Ibu,
aku sakit
aku ingin kau memelukku erat-erat
kuingin kau mengusap kepalaku perlahan-lahan
dan membisikkan doa-doa
--segala doa yang kau hafal dengan baik--
untuk kesembuhanku
Ibu,
aku sangat ingin...
Asep Sambodja, Citayem 23 Desember 2009
Bergetar hati ini ketika membaca larik demi larik tulisan Asep Sambodja yang kerap dipanggil Mas Asep ini. Tentang Ibu. Rindu pada ibu saat kita terbaring sakit. Dekapan hangat Ibu mampu menyembuhkan. Doanya pun sangat ampuh. Itu yang diharap seorang pesakitan, seperti yang dirasa Mas Asep yang kini sedang terkulai lemah.
Harap akan sosok ibu tak pernah hilang. Ada atau tiadanya seorang ibu itu, saat sakit, rindu itu datang menjelang. Ada asa untuk kesembuhan di balik ketiak ibu. Mendengar degup jantung ibu dalam dekapan terasa menenangkan. Bulu kuduk pun merinding karena belaiannya. Sakit pun akan cepat pulihnya.
Tergerak kembali untuk menggenggam memori tentang ibu. Membaca puisi ini seakan memberi wajah baru tentang arti seorang ibu. Peluk,usap,dan bisikannya. Itu yang hendak disampaikan dalam puisi ini. Begitu dalam menyiratkan kerinduan. Begitu berat sakit yang dirasakan. /Ibu, aku sakit/, /Ibu, aku sangat ingin.../.
Merinding ketika membayangkan sakit itu melemahkan. Sakit itu dapat meresahkan. Sakit itu juga mengembalikan kita ke saat kanak-kanak. Ketergantungan, rasa ingin didekap, dan hasrat ingin dimanja. Semua kembali pada ibu. Ibu, ibu, dan ibu. Bersama ibu kita dapat membagi rasa sakit itu. Dalam pelukan itu kita dapat mencari kesembuhan. Dalam usapan lembutnya kita dapat menemukan semangat untuk pulih. Segenap asa ada pada ibu. Dan dalam puisi ini, membaca puisi ini, lalu memaknai puisi ini, ada segenap asa pula untuk Mas Asep Sambojda.
Merenung dan berdoa.
"Indahmu tak seindah pikirmu, cerahmu tak secerah matamu. Tapi kau tahu kau salah, mengapa kau membisu?"
Senin, 15 November 2010
Segenap Asa dari Seorang Ibu
Minggu, 07 November 2010
Aku dan Puisi
Dulu orang mengatakanku aku tak bisa berpuisi
Apa puisi itu
Aku pun tak mengerti
Rupanya saja aku tak tahu
Lalu orang juga sempat berucap
Aku tak punya hati
Oleh karena itu tak bisa menggoreskan
Satu kata pun untuk puisi
Karena hati dan puisi saling terpaut
Aku pun mencari rantai pemautnya
Jika tak jua kutemukan
Artinya aku tak sehati dengan puisi
Lalu ini apa?
Aku menjawab, ini sebuah puisi
Apa puisi itu
Aku pun tak mengerti
Rupanya saja aku tak tahu
Lalu orang juga sempat berucap
Aku tak punya hati
Oleh karena itu tak bisa menggoreskan
Satu kata pun untuk puisi
Karena hati dan puisi saling terpaut
Aku pun mencari rantai pemautnya
Jika tak jua kutemukan
Artinya aku tak sehati dengan puisi
Lalu ini apa?
Aku menjawab, ini sebuah puisi
Aku hanya Satu Rupa di Dunia Penuh Warna
Aku bertanya pada dunia
Yang menjadikanku besar di jagad ini
Aku, raga, dan mata
Menatap apa yang dihadapkan pada kita
Mendengar apa yang diperdengarkan pada jiwa
Aku pun jengah
Ingin kusembelih batas warna pada cakrawala
Biru laut dan biru langit
Agar menyatu, agar berpadu
Menyulut rupa dunia
Dan aku pun dapat meraba
Lalu berkaca
Sungguh kecil yang dihadapkan
Begitu bau, begitu asam saat kukecap
Dan aku terjaga
Tercekat
Sadar bahwa dunia begitu berwarna
Dan aku hanya satu rupa
Yang menjadikanku besar di jagad ini
Aku, raga, dan mata
Menatap apa yang dihadapkan pada kita
Mendengar apa yang diperdengarkan pada jiwa
Aku pun jengah
Ingin kusembelih batas warna pada cakrawala
Biru laut dan biru langit
Agar menyatu, agar berpadu
Menyulut rupa dunia
Dan aku pun dapat meraba
Lalu berkaca
Sungguh kecil yang dihadapkan
Begitu bau, begitu asam saat kukecap
Dan aku terjaga
Tercekat
Sadar bahwa dunia begitu berwarna
Dan aku hanya satu rupa
Jumat, 05 November 2010
Kata Adalah Wakil Dunia
apa tak bisa diungkap?
akan terkatakan oleh kata
karena kata adalah wakil dunia
kata tak hanya sekadar deretan huruf
kata tak dapat hanya bungkam
kata pun berbicara
apa yang tidak terkatakan oleh jiwa
ketika jiwa merana, ada pesan dari kata
saat hati bahagia, ada pesan dari kata
kala terbelanga, kata pun ikut berperan
karena kata adalah wakil dunia
dan dunia akan berbicara pada kita
lewat kata
akan terkatakan oleh kata
karena kata adalah wakil dunia
kata tak hanya sekadar deretan huruf
kata tak dapat hanya bungkam
kata pun berbicara
apa yang tidak terkatakan oleh jiwa
ketika jiwa merana, ada pesan dari kata
saat hati bahagia, ada pesan dari kata
kala terbelanga, kata pun ikut berperan
karena kata adalah wakil dunia
dan dunia akan berbicara pada kita
lewat kata
Kamis, 04 November 2010
Mengecap Itu
Sulung Siti Hanum
Menyerap energi bumi
Memadu bersama angin
Gemerisik daun bernyanyi
Dan di sana aku berdiri
Menatap
Mengecap
Menghirup
Merasakan
Kutadahkan tangan menangkap udara
Mengecap dingin
Lalu kuhirup udara dalam genggaman
Kupastikan rasanya begitu manis
Bukan hambar seperti roti tawar
Atau pahit bagaikan kopi pekat
Kecapan itu masih terasa hingga kerongkongan
Rasa manisnya mengusir gusar yang bersembunyi di dada
Itulah aku
Dengan segala rasa
Kusadar bahwa angin pun memiliki rasa
Aromanya berbeda
Saat kulihat dari sisi yang tentu saja tak sama
Menyerap energi bumi
Memadu bersama angin
Gemerisik daun bernyanyi
Dan di sana aku berdiri
Menatap
Mengecap
Menghirup
Merasakan
Kutadahkan tangan menangkap udara
Mengecap dingin
Lalu kuhirup udara dalam genggaman
Kupastikan rasanya begitu manis
Bukan hambar seperti roti tawar
Atau pahit bagaikan kopi pekat
Kecapan itu masih terasa hingga kerongkongan
Rasa manisnya mengusir gusar yang bersembunyi di dada
Itulah aku
Dengan segala rasa
Kusadar bahwa angin pun memiliki rasa
Aromanya berbeda
Saat kulihat dari sisi yang tentu saja tak sama
Rabu, 03 November 2010
Dunia Nyata, Rekaan, dan Maya
Sulung Siti Hanum
(Sebuah Opini Lama)
Seperti apa hidup ini? Tergantung pribadi kita menjalaninya. Alur yang kita lalui, menghadapkan kita pada sebuah kenyataan hidup di dunia. Banyak orang menganggap hidup ini begitu pahit, itu jika digunakan oleh pikiran seorang dewasa. Semuanya serba susah. Belum lagi, untuk biaya hidup yang jumlahnya tidak sedikit. Tapi pernahkah kita terpikir, sebenarnya kita memiliki tiga dunia sekaligus dalam hidup ini?
