara perut yang bernyanyi dan berkelontang.Pertanda sudah saatnya makan siang. Ibu dari teman kami itu telah menyiapkan makan siang. Santap siang bersama di hari yang terik seperti siang itu sungguh terasa sedapnya.
Selesai makan, kami mampir ke dermaga. Bersiap-siap untuk pulang ke Padang. Perjalanan pulang tak kalah menarik kisahnya. Sore-sore menunggu angkot untuk transit di kota Solok. Lalu, niat membeli es krim, tapi tergoda dengan sate periaman. Mampir dulu sejenak di Solok untuk makan sate. Setelah itu, perjalanan pun dilanjutkan. Minibus ke Padang sudah jarang. Sholat magrib di sebuah pom bensin, lalu menunggu keberuntungan ada relawan yang mau memberi tumpangan kepada kami malam itu. Harapan tak tinggal harapan. Ada mobil berhenti, sopirnya sedang mencari teman dalam perjalanan. Kami pun ditumpangi olehnya. Namun, malang, perjalanan malam itu tidak semulus yang diharapkan. Ternyata sopirnya jago balap. Berlomba-lomba memotong jalanan dengan truk-truk besar, serta travel liar yang memenuhi jalan ke arah Padang. Aku hanya bisa menghirup napas tertahan seraya menatap jalanan yang berkelok-kelok dan berlubang. Sebelah kanan bukit, sebelah kiri jurang, begitu sebaliknya. Si sopir mengemudi dengan seenaknya membanting stir kiri-kanan yang membuat seisi mobil ini berguncang. Pulang ke Padang dengan sopir pembalap liar nan “gila” itu sungguh menjadi akhir perjalanan kami. Yang tersisa hanya penat, dan beberapa di antara kami mengalami cidera betis.
Trip Singkarak kedua ini menjadi pengingat bahwa kami pernah melakukan perjalanan di sini sebelumnya. Selalu ada yang terasa kurang dan hilang. Yang kurang adalah tak sempat mengecap outbond yang ada di dermaga. Yang hilang adalah kesempatan makan durian bersama seperti trip pertama. Mudah-mudahan aka nada trip selanjutnya yang menggugah dan tak kalah berkesan dari perjalanan ini. Tentu saja dengan personil yang sama.
Walaupun perjalanan ini terbilang singkat, ada kesan yang ditinggalkannya. Kesan itu tertinggal di hati, dan masing-masing dapat memaknainya dengan cara berbeda. Bagiku, yang tersisa dari perjalanan itu adalah kebersamaannya, kerinduan akan alam, keakraban, dan keramahan khas urang awak. Aku merekamnya dalam tulisan ini. Makna itu hadir dalam kata-kata yang meluncur di sini.
Sulung Siti Hanum
9 Mei 2011
Mengenang perjalanan ke Singkarak 3-4 April 2011
Minggu, 08 Mei 2011
Selamat Pagi Dunia
Sulung Siti Hanum
Setiap hari kita pasti bertemu dengan pagi. Pagi selalu menemani saat kita membuka mata. Dengan secercah harapan untuk hari ini, aku selalu berdoa pada pagi, semoga siang, sore, dan malam sama indahnya dengan pagi ini. Seperti apa pagi itu? Ada kisah menarik dari pagi.
Kokok ayam akan menjadi pertanda bahwa pagi ini telah datang. Matahari memang belum tampak, tapi udara segarnya, embun yang mencair di atas dedaunan, serta hewan-hewan pun telah gelisah menandakan pagi telah siap untuk menggantikan malam. Buat apa adanya pagi? Bagiku pagi memberi harapan. Setelah kepenatan hari kemarin, pagi memulai segalanya dari awal. Bismillah untuk pagi, segala doa dimulai di sini. Dalam Al Qur’an pun setelah usai sholat subuh kita dianjurkan untuk bertebaran di muka bumi. Tentu saja itu dimulai dari pagi. Udara pagi, kelembaban yang terkecap di lidah terasa dingin. Pagi membersihkan kotoran yang ditidurkan malam. Pagi dimulai, maka kehidupan pun diawali.