Seiring bertambahnya usia, akan semakin kayalah kita dengan pengalaman. Namun tidak sedikit orang yang semakin lanjut umurnya, semakin garing hidupnya. Seolah tak punya rasa humor. Masa-masa belia yang dilalui terasa berupa kenangan masa lalu yang perlahan mulai pudar. Mungkin terlupa, kita punya imajinasi dan impian yang terus mengikuti langkah kita. Namun, tetap saja orang menganggap, daya khayal dan mimpi-mimpi yang kita miliki, akan mengganggu jalannya hidup dalam dunia nyata. Ini hanya berupa pelarian yang justru memperumit hidup. Nah, yang dipertanyakan, apakah memang benar demikian?
Para orang tua kadang jengkel dengan ulah anaknya seperti tidak peduli dengan sekitarnya. Bahkan mereka sering berkata, “Jangan mengkhayal terlalu tinggi. Kita hidup susah begini, eh, kamu malah asyik nonton TV atau buang-buang duit beli buku bergambar yang nggak jelas itu. Buat apa itu semua?” Apa yang bisa diperbuat si anak, selain menuruti ucapan orang tuanya. Andaikan saja orang dewasa bisa mengerti. Mereka hanya menilik kepada hal-hal yang masuk akal, sehingga pupus sudah impian dan khayalan tadi.
Logika saja, kita tidak bisa terus-terusan belajar hidup dari pengalaman. Oke, jika pengalaman itu sifatnya membangun. Tetapi, jika tidak…Kita butuh belajar dari hal lain.
Kita memiliki dua dunia lain yang mengiringi jalan hidup kita. Sebut saja, dunia rekaan dan dunia maya. Tampaknya tak bermakna sama sekali. Tapi coba dipikir, kita memiliki alam mimpi yang selalu datang ketika mulai memejamkan mata. Itu adalah sebuah dunia. Lalu, ketika kita sedang gandrung-gandrungnya menonton sebuah serial drama di televisi, itu merupakan sebuah dunia baru yang direkayasa sendiri oleh sang sutradara. Tanpa diasadari dunia itu membawa empati bagi penikmatnya. Dan ketika kita membaca novel, seolah kita terbawa dalam suasana yang diangkat si penulis lewat tutur bahasanya. Apalagi namanya itu kalau bukan dunia rekaan yang berasal dari imajinasi. Memang tidak berguna dilihat sekilas. Hiburan? Bolehlah.
Bisa dibilang kita banyak belajar dari dunia khayalan yang kita reka-reka sendiri. Kita tidak mungkin terus menjalani hidup, melangkah maju di dunia nyata, tanpa menggubris suara kepala yang tetap memanggil untuk membuka pintu khayalan. Apakah kita mengubur khayalan itu begitu saja, padahal banyak gunanya, lho. Bukan sekarang Sebenarnya tanpa disadari, kita telah masuk ke dunia rekaan tersebut. Menonton, membaca, melamun, merencanakan sesuatu, itu kan hanya sebuah rekaan belaka.
Lain lagi dengan dunia maya. Perkembangan teknologi begitu pesatnya di era modern ini. Ditambah lagi dengan masuknya globalisasi dalam ruang lingkup kehidupan kita, membuat jarak dan waktu bukan lagi hambatan. Salah satunya, kita difasilitasi sistem informasi yang bisa menjelajahi sampai ke pelosok dunia nan jauh di sana, hanya dengan meng-klik tombol mouse dengan ujung jari. Dalam kedipan mata, dunia seakan berada dalam genggaman. Walaupun itu hanya sebuah dunia cyber. Semu. Maya. Tidak nyata, tetapi banyak yang kita dapat. Asyiknya dunia di ujung jari itu memang begitu.
Banyak yang bilang, dunia maya itu penuh tipuan, dan ada pula yang mengungkapkan dunia maya itu sebuah kawasan penuh khayalan dan memperkaya imajinasi. Terserah bagaimana persepsi orang menilainya. Namun memang tidak terelakkan lagi, jika pada kenyataannya, terfokus pada remaja dan pelajar, bisa dibilang tidak ada yang tidak kenal dengan internet. Bahkan, selain mencari informasi, mereka banyak mendapat teman yang tinggalnya entah dimana. Tetapi bisa berbagi pengalaman. Tersedia juga berbagai fasilitas di dalamnya, layaknya organisasi di dunia nyata. Sama halnya dengan ponsel. Tiba-tiba ada yang missed call dari nomor tak dikenal. Eh, nantinya justru bisa menjadi teman, paling tidak ada yang diistilahkan sebagai secret admirer. Sebenarnya dunia maya termasuk dunia nyata. Medianya saja yang maya. Informasi dapat diperoleh dari berbagai sumber yang tersebar, dan cukup diakses di depan satu layar monitor.
Coba dibayangkan, walaupun dua dunia itu tidak benar-benar ada, tetapi justru karena itulah ia dibutuhkan. Kita perlu penyegaran dalam hidup. Kita perlu mengadakan perjalanan menembus kedua dunia tersebut, bolak-balik dari dunia nyata ke dunia maya dan rekaan. Dalam dunia nyata, kita disuguhi berbagai macam aturan hidup, serta begitu banyak pilihan. Langkah yang telah kita ambil, tak dapat dikembalikan. Tetapi kita dapat kembali berulang ke masa lampau dengan bantuan dunia rekaan. Siapa bilang, mesin waktu tak pernah ada? Buktinya, kita bisa melangkah menembus waktu, kembali ke masa lampau, belajar dari peristiwa lalu yang bisa didapat dari dunia maya ataupun dunia imajinasi. Selain itu, kita juga bisa melangkah jauh ke masa depan, hanya dengan khayalan tingkat tinggi manusia yang berpola pikir maju. Mungkin dari situlah, dikembangkan penemuan-penemuan baru. Layaknya Newton dengan teori gravitasinya, hanya dengan sebuah apel yang jatuh menimpa kepalanya, kemudian timbul tanda tanya besar di otaknya yang menggiringnya menuju dunia imajinasi. Dan hasilnya, menjadi nyata, kan?
Ada sumber yang mengatakan melalui teori mimesis. Di dalam dunia rekaan itu, apa yang terjadi di dunia nyata bisa ‘diulang’ lagi, dan dunia ‘replay’ itu bisa terus-menerus diulang setiap kali kita memasuki dunia rekaan, hingga kita bisa memaknainya dalam sebuah arti. Ini berarti, dunia rekaan dan sekaligus dunia maya juga menampilkan hal yang tidak tampak dalam dunia nyata. Hal yang tidak bisa kita temui dalam alur kehidupan yang tampak nyata. Hal yang tidak bisa diketahui hanya dengan mengandalkan penglihatan yang kasat mata.
Yah, kalau kita hanya menjalani hidup ‘lurus-lurus’ saja, mau jadi apa kita? Sebagai anak, kita kembali lagi ke dalam masalah anak dan orang tua. Memang, orang tua ingin yang terbaik buat anaknya. Namun apa yang dipikirkan orang tua tidak sama dengan perkembangan pemikiran anaknya. Begitu juga bagi remaja yang sekaligus mengemban tugas sebagai pelajar yang masih harus banyak belajar. Bukan berarti ini kita menentang prinsip orang tua, tetapi ini hanya sebuah perbedaan pengertian saja.
Tidak selayaknya kita meninggalkan dua dunia itu, karena memang akan selalu mendampingi kita terus. Mau tidak mau.
Anggap saja dunia maya dan rekaan ini sebagai pelengkap dalam hidup di dunia nyata. Setidaknya bisa menjadi bumbu yang bermanfaat, penghilang stres dan hiburan. Tidak sepenuhnya hidup kita penuh kemelut. Langkah yang terasa layu, bisa lebih crispy. Jalanan yang hambar, bisa menjadi asin. Kehidupan yang sedemikian pahit, akan berubah menjadi lebih manis. Hal itu bisa dirasakan dengan hadirnya dunia kedua dan ketiga yang mengiringi dunia pertama.
(Sebuah Opini Lama)
Seperti apa hidup ini? Tergantung pribadi kita menjalaninya. Alur yang kita lalui, menghadapkan kita pada sebuah kenyataan hidup di dunia. Banyak orang menganggap hidup ini begitu pahit, itu jika digunakan oleh pikiran seorang dewasa. Semuanya serba susah. Belum lagi, untuk biaya hidup yang jumlahnya tidak sedikit. Tapi pernahkah kita terpikir, sebenarnya kita memiliki tiga dunia sekaligus dalam hidup ini?
Seiring bertambahnya usia, akan semakin kayalah kita dengan pengalaman. Namun tidak sedikit orang yang semakin lanjut umurnya, semakin garing hidupnya. Seolah tak punya rasa humor. Masa-masa belia yang dilalui terasa berupa kenangan masa lalu yang perlahan mulai pudar. Mungkin terlupa, kita punya imajinasi dan impian yang terus mengikuti langkah kita. Namun, tetap saja orang menganggap, daya khayal dan mimpi-mimpi yang kita miliki, akan mengganggu jalannya hidup dalam dunia nyata. Ini hanya berupa pelarian yang justru memperumit hidup. Nah, yang dipertanyakan, apakah memang benar demikian?
Para orang tua kadang jengkel dengan ulah anaknya seperti tidak peduli dengan sekitarnya. Bahkan mereka sering berkata, “Jangan mengkhayal terlalu tinggi. Kita hidup susah begini, eh, kamu malah asyik nonton TV atau buang-buang duit beli buku bergambar yang nggak jelas itu. Buat apa itu semua?” Apa yang bisa diperbuat si anak, selain menuruti ucapan orang tuanya. Andaikan saja orang dewasa bisa mengerti. Mereka hanya menilik kepada hal-hal yang masuk akal, sehingga pupus sudah impian dan khayalan tadi.
Logika saja, kita tidak bisa terus-terusan belajar hidup dari pengalaman. Oke, jika pengalaman itu sifatnya membangun. Tetapi, jika tidak…Kita butuh belajar dari hal lain.
Kita memiliki dua dunia lain yang mengiringi jalan hidup kita. Sebut saja, dunia rekaan dan dunia maya. Tampaknya tak bermakna sama sekali. Tapi coba dipikir, kita memiliki alam mimpi yang selalu datang ketika mulai memejamkan mata. Itu adalah sebuah dunia. Lalu, ketika kita sedang gandrung-gandrungnya menonton sebuah serial drama di televisi, itu merupakan sebuah dunia baru yang direkayasa sendiri oleh sang sutradara. Tanpa diasadari dunia itu membawa empati bagi penikmatnya. Dan ketika kita membaca novel, seolah kita terbawa dalam suasana yang diangkat si penulis lewat tutur bahasanya. Apalagi namanya itu kalau bukan dunia rekaan yang berasal dari imajinasi. Memang tidak berguna dilihat sekilas. Hiburan? Bolehlah.
Bisa dibilang kita banyak belajar dari dunia khayalan yang kita reka-reka sendiri. Kita tidak mungkin terus menjalani hidup, melangkah maju di dunia nyata, tanpa menggubris suara kepala yang tetap memanggil untuk membuka pintu khayalan. Apakah kita mengubur khayalan itu begitu saja, padahal banyak gunanya, lho. Bukan sekarang Sebenarnya tanpa disadari, kita telah masuk ke dunia rekaan tersebut. Menonton, membaca, melamun, merencanakan sesuatu, itu kan hanya sebuah rekaan belaka.
Lain lagi dengan dunia maya. Perkembangan teknologi begitu pesatnya di era modern ini. Ditambah lagi dengan masuknya globalisasi dalam ruang lingkup kehidupan kita, membuat jarak dan waktu bukan lagi hambatan. Salah satunya, kita difasilitasi sistem informasi yang bisa menjelajahi sampai ke pelosok dunia nan jauh di sana, hanya dengan meng-klik tombol mouse dengan ujung jari. Dalam kedipan mata, dunia seakan berada dalam genggaman. Walaupun itu hanya sebuah dunia cyber. Semu. Maya. Tidak nyata, tetapi banyak yang kita dapat. Asyiknya dunia di ujung jari itu memang begitu.
Banyak yang bilang, dunia maya itu penuh tipuan, dan ada pula yang mengungkapkan dunia maya itu sebuah kawasan penuh khayalan dan memperkaya imajinasi. Terserah bagaimana persepsi orang menilainya. Namun memang tidak terelakkan lagi, jika pada kenyataannya, terfokus pada remaja dan pelajar, bisa dibilang tidak ada yang tidak kenal dengan internet. Bahkan, selain mencari informasi, mereka banyak mendapat teman yang tinggalnya entah dimana. Tetapi bisa berbagi pengalaman. Tersedia juga berbagai fasilitas di dalamnya, layaknya organisasi di dunia nyata. Sama halnya dengan ponsel. Tiba-tiba ada yang missed call dari nomor tak dikenal. Eh, nantinya justru bisa menjadi teman, paling tidak ada yang diistilahkan sebagai secret admirer. Sebenarnya dunia maya termasuk dunia nyata. Medianya saja yang maya. Informasi dapat diperoleh dari berbagai sumber yang tersebar, dan cukup diakses di depan satu layar monitor.
Coba dibayangkan, walaupun dua dunia itu tidak benar-benar ada, tetapi justru karena itulah ia dibutuhkan. Kita perlu penyegaran dalam hidup. Kita perlu mengadakan perjalanan menembus kedua dunia tersebut, bolak-balik dari dunia nyata ke dunia maya dan rekaan. Dalam dunia nyata, kita disuguhi berbagai macam aturan hidup, serta begitu banyak pilihan. Langkah yang telah kita ambil, tak dapat dikembalikan. Tetapi kita dapat kembali berulang ke masa lampau dengan bantuan dunia rekaan. Siapa bilang, mesin waktu tak pernah ada? Buktinya, kita bisa melangkah menembus waktu, kembali ke masa lampau, belajar dari peristiwa lalu yang bisa didapat dari dunia maya ataupun dunia imajinasi. Selain itu, kita juga bisa melangkah jauh ke masa depan, hanya dengan khayalan tingkat tinggi manusia yang berpola pikir maju. Mungkin dari situlah, dikembangkan penemuan-penemuan baru. Layaknya Newton dengan teori gravitasinya, hanya dengan sebuah apel yang jatuh menimpa kepalanya, kemudian timbul tanda tanya besar di otaknya yang menggiringnya menuju dunia imajinasi. Dan hasilnya, menjadi nyata, kan?
Ada sumber yang mengatakan melalui teori mimesis. Di dalam dunia rekaan itu, apa yang terjadi di dunia nyata bisa ‘diulang’ lagi, dan dunia ‘replay’ itu bisa terus-menerus diulang setiap kali kita memasuki dunia rekaan, hingga kita bisa memaknainya dalam sebuah arti. Ini berarti, dunia rekaan dan sekaligus dunia maya juga menampilkan hal yang tidak tampak dalam dunia nyata. Hal yang tidak bisa kita temui dalam alur kehidupan yang tampak nyata. Hal yang tidak bisa diketahui hanya dengan mengandalkan penglihatan yang kasat mata.
Yah, kalau kita hanya menjalani hidup ‘lurus-lurus’ saja, mau jadi apa kita? Sebagai anak, kita kembali lagi ke dalam masalah anak dan orang tua. Memang, orang tua ingin yang terbaik buat anaknya. Namun apa yang dipikirkan orang tua tidak sama dengan perkembangan pemikiran anaknya. Begitu juga bagi remaja yang sekaligus mengemban tugas sebagai pelajar yang masih harus banyak belajar. Bukan berarti ini kita menentang prinsip orang tua, tetapi ini hanya sebuah perbedaan pengertian saja.