Aku yang terlelap pun akan terjaga saat udara menggelitik mata. Saat terjaga, mata dibuka, aku pun melihat dunia. Aku tau bahwa aku masih bernapas, jantungku masih berdegup seirama dengan denyut nadi di sekujur tubuhku. Banyak orang yang suka mengeluhkan pagi. Mengapa pagi datang terlalu cepat? Mengapa pagi selalu mengganggu tidur? Keluhan-keluhan itu diungkapkan dengan ekspresi kesal yang diwujudkan dengan menarik selimut hingga menutupi muka. Tapi tidak denganku. Aku mulai menyukai pagi. Karena pagi itu begitu tenang. Pagi itu begitu bersahabat. Pagi di setiap musim tak menjadi masalah untukku. Ada sesuatu di balik pagi. Aku tidak tau persis itu apa. Yang jelas saat ini aku senang dengan pagi, aku menyukainya seperti aku menyukai diriku sendiri. Pagi menemani kesendirianku. Pagi mampu mengungkap emosi-emosi dan perasaanku. Hingga aku pun tau, jika kita mengungkap emosi negatif sedari pagi, pagi takkan menghapus emosi itu sehingga kita tidak akan tenang satu hari ke depan. Namun, sebaliknya, energi positif yang kita bangun di pagi hari akan semakin kokoh saat siang menyerang, sore yang meredakan, hingga malam yang melelapkan. Akan selamanya seperti itu. Pagi membangun semuanya. Pagi tak hanya membangunkan mata dari tidur, tapi pagi juga membangunkan naga yang tertidur ddi dalam perut dan otak kita. Tergantung bagaimana kita mengisahkan pagi itu agar tetap menarik pada siang hari. Pagi memperlihatkan kebijaksanaannya padaku, bahwa hidup itu tak sekadar mengisahkan diri sendiri. Kita punya sesama. Aku mendengar kicau burung riuh rendah di samping rumah. Burung saja bisa menyapa pagi. Ayam-ayam pun sibuk berlarian di halaman, bebek-bebek siap berbaris teratur keluar dari kandangnya. Ada interaksi, komunikasi, dan sosialisasi yang terjadi. Tak ada gunanya kita memanjakan tidur yang hanya membuai mimpi. Kenapa kita tidak bangun lalu menyerap energi pagi untuk membangun pondasi untuk mimpi-mimpi kita? Aku tak mau lagi menyia-nyiakan pagi.
Ada sejuta harapan yang disimpan oleh pagi. Jangan mau rugi ditinggal pagi. Karena pagi yang manis tidak akan datang dua kali. Pagi memang datang setiap hari, tapi nilai rasanya akan berbeda. Jangan lewatkan setiap rasa yang ditawarkannya.
Menyapa pagi dengan kata.
8 Mei 2011
Setiap hari kita pasti bertemu dengan pagi. Pagi selalu menemani saat kita membuka mata. Dengan secercah harapan untuk hari ini, aku selalu berdoa pada pagi, semoga siang, sore, dan malam sama indahnya dengan pagi ini. Seperti apa pagi itu? Ada kisah menarik dari pagi.
Kokok ayam akan menjadi pertanda bahwa pagi ini telah datang. Matahari memang belum tampak, tapi udara segarnya, embun yang mencair di atas dedaunan, serta hewan-hewan pun telah gelisah menandakan pagi telah siap untuk menggantikan malam. Buat apa adanya pagi? Bagiku pagi memberi harapan. Setelah kepenatan hari kemarin, pagi memulai segalanya dari awal. Bismillah untuk pagi, segala doa dimulai di sini. Dalam Al Qur’an pun setelah usai sholat subuh kita dianjurkan untuk bertebaran di muka bumi. Tentu saja itu dimulai dari pagi. Udara pagi, kelembaban yang terkecap di lidah terasa dingin. Pagi membersihkan kotoran yang ditidurkan malam. Pagi dimulai, maka kehidupan pun diawali.