Tidak selayaknya kita meninggalkan dua dunia itu, karena memang akan selalu mendampingi kita terus. Mau tidak mau.
Anggap saja dunia maya dan rekaan ini sebagai pelengkap dalam hidup di dunia nyata. Setidaknya bisa menjadi bumbu yang bermanfaat, penghilang stres dan hiburan. Tidak sepenuhnya hidup kita penuh kemelut. Langkah yang terasa layu, bisa lebih crispy. Jalanan yang hambar, bisa menjadi asin. Kehidupan yang sedemikian pahit, akan berubah menjadi lebih manis. Hal itu bisa dirasakan dengan hadirnya dunia kedua dan ketiga yang mengiringi dunia pertama.
Belajar untuk Tidak Belajar
Sulung Siti Hanum
(Sebuah tulisan lama)
Setiap orang pasti memiliki rasa bosan. Dan kebosanan itu akan sampai pada puncaknya ketika kita melakukan sesuatu terus-menerus tanpa ada perubahan. Ibarat kita makan dengan menu yang sama setiap hari akan timbul rasa bosan terhadap makanan tersebut. Sama halnya dengan sekolah. Sekarang setiap anak di Indonesia diwajibkan bersekolah selama 12 tahun. Dalam tempo yang dirasakan cukup lama itu, berapa kalikah kita merasa kalau sekolah memang lembaga pendidikan yang betul-betul menyenangkan, layaknya masa taman kanak-kanak?!
Jika dipikirkan lagi, 12 tahun bukanlah waktu yang singkat. Terbayang oleh kita bagaimana waktu dihabiskan di gedung sekolah dengan kegiatan belajar mengajar, plus sistem yang tidak berubah. Dalam tahun-tahun itu, kita dapat mengenal karakter guru yang berbeda, sehingga seiring berkembangnya pola pikir, kita pun mulai jenuh dengan cara penyajian pelajaran yang cenderung bersifat text book.
Suasana kelas menjadi sangat membosankan. Pola pengajarannya masih monoton dengan disuguhi wacana-wacana dan teori tanpa ada prakteknya secara langsung. Dengan santai guru-guru menerangkan pelajaran di depan kelas seolah berpidato hingga jam pelajaran usai. Mereka tidak mempedulikan apakah siswanya benar-benar menyimak dengan baik. Mereka menganggap semuanya telah mengerti dengan materi ajarnya. Namun persepsi itu melenceng. Jangankan mengerti, mendengarkan saja bak masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Yang didapat dari siswanya justru muka keruh dengan mata yang mulai mengantuk bagaikan mendengar dongeng sebelum tidur. Dan sayangnya dari sisi siswa sendiri jarang memprotes hal itu. Kami dari kecil memang sudah dididik seperti itu, mematuhi apa yang dikatakan guru tidak peduli salah dan benarnya, serta menghormati mereka yang lama-kelamaan tertuang dalam wujud rasa takut. Takut dimarahi lantaran akan disangkut-pautkan dengan nilai rapor.
Sebagai pelajar, kami tinggal duduk di kelas mendengar penjelasan guru kemudian membawa pulang setumpuk pekerjaan rumah. Paham tidak paham itu urusan nanti. Dengan diberikan tugas yang banyak, pelajar akan tetap terfokus pada pelajaran di sekolah dan tidak ada waktu untuk bermain. Masuk akal memang. Tetapi menurut saya itu tidaklah efektif, apalagi bagi pelajar yang baru saja menginjak usia remaja. Masing-masing anak memiliki motivator berbeda terhadap apa yang mereka jalani. Dan tidak ada yang berhak merampasnya atau menggantinya secara paksa. Tugas-tugas yang harus diselesaikan di rumah dalam tempo yang terbilang singkat, akan mengurangi waktu senggang yang biasa digunakan untuk kegiatan ekstrakurikuler. Seharusnya para guru menyadari hal itu. Saya menangkap maksud sebagian guru tersebut bahwa hal non- akademis itu tidak terlalu penting yang akan membuang waktu dan mengganggu konsentrasi belajar. Saya rasa itu suatu tindakan yang egois. Jika setiap pelajar hanya memikirkan hal yang berhubungan dengan pelajaran di sekolah, tanpa diimbangi dengan sesuatu yang dapat memacu potensi diri, kapan kita berkembangnya. Bukan zamannya lagi kita didikte atau diceramahi.
Saya juga berkesimpulan guru-guru telah menghambat kreativitas siswanya di luar hal akademis. Mereka seakan mematok pelajar untuk terus belajar tanpa banyak menuntut. Yang menjadi acuan tetaplah sang juara kelas dan siswa berprestasi bidang akademis sehingga mendapat perhatian lebih dari para guru, sehingga siswa lainnya tidak jarang terlupakan. Apakah seperti itu sistem yang dijalani sekarang? Kalau begitu berlakulah hukum rimba, yang pandai akan terus maju, sedangkan yang bodoh akan semakin terbelakang.
Pada dasarnya, selain mengajar, tugas guru juga mendidik prilaku siswanya dari yang kurang ajar menjadi sosok terpelajar. Namanya juga lembaga pendidikan. Memang itulah yang diutamakan. Tetapi sayang, selama saya mengecap asam garam pendidikan selama 11 tahun lebih ini, hanya sedikit guru yang benar-benar menjalankan tugasnya sebagai pengajar sekaligus pendidik. Kebanyakan yang ditemukan hanya tenaga pengajar saja bukan tenaga pendidik. Itu pun tidak maksimal. Saya mendapat gambaran, secara tidak langsung guru telah meyakinkan kita bahwa belajar merupakan pekerjaan berat yang mesti dipikul. Mau tidak mau kita harus menerimanya. Tentu saja itu hal yang menjengkelkan. Kami bersekolah untuk mencari ilmu pengetahuan dengan nuansa baru, mendapatkan sesuatu yang menarik tanpa ada beban. Tetapi pada kenyataannya sekolah menjadi tempat yang ’payah’ dan membosankan. Kita seolah tidak diberi kesempatan untuk belajar dengan menyenangkan dan kaya pengalaman unik. Padahal semua itu akan terus dijalani selama sekian tahun ke depan. Jadi tidak salah jika kami belajar untuk tidak belajar.
Bayangkan, 12 tahun lamanya kita bergumul dengan buku-buku pelajaran serta guru-guru yang bersikap dengan cara tertentu. Setiap guru pasti memiliki trik tersendiri dalam mengajar. Mereka menginginkan yang terbaik dari siswanya. Saya pahami itu. Tapi apakah para guru sudah benar-benar mengenal siswanya, sehingga dapat terjalin kecocokan antara keduanya?! Saya yakin tidak sebaik itu. Terkadang guru berusaha menciptakan suasana menyenangkan dalam belajar. Bisa dibilang berhasil pada hari-hari pertama. Namun berikutnya trik tersebut terasa ’garing’ atau ’basi’. Mungkin karena metodenya tidak bervariasi. Mau menciptakan suasana seperti apapun, ujung-ujungnya juga menjelaskan pelajaran dengan cara yang membosankan. Keasyikan belajar pun menjadi hilang yang berupa intermezo sesaat saja.
Di samping itu ada juga guru yang mengajar tanpa senyum. Mereka menganggap keseriusan belajarlah yang terpenting, yaitu dengan duduk tenang sambil memperhatikan guru menjelaskan pelajaran, tidak ngobrol dengan teman, dan mengerjakan tugas dalam kondisi diam. Tidak ada tawa, celoteh, ataupun lelucon. Guru seperti itu yang biasa dijuluki ’guru killer’. Semua terlihat kaku.
Sekarang kurikulum telah berganti dengan nama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Dengan sistem ini diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, KBK menuntut keaktifan pelajar dalam PBM 60% sedangkan guru bertindak sebagai pembimbing. Di sini pelajar bisa sedikit lebih leluasa. Namun bagaimana jalannya KBK itu masih dalam tanda tanya besar. Jangankan pelajar, guru sendiri tidak mengerti apa yang disebut KBK. Bagaimana kita bisa belajar dengan baik jika guru saja tidak tahu apa yang mesti dilakukan.
Dilihat dari konsepnya, tampaknya KBK lebih asyik, sedangkan dalam prakteknya, KBK masih tidak ubahnya kurikulum lama. Hanya ruang lingkup materi ajarnya yang sedikit berbeda. Minimnya peran guru di dalam kelas, justru banyak yang diselewengkan. Guru sekedar duduk-duduk saja memperhatikan siswanya berdiskusi, kemudian dengan gampangnya memberikan tugas studi pustaka disertai indikator tertulis. Dan nanti langsung diadakan ulangan hariannya tanpa mendapat penjelasan yang lebih detail dari guru. Lagipula diterangkan pun di kelas jarang yang masuk ke kepala. Penjelasan guru lebih cenderung bersifat wacana, sedangkan aplikasinya, pelajar yang mengembangkan sendiri. Benar-benar memusingkan. Banyak di antara siswa yang mengeluhkan KBK hanya menambah beban. Tugas-tugas bertumpuk daripada sebelumnya.
Mungkin cara pandang guru dengan siswanya berbeda. Ada yang merasa cocok dan ada pula yang tidak cocok. Di situlah tantangan bagi seorang guru. Dengan mengenal siswanya lebih dekat maka guru-guru akan tahu bidang yang diminati siswa serta cara berpikir dan karakter mereka. Kami tidak bisa tahu bagaimana orang dewasa berpikir termasuk guru, karena kita dibatasi oleh usia dan pola pikir yang berbeda, tetapi guru-guru salah kalau mereka melupakan bagaimana rasanya jadi anak muda.
(Sebuah tulisan lama)
Setiap orang pasti memiliki rasa bosan. Dan kebosanan itu akan sampai pada puncaknya ketika kita melakukan sesuatu terus-menerus tanpa ada perubahan. Ibarat kita makan dengan menu yang sama setiap hari akan timbul rasa bosan terhadap makanan tersebut. Sama halnya dengan sekolah. Sekarang setiap anak di Indonesia diwajibkan bersekolah selama 12 tahun. Dalam tempo yang dirasakan cukup lama itu, berapa kalikah kita merasa kalau sekolah memang lembaga pendidikan yang betul-betul menyenangkan, layaknya masa taman kanak-kanak?!
Jika dipikirkan lagi, 12 tahun bukanlah waktu yang singkat. Terbayang oleh kita bagaimana waktu dihabiskan di gedung sekolah dengan kegiatan belajar mengajar, plus sistem yang tidak berubah. Dalam tahun-tahun itu, kita dapat mengenal karakter guru yang berbeda, sehingga seiring berkembangnya pola pikir, kita pun mulai jenuh dengan cara penyajian pelajaran yang cenderung bersifat text book.
Suasana kelas menjadi sangat membosankan. Pola pengajarannya masih monoton dengan disuguhi wacana-wacana dan teori tanpa ada prakteknya secara langsung. Dengan santai guru-guru menerangkan pelajaran di depan kelas seolah berpidato hingga jam pelajaran usai. Mereka tidak mempedulikan apakah siswanya benar-benar menyimak dengan baik. Mereka menganggap semuanya telah mengerti dengan materi ajarnya. Namun persepsi itu melenceng. Jangankan mengerti, mendengarkan saja bak masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Yang didapat dari siswanya justru muka keruh dengan mata yang mulai mengantuk bagaikan mendengar dongeng sebelum tidur. Dan sayangnya dari sisi siswa sendiri jarang memprotes hal itu. Kami dari kecil memang sudah dididik seperti itu, mematuhi apa yang dikatakan guru tidak peduli salah dan benarnya, serta menghormati mereka yang lama-kelamaan tertuang dalam wujud rasa takut. Takut dimarahi lantaran akan disangkut-pautkan dengan nilai rapor.
Sebagai pelajar, kami tinggal duduk di kelas mendengar penjelasan guru kemudian membawa pulang setumpuk pekerjaan rumah. Paham tidak paham itu urusan nanti. Dengan diberikan tugas yang banyak, pelajar akan tetap terfokus pada pelajaran di sekolah dan tidak ada waktu untuk bermain. Masuk akal memang. Tetapi menurut saya itu tidaklah efektif, apalagi bagi pelajar yang baru saja menginjak usia remaja. Masing-masing anak memiliki motivator berbeda terhadap apa yang mereka jalani. Dan tidak ada yang berhak merampasnya atau menggantinya secara paksa. Tugas-tugas yang harus diselesaikan di rumah dalam tempo yang terbilang singkat, akan mengurangi waktu senggang yang biasa digunakan untuk kegiatan ekstrakurikuler. Seharusnya para guru menyadari hal itu. Saya menangkap maksud sebagian guru tersebut bahwa hal non- akademis itu tidak terlalu penting yang akan membuang waktu dan mengganggu konsentrasi belajar. Saya rasa itu suatu tindakan yang egois. Jika setiap pelajar hanya memikirkan hal yang berhubungan dengan pelajaran di sekolah, tanpa diimbangi dengan sesuatu yang dapat memacu potensi diri, kapan kita berkembangnya. Bukan zamannya lagi kita didikte atau diceramahi.
Saya juga berkesimpulan guru-guru telah menghambat kreativitas siswanya di luar hal akademis. Mereka seakan mematok pelajar untuk terus belajar tanpa banyak menuntut. Yang menjadi acuan tetaplah sang juara kelas dan siswa berprestasi bidang akademis sehingga mendapat perhatian lebih dari para guru, sehingga siswa lainnya tidak jarang terlupakan. Apakah seperti itu sistem yang dijalani sekarang? Kalau begitu berlakulah hukum rimba, yang pandai akan terus maju, sedangkan yang bodoh akan semakin terbelakang.
Pada dasarnya, selain mengajar, tugas guru juga mendidik prilaku siswanya dari yang kurang ajar menjadi sosok terpelajar. Namanya juga lembaga pendidikan. Memang itulah yang diutamakan. Tetapi sayang, selama saya mengecap asam garam pendidikan selama 11 tahun lebih ini, hanya sedikit guru yang benar-benar menjalankan tugasnya sebagai pengajar sekaligus pendidik. Kebanyakan yang ditemukan hanya tenaga pengajar saja bukan tenaga pendidik. Itu pun tidak maksimal. Saya mendapat gambaran, secara tidak langsung guru telah meyakinkan kita bahwa belajar merupakan pekerjaan berat yang mesti dipikul. Mau tidak mau kita harus menerimanya. Tentu saja itu hal yang menjengkelkan. Kami bersekolah untuk mencari ilmu pengetahuan dengan nuansa baru, mendapatkan sesuatu yang menarik tanpa ada beban. Tetapi pada kenyataannya sekolah menjadi tempat yang ’payah’ dan membosankan. Kita seolah tidak diberi kesempatan untuk belajar dengan menyenangkan dan kaya pengalaman unik. Padahal semua itu akan terus dijalani selama sekian tahun ke depan. Jadi tidak salah jika kami belajar untuk tidak belajar.
Bayangkan, 12 tahun lamanya kita bergumul dengan buku-buku pelajaran serta guru-guru yang bersikap dengan cara tertentu. Setiap guru pasti memiliki trik tersendiri dalam mengajar. Mereka menginginkan yang terbaik dari siswanya. Saya pahami itu. Tapi apakah para guru sudah benar-benar mengenal siswanya, sehingga dapat terjalin kecocokan antara keduanya?! Saya yakin tidak sebaik itu. Terkadang guru berusaha menciptakan suasana menyenangkan dalam belajar. Bisa dibilang berhasil pada hari-hari pertama. Namun berikutnya trik tersebut terasa ’garing’ atau ’basi’. Mungkin karena metodenya tidak bervariasi. Mau menciptakan suasana seperti apapun, ujung-ujungnya juga menjelaskan pelajaran dengan cara yang membosankan. Keasyikan belajar pun menjadi hilang yang berupa intermezo sesaat saja.