Aku yang terlelap pun akan terjaga saat udara menggelitik mata. Saat terjaga, mata dibuka, aku pun melihat dunia. Aku tau bahwa aku masih bernapas, jantungku masih berdegup seirama dengan denyut nadi di sekujur tubuhku. Banyak orang yang suka mengeluhkan pagi. Mengapa pagi datang terlalu cepat? Mengapa pagi selalu mengganggu tidur? Keluhan-keluhan itu diungkapkan dengan ekspresi kesal yang diwujudkan dengan menarik selimut hingga menutupi muka. Tapi tidak denganku. Aku mulai menyukai pagi. Karena pagi itu begitu tenang. Pagi itu begitu bersahabat. Pagi di setiap musim tak menjadi masalah untukku. Ada sesuatu di balik pagi. Aku tidak tau persis itu apa. Yang jelas saat ini aku senang dengan pagi, aku menyukainya seperti aku menyukai diriku sendiri. Pagi menemani kesendirianku. Pagi mampu mengungkap emosi-emosi dan perasaanku. Hingga aku pun tau, jika kita mengungkap emosi negatif sedari pagi, pagi takkan menghapus emosi itu sehingga kita tidak akan tenang satu hari ke depan. Namun, sebaliknya, energi positif yang kita bangun di pagi hari akan semakin kokoh saat siang menyerang, sore yang meredakan, hingga malam yang melelapkan. Akan selamanya seperti itu. Pagi membangun semuanya. Pagi tak hanya membangunkan mata dari tidur, tapi pagi juga membangunkan naga yang tertidur ddi dalam perut dan otak kita. Tergantung bagaimana kita mengisahkan pagi itu agar tetap menarik pada siang hari. Pagi memperlihatkan kebijaksanaannya padaku, bahwa hidup itu tak sekadar mengisahkan diri sendiri. Kita punya sesama. Aku mendengar kicau burung riuh rendah di samping rumah. Burung saja bisa menyapa pagi. Ayam-ayam pun sibuk berlarian di halaman, bebek-bebek siap berbaris teratur keluar dari kandangnya. Ada interaksi, komunikasi, dan sosialisasi yang terjadi. Tak ada gunanya kita memanjakan tidur yang hanya membuai mimpi. Kenapa kita tidak bangun lalu menyerap energi pagi untuk membangun pondasi untuk mimpi-mimpi kita? Aku tak mau lagi menyia-nyiakan pagi.
Ada sejuta harapan yang disimpan oleh pagi. Jangan mau rugi ditinggal pagi. Karena pagi yang manis tidak akan datang dua kali. Pagi memang datang setiap hari, tapi nilai rasanya akan berbeda. Jangan lewatkan setiap rasa yang ditawarkannya.
Menyapa pagi dengan kata.
8 Mei 2011
Senin, 03 Januari 2011
Sebuah catatan perjalanan
Saat itu penuh memori. Terniat dari lama dengan penuh semangat. Harap tak dapat, asa tetap tak putus. Harinya pun tiba. Hubungi kawan sana-sini. Dan kami pun siap berangkat.
Hingga tiba di sebuah kediaman tak berpenghuni. Menaruh harapan untuk hidup tiga hari. Memugar ruang menjadi nyaman. Memulai waktu dengan sejuta rencana untuk momen nan istimewa.
Petang telah sampai di penghujung. Tak sempat menyusuri negeri sekitar. Tapi rencana tetap bertahan. Arang siap dibakar untuk memanggang daging bertulang yang telah dipersiapkan. Sedikit tak puas. Api pun berpindah pada kembang-kembang yang bertaburan di langit bagai bintang. Kami melingkar saling menggenggam mengucap doa untuk hari depan. Bunyi-bunyi semarak berpadu di kelam malam hingga pagi menghampiri dan tak mau kehilangan momen itu.
Saat siang terjaga, terniat hati menyisiri rupa-rupa panorama. Lalu bersiap untuk perjalanan panjang yang akhirnya berpenghujung. Jalan-jalan setapak ditempuh demi satu tujuan. Susuri jalan yang tak dikenal. Terus melaju dengan semangat tinggi mencapai puncak. Tapi sedikit malang, jalan yang berliku itu semakin lama semakin sempit, curam, dan mencekam. Hingga akhirnya harus menuntun sepeda motor yang setia menemani langkah. Mengadu nyali untuk tak sekadar nekad.
Ala off road, kami menjajaki tanah yang entah milik siapa. Jalan yang entah ke mana ujungnya. Roda-roda terus berputar, berdecit saat pedal rem ditekan. Pertanda wahana semakin menguji. Ujian pertama telah terlewati saat bertemu jalan di keramaian. Tapi tak berapa waktu, mendung menggelayut. Tak urung, hutan dengan tujuh curug menjadi tujuan. Roda-roda pun diistirahatkan, berganti kaki yang menopang badan untuk jalan menginjak akar-akar licin yang berkelok. Mata air yang turun dari bukit mengucur dan mengalir. Itulah tempat tujuan yang dicari. Dingin mulai menggerogoti. Dikelilingi sejuta pohon yang menari-nari di tengah gerimis.
Saat matahari nyaris tak terlihat, roda-roda pun kembali berputar menggelinding ke atas di tengah jalanan yang penuh kendaraan. Mencari Rumah Allah yang berada di puncak sana. Kabut menebal, tapi tetap ditembus dengan penuh tekad. Langit tak berbintang dihibur dengan semarak kembang warna-warni dari serbuk mercon. Hujan sedikit demi sedikit membasahi tubuh. Angin pun tak mau kalah menembus hingga tulang. Badan menggigil, kulit tak berasa. Puncak terlihat dan kami pun berlindung di bawah keteduhan rumahNya yang megah. Saat hujan undur diri, kami menembus angin malam tanpa peduli dengan gemeletuk gigi dan rintihan tulang yang digigit malam. Yang ada hanya keinginan untuk menemukan peraduan.