Di samping itu ada juga guru yang mengajar tanpa senyum. Mereka menganggap keseriusan belajarlah yang terpenting, yaitu dengan duduk tenang sambil memperhatikan guru menjelaskan pelajaran, tidak ngobrol dengan teman, dan mengerjakan tugas dalam kondisi diam. Tidak ada tawa, celoteh, ataupun lelucon. Guru seperti itu yang biasa dijuluki ’guru killer’. Semua terlihat kaku.
Sekarang kurikulum telah berganti dengan nama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Dengan sistem ini diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, KBK menuntut keaktifan pelajar dalam PBM 60% sedangkan guru bertindak sebagai pembimbing. Di sini pelajar bisa sedikit lebih leluasa. Namun bagaimana jalannya KBK itu masih dalam tanda tanya besar. Jangankan pelajar, guru sendiri tidak mengerti apa yang disebut KBK. Bagaimana kita bisa belajar dengan baik jika guru saja tidak tahu apa yang mesti dilakukan.
Dilihat dari konsepnya, tampaknya KBK lebih asyik, sedangkan dalam prakteknya, KBK masih tidak ubahnya kurikulum lama. Hanya ruang lingkup materi ajarnya yang sedikit berbeda. Minimnya peran guru di dalam kelas, justru banyak yang diselewengkan. Guru sekedar duduk-duduk saja memperhatikan siswanya berdiskusi, kemudian dengan gampangnya memberikan tugas studi pustaka disertai indikator tertulis. Dan nanti langsung diadakan ulangan hariannya tanpa mendapat penjelasan yang lebih detail dari guru. Lagipula diterangkan pun di kelas jarang yang masuk ke kepala. Penjelasan guru lebih cenderung bersifat wacana, sedangkan aplikasinya, pelajar yang mengembangkan sendiri. Benar-benar memusingkan. Banyak di antara siswa yang mengeluhkan KBK hanya menambah beban. Tugas-tugas bertumpuk daripada sebelumnya.
Mungkin cara pandang guru dengan siswanya berbeda. Ada yang merasa cocok dan ada pula yang tidak cocok. Di situlah tantangan bagi seorang guru. Dengan mengenal siswanya lebih dekat maka guru-guru akan tahu bidang yang diminati siswa serta cara berpikir dan karakter mereka. Kami tidak bisa tahu bagaimana orang dewasa berpikir termasuk guru, karena kita dibatasi oleh usia dan pola pikir yang berbeda, tetapi guru-guru salah kalau mereka melupakan bagaimana rasanya jadi anak muda.
Kamis, 28 Oktober 2010
Gemulai, bukan Lunglai
Aku bermimpi tentang sebuah kisah.
Kisah yang jelas terekam di benakku.
Waktu itu aku menari.
Bak balerina, gemulai meregangkan seluruh ototnya.
Berputar, menjinjit, melompat dengan indahnya.
Aku merasakan kebebasan.
Meskipun tak ada potensi balet, aku terus bergerak.
Bergerak
itulah kuncinya
Aku terus bergerak
Balerina melakukan gerak tubuh yang indah
memukau semua orang
dengan tampilannya yang optimis
gemulai, bukan lunglai
dan itulah aku
Tak mau disebut lunglai
Aku hadir di sini untuk berkarya
karena itu aku dilahirkan
bergerak menjadi acuanku
bak balerina, punya karya dibalik otot-ototnya yang lemas
Aku pun merenung
Mimpi itu datang untuk melecutku
melalui balet, baju senam, dan sepatu pipih
Kisah yang jelas terekam di benakku.
Waktu itu aku menari.
Bak balerina, gemulai meregangkan seluruh ototnya.
Berputar, menjinjit, melompat dengan indahnya.
Aku merasakan kebebasan.
Meskipun tak ada potensi balet, aku terus bergerak.
Bergerak
itulah kuncinya
Aku terus bergerak
Balerina melakukan gerak tubuh yang indah
memukau semua orang
dengan tampilannya yang optimis
gemulai, bukan lunglai
dan itulah aku
Tak mau disebut lunglai
Aku hadir di sini untuk berkarya
karena itu aku dilahirkan
bergerak menjadi acuanku
bak balerina, punya karya dibalik otot-ototnya yang lemas
Aku pun merenung
Mimpi itu datang untuk melecutku
melalui balet, baju senam, dan sepatu pipih
Sebuah Akhir yang Akhirnya Datang Juga
Dulu aku pernah berpikir tentang sebuah akhir. Sebelum ini pun aku pernah menulis tentang sebuh akhir, bukan akhir karena berakhir, melainkan akhir untuk sesuatu yang saat ini telah selesai dan akan mulai sesuatu yang lain. Aku harus menyadari bahwa akhir itu pasti ada. Bahwa aku akan kehilangan sesuatu.
Saat ini kurasakan kembali. Satu per satu selesai dan pergi. Antara meninggalkan atau ditinggalkan. Itu hanya masalah waktu, karena akhir itu telah datang menjemput yang pernah ada bersamaku.
Ini bukan raungan kesedihan. Ini adalah sebuah apresiasi untuk orang-orang yang pernah hadir di sekitarku. Kita menginjak bumi yang sama tetapi akan menghirup kesejukan udara yang berbeda. Semoga kita bisa melangkah ke tujuan masing-masing. Dan akan kembali suatu saat nanti.
Saat ini kurasakan kembali. Satu per satu selesai dan pergi. Antara meninggalkan atau ditinggalkan. Itu hanya masalah waktu, karena akhir itu telah datang menjemput yang pernah ada bersamaku.
Ini bukan raungan kesedihan. Ini adalah sebuah apresiasi untuk orang-orang yang pernah hadir di sekitarku. Kita menginjak bumi yang sama tetapi akan menghirup kesejukan udara yang berbeda. Semoga kita bisa melangkah ke tujuan masing-masing. Dan akan kembali suatu saat nanti.
Sindrom Apa Ini
Sindrom apa ini ya? Aku pun tak mengerti. badan panas dingin, jantung berdebar-debar, perut mules, otak tidak tersusun dengan rapi, perasaan campur aduk.
Aku lupa apakah aku pernah mengalami sindrom seperti ini sebelumnya? yang aku tahu, saat ini, aku sedang menunggu. Esok penentuan. Sebuah hari yang seharusnya menjadi puncak kepenatanku dalam beberapa bulan terakhir ini. Aku bahkan tidak tahu, apakah hari itu benar-benar kunantikan.
Di satu sisi, aku senang akhirnya hari itu tiba, karena setelah itu hari-hari akan terlihat berbeda. Tapi di sisi lain, aku juga tidak mampu menatap dunia yang terlampau lebar nantinya. Aku juga akan menanggalkan status sebagai seorang akademia, meninggalkan berjuta kesan yang memberikan banyak pelajaran.
Aku harus siap menatap hari esok. Hari yang membuatku tak sempat untuk berteriak senang dan meratap sedih karena aku berada di tengah-tengahnya.
Untuk keluarga, saudara, teman, dan semua orang yang pernah bermakna di dalam hidupku, terima kasih.
Aku lupa apakah aku pernah mengalami sindrom seperti ini sebelumnya? yang aku tahu, saat ini, aku sedang menunggu. Esok penentuan. Sebuah hari yang seharusnya menjadi puncak kepenatanku dalam beberapa bulan terakhir ini. Aku bahkan tidak tahu, apakah hari itu benar-benar kunantikan.
Di satu sisi, aku senang akhirnya hari itu tiba, karena setelah itu hari-hari akan terlihat berbeda. Tapi di sisi lain, aku juga tidak mampu menatap dunia yang terlampau lebar nantinya. Aku juga akan menanggalkan status sebagai seorang akademia, meninggalkan berjuta kesan yang memberikan banyak pelajaran.
Aku harus siap menatap hari esok. Hari yang membuatku tak sempat untuk berteriak senang dan meratap sedih karena aku berada di tengah-tengahnya.
Untuk keluarga, saudara, teman, dan semua orang yang pernah bermakna di dalam hidupku, terima kasih.
Sahabat, Lalu, dan Lagu
Meminjam kata seorang teman, sahabat itu adalah masa kini dan masa depan. Lalu bagaimana dengan masa lalu? Sahabatlah yang akan menyimpan serpih-serpih masa lalu itu.
Lalu buat apa sahabat itu? Sahabat itu sengaja dikirimkan untukmu dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tapi, apakah benar? Lalu mengapa orang-orang banyak tak mengerti dengan kehadiran sehabat itu? Yang pasti kulihat, kita semua mengahadapi banyak hal yang berbeda sesuai kadar diri masing-masing. Satu hal yang sama, bahwa dalam setiap masalah itu, ada keinginan untuk tertawa. Setiap orang punya hal berbeda yang dihadapi, tapi kita masih tetap memiliki rasa ingin tertawa yang sama. Hidup terlalu rumit untuk dimengerti, mengerutkan dahi, dan memeras otak untuk berpikir. Seperti kata Deddy Mizwar, “Negara ini sudah terlalu seram dan kejam, jadi lebih baik kita tertawakan saja kebodohan-kebodohan itu.” Alangkah lucunya negeri ini.
Begitu juga dengan sahabat. Sahabat menjadi tempat tertawa bersama, tempat berkeluh kesah, dan tempat untuk berdiam tanpa kata. Bersama sahabat, kita menertawakan kebodohan, kekonyolan, dan kekurangan. Bersama sahabat pula, tangisan itu ada. Dan akhirnya dengan sahabat pula kita diam seribu bahasa untuk menghadirkan jarak dan menjadikannya bermakna. Sejauh apa kita dapat menghargai seorang sahabat? Seberapa pentingkah itu? Kita berkelana dulu dalam larik-larik penuh makna yang pernah mengudara.
Salah satunya kutipan lagu Ipang, Sahabat Kecil.
/Melawan keterbatasan walau sedikit kemungkinan, takkan menyerah untuk hadapi, hingga sedih tak mau datang lagi, bersamamu kuhabiskan waktu, senang bisa mengenal dirimu, rasanya semua begitu sempurna, sayang untuk mengakhirinya, janganlah berganti, tetaplah seperti ini./
Petikan kata yang mengundang perenungan tentang hadirnya orang-orang terdekat. Senang bisa mengenal dirimu. Senang bisa mengenal kalian. Mengenalmu , maka aku mengenal diriku.
Lalu, ada pula petikan makna dari lagu Sherina, Kubahagia.
/Walau makan susah, walau hidup susah, walau tuk senyum pun susah, rasa syukur ini karena bersamamu juga susah dilupakan, oh kubahagia./
Seberat apa pun rintangan yang dihadapi, kita akan selalu bersyukur. Mungkin syukur itu tidak muncul sekarang, karena syukur itu akan muncul bersama hikmah. Bersyukur karena sahabat akan selalu ada.
Lalu, mari lihat kutipan Arti Sahabat dari Nidji.
/Kau masih berdiri, kita masih di sini, tunjukkan pada dunia arti sahabat. Kau teman sehati, kita teman sejati, hadapilah dunia, genggam tanganku. Kau adalah tempatku membagi kisahku. Kau sempurna, jadi bagian hidupku, apapun kekuranganmu./
Tangan sahabat sangat berharga, bahu sahabat pun ada untuk kita. Semua kekurangan ini akan tertutupi dengan adanya orang-orang terdekat. Semua akan menjadi sempurna dengan kehadiran mereka.
Lalu, intip sedikit lirik lagu Gigi, Sang Pemimpi.
/Raih tanganku jika kau ragu. Bila terjatuh ku kan menjaga. Kita telah berjanji bersama taklukan dunia ini. Menghadapi segala tantangan bersama , mengejar mimpi-mimpi. Bersyukurlah pada yang Maha Kuasa, hargailah orang-orang yang menyayangimu, yang selalu ada, setia di sisimu. Siapapun jangan kau pernah sakiti, dalam pencarian jati dirimu dan semua yang kau impikan./
Mengenal lebih banyak orang di luar sana, maka kita akan mengenal bagaimana caranya menghargai. Bukanlah pelajaran budi pekerti, agama, atau kewarganegaraan saat zaman sekolah dulu yang mengajarkan harga-menghargai. Cara menghargai itu akan didapat dari alam, dari manusia utusan Tuhan untuk menjadi orang terdekat kita. Sepantasnya kita menghargai orang-orang yang menyayangi kita meski tak secara wujud ada di sampingmu, karena proses jati diri itu dimulai dari diri dan lingkungan sekitar. Sahabat pun akan berperan untuk itu.
Lalu, seberapa pentingkah kau untukku? Sejauh musik yang mengalun, larik yang menyatu dalam bait, lagu yang menjadikannya indah? Jawabannya, selama itu masih mengetuk jiwa ini, maka kau, kamu, kalian, mereka akan selalu penting untukku.
Lalu buat apa sahabat itu? Sahabat itu sengaja dikirimkan untukmu dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tapi, apakah benar? Lalu mengapa orang-orang banyak tak mengerti dengan kehadiran sehabat itu? Yang pasti kulihat, kita semua mengahadapi banyak hal yang berbeda sesuai kadar diri masing-masing. Satu hal yang sama, bahwa dalam setiap masalah itu, ada keinginan untuk tertawa. Setiap orang punya hal berbeda yang dihadapi, tapi kita masih tetap memiliki rasa ingin tertawa yang sama. Hidup terlalu rumit untuk dimengerti, mengerutkan dahi, dan memeras otak untuk berpikir. Seperti kata Deddy Mizwar, “Negara ini sudah terlalu seram dan kejam, jadi lebih baik kita tertawakan saja kebodohan-kebodohan itu.” Alangkah lucunya negeri ini.
Begitu juga dengan sahabat. Sahabat menjadi tempat tertawa bersama, tempat berkeluh kesah, dan tempat untuk berdiam tanpa kata. Bersama sahabat, kita menertawakan kebodohan, kekonyolan, dan kekurangan. Bersama sahabat pula, tangisan itu ada. Dan akhirnya dengan sahabat pula kita diam seribu bahasa untuk menghadirkan jarak dan menjadikannya bermakna. Sejauh apa kita dapat menghargai seorang sahabat? Seberapa pentingkah itu? Kita berkelana dulu dalam larik-larik penuh makna yang pernah mengudara.
Salah satunya kutipan lagu Ipang, Sahabat Kecil.
/Melawan keterbatasan walau sedikit kemungkinan, takkan menyerah untuk hadapi, hingga sedih tak mau datang lagi, bersamamu kuhabiskan waktu, senang bisa mengenal dirimu, rasanya semua begitu sempurna, sayang untuk mengakhirinya, janganlah berganti, tetaplah seperti ini./
Petikan kata yang mengundang perenungan tentang hadirnya orang-orang terdekat. Senang bisa mengenal dirimu. Senang bisa mengenal kalian. Mengenalmu , maka aku mengenal diriku.
Lalu, ada pula petikan makna dari lagu Sherina, Kubahagia.
/Walau makan susah, walau hidup susah, walau tuk senyum pun susah, rasa syukur ini karena bersamamu juga susah dilupakan, oh kubahagia./
Seberat apa pun rintangan yang dihadapi, kita akan selalu bersyukur. Mungkin syukur itu tidak muncul sekarang, karena syukur itu akan muncul bersama hikmah. Bersyukur karena sahabat akan selalu ada.
Lalu, mari lihat kutipan Arti Sahabat dari Nidji.