Keberanian menelusuri jejak berbeda. Jalan yang melebar tapi sama mencekam. Pendakian, lika-liku aspal tetap disusuri tanpa cahaya. Jalan-jalan kosong, kadang berpenghuni, kadang tidak. Terus menerobos hingga kembali ke titik awal. Peraduan semakin dekat, bantal dan selimut telah menanti ditambah dengan kehangatan para kawan.
Sebuah catatan pengalaman perjalanan panjang dengan lika-liku seru.
Jakarta—Sentul—Puncak
Malam Pergantian Tahun
Sentul City, Curug Cilember, Masjid Attawun
Hingga tiba di sebuah kediaman tak berpenghuni. Menaruh harapan untuk hidup tiga hari. Memugar ruang menjadi nyaman. Memulai waktu dengan sejuta rencana untuk momen nan istimewa.
Petang telah sampai di penghujung. Tak sempat menyusuri negeri sekitar. Tapi rencana tetap bertahan. Arang siap dibakar untuk memanggang daging bertulang yang telah dipersiapkan. Sedikit tak puas. Api pun berpindah pada kembang-kembang yang bertaburan di langit bagai bintang. Kami melingkar saling menggenggam mengucap doa untuk hari depan. Bunyi-bunyi semarak berpadu di kelam malam hingga pagi menghampiri dan tak mau kehilangan momen itu.
Saat siang terjaga, terniat hati menyisiri rupa-rupa panorama. Lalu bersiap untuk perjalanan panjang yang akhirnya berpenghujung. Jalan-jalan setapak ditempuh demi satu tujuan. Susuri jalan yang tak dikenal. Terus melaju dengan semangat tinggi mencapai puncak. Tapi sedikit malang, jalan yang berliku itu semakin lama semakin sempit, curam, dan mencekam. Hingga akhirnya harus menuntun sepeda motor yang setia menemani langkah. Mengadu nyali untuk tak sekadar nekad.
Ala off road, kami menjajaki tanah yang entah milik siapa. Jalan yang entah ke mana ujungnya. Roda-roda terus berputar, berdecit saat pedal rem ditekan. Pertanda wahana semakin menguji. Ujian pertama telah terlewati saat bertemu jalan di keramaian. Tapi tak berapa waktu, mendung menggelayut. Tak urung, hutan dengan tujuh curug menjadi tujuan. Roda-roda pun diistirahatkan, berganti kaki yang menopang badan untuk jalan menginjak akar-akar licin yang berkelok. Mata air yang turun dari bukit mengucur dan mengalir. Itulah tempat tujuan yang dicari. Dingin mulai menggerogoti. Dikelilingi sejuta pohon yang menari-nari di tengah gerimis.
Saat matahari nyaris tak terlihat, roda-roda pun kembali berputar menggelinding ke atas di tengah jalanan yang penuh kendaraan. Mencari Rumah Allah yang berada di puncak sana. Kabut menebal, tapi tetap ditembus dengan penuh tekad. Langit tak berbintang dihibur dengan semarak kembang warna-warni dari serbuk mercon. Hujan sedikit demi sedikit membasahi tubuh. Angin pun tak mau kalah menembus hingga tulang. Badan menggigil, kulit tak berasa. Puncak terlihat dan kami pun berlindung di bawah keteduhan rumahNya yang megah. Saat hujan undur diri, kami menembus angin malam tanpa peduli dengan gemeletuk gigi dan rintihan tulang yang digigit malam. Yang ada hanya keinginan untuk menemukan peraduan.
Keberanian menelusuri jejak berbeda. Jalan yang melebar tapi sama mencekam. Pendakian, lika-liku aspal tetap disusuri tanpa cahaya. Jalan-jalan kosong, kadang berpenghuni, kadang tidak. Terus menerobos hingga kembali ke titik awal. Peraduan semakin dekat, bantal dan selimut telah menanti ditambah dengan kehangatan para kawan.
Sebuah catatan pengalaman perjalanan panjang dengan lika-liku seru.
Jakarta—Sentul—Puncak
Malam Pergantian Tahun
Sentul City, Curug Cilember, Masjid Attawun
Langganan:
Postingan (Atom)