/Kau masih berdiri, kita masih di sini, tunjukkan pada dunia arti sahabat. Kau teman sehati, kita teman sejati, hadapilah dunia, genggam tanganku. Kau adalah tempatku membagi kisahku. Kau sempurna, jadi bagian hidupku, apapun kekuranganmu./
Tangan sahabat sangat berharga, bahu sahabat pun ada untuk kita. Semua kekurangan ini akan tertutupi dengan adanya orang-orang terdekat. Semua akan menjadi sempurna dengan kehadiran mereka.
Lalu, intip sedikit lirik lagu Gigi, Sang Pemimpi.
/Raih tanganku jika kau ragu. Bila terjatuh ku kan menjaga. Kita telah berjanji bersama taklukan dunia ini. Menghadapi segala tantangan bersama , mengejar mimpi-mimpi. Bersyukurlah pada yang Maha Kuasa, hargailah orang-orang yang menyayangimu, yang selalu ada, setia di sisimu. Siapapun jangan kau pernah sakiti, dalam pencarian jati dirimu dan semua yang kau impikan./
Mengenal lebih banyak orang di luar sana, maka kita akan mengenal bagaimana caranya menghargai. Bukanlah pelajaran budi pekerti, agama, atau kewarganegaraan saat zaman sekolah dulu yang mengajarkan harga-menghargai. Cara menghargai itu akan didapat dari alam, dari manusia utusan Tuhan untuk menjadi orang terdekat kita. Sepantasnya kita menghargai orang-orang yang menyayangi kita meski tak secara wujud ada di sampingmu, karena proses jati diri itu dimulai dari diri dan lingkungan sekitar. Sahabat pun akan berperan untuk itu.
Lalu, seberapa pentingkah kau untukku? Sejauh musik yang mengalun, larik yang menyatu dalam bait, lagu yang menjadikannya indah? Jawabannya, selama itu masih mengetuk jiwa ini, maka kau, kamu, kalian, mereka akan selalu penting untukku.
Akhir itu
Ada banyak kisah tertoreh saat kita menyadari bahwa akhir semakin dekat. Duduk bersama, jalan bersama, dan tertawa bersama. Selalu tersembur pernik kisah yang membuat tubuh bergetar menahan tawa. Menertawai kehidupan, menertawai kekonyolan, menertawai diri sendiri. Seorang atau sekelompok teman akan selalu hadir untuk menemani. Mereka tidak akan menertawakan, tetapi akan mengajak kita untuk tertawa bersama. Itu makna yang kuperoleh saat –saat menjelang akhir ini.
Beberapa bulan terakhir, waktu kuhabiskan bersama mereka, teman-temanku. Orang-orang yang selalu mengerti, orang-orang yang memiliki impian yang sama untuk beberapa bulan ke depan, dan sama-sama berjuang untuk itu. Saat-saat akhir ini terasa begitu berharga dan terasa sempurna bersama mereka.
Kekonyolan itu telah menjadi satu bersama kami. Berbagai cerita mengisi hari-hari, berbagai canda mengisi sore yang redup. Tak peduli akhir itu akan memisahkan kami. Yang kuketahui akhir itu akan kulalui bersama mereka. Akhir itu tidak akan terasa indah jika konyol tak jadi datang. Aku bersyukur menjelang akhir, ku bisa mengenal mereka. Mengenal konyol lebih dekat. Mengenakan pakaian siang dan sore secara bergantian. Membuatku tak bosan menghadapi kesulitan hidup.
Beberapa bulan terakhir, waktu kuhabiskan bersama mereka, teman-temanku. Orang-orang yang selalu mengerti, orang-orang yang memiliki impian yang sama untuk beberapa bulan ke depan, dan sama-sama berjuang untuk itu. Saat-saat akhir ini terasa begitu berharga dan terasa sempurna bersama mereka.
Kekonyolan itu telah menjadi satu bersama kami. Berbagai cerita mengisi hari-hari, berbagai canda mengisi sore yang redup. Tak peduli akhir itu akan memisahkan kami. Yang kuketahui akhir itu akan kulalui bersama mereka. Akhir itu tidak akan terasa indah jika konyol tak jadi datang. Aku bersyukur menjelang akhir, ku bisa mengenal mereka. Mengenal konyol lebih dekat. Mengenakan pakaian siang dan sore secara bergantian. Membuatku tak bosan menghadapi kesulitan hidup.
Tergelitik untuk Mengenang
Tak terasa langkah menapak semakin berat. Jalanan semakin kasar. Tapi kita belumlah mencapai gerbang itu. Masih terkungkung dalam istana pendidikan. Sang surya tetap saja tak lelah menemani derap kaki kita mengunjungi pengalaman demi pengalaman. Bulan pun selalu turun sebagai penghibur hati, pelipur lara dari panasnya surya.
Hari ini kudendangkan. Sebuah lagu ingin kunyanyikan. Dengan mendengar irama alam, mengilas balik, menoleh ke belakang, mencari penghidupan lama untuk dijadikan lentera. Kukulik halaman dan halaman penuh goresan. Lembar-lembar yang ringan tapi padat. Ada kisah menarik dari plot hidup ini.
Goresan rapi satu lembaran yang telah menguning. Penuh coretan tapi memiliki isian bermakna. Kuawali jejak itu dengan Bismillah.
Ingatkan sebuah kisah seperti ini?
“Sekarang keluarkan kertas tugas kalian!” ujar seorang guru akuntansi di sebuah kelas sosial.
Bunyi keresek kertas folio memenuhi ruang kelas yang mungil itu, disambut dengan desahan beberapa mulut yang tidak membawa kertas tugas mereka.
“Siapa yang tidak bawa? Tulis nama kalian di kertas kecil, taruh di meja saya,” kata guru itu dengan mimik serius. Dalam diam, beberapa anak saling memandang dongkol. “Saya menyediakan kertas folio untuk kalian yang tidak bawa. Nih, bagikan!” tambah guru tersebut.
Guru akuntansi itu mengambil spidol dari dalam tempat pensilnya. Ia mulai menulis tabel-tabel jurnal di papan tulis. Ia berujar, “Silakan salin tabel ini. Nanti saya akan bacakan soal untuk kalian.”
Perempuan setengah baya itu pun selesai menggambar tabelnya, kemudian membacakan serentetan kasus hitungan dalam bentuk soal cerita. Kelas kembali hening, hanya kerutan di kening para siswa yang berbicara. Wajar mereka bingung, mereka tentu saja belum mengerti dengan materi baru. Perempuan bertubuh gemuk yang menjadi guru itu hanya duduk di balik mejanya menunggu para siswa memecahkan soal yang diberikan. Dia hanya menunggu. Tanpa senyum. Tanpa ekspresi.
“Ayo, siapa yang berani menulis hasil pekerjaannya di papan tulis? Sebelumnya tukarkan kertas tugas kalian dengan teman sebelah untuk diperiksa dan mengurangi kecurangan. Ayo, cepat!” seru Ibu guru itu beberapa menit kemudian.
Ketegangan kelas berkurang ketika ada seorang siswa yang berjalan ke depan. Teman-temannya hanya dapat memperhatikan sederetan angka yang ditulis anak itu di papan tulis. Senyum pun tersungging dari bibir perempuan setengah baya yang tegak di sampingnya.
Atau pernah mengatakan ini?
Gadis itu mengibas kunciran rambutnya yang lurus. Sambil menepis gerah, ia berpaling ke arah pintu yang menyambut hawa panas dari luar. “Aku baru selesai ujian. Sungguh melelahkan tugas-tugasnya. Waktu 24 jam saja kurang untukku.”
Hmm…bisa jadi mengeluh seperti ini.
Ada dua jenis air muka yang tersirat dari wajah-wajah pemuda berseragam putih abu-abu itu. Pertama, air muka bingung karena tidak paham sama sekali dengan materi yang dijelaskan. Kedua, air muka paham, tapi ragu untuk bertanya. Semuanya duduk dengan kaku. Guru mereka pun tidak berusaha memecah ketegangan. Dia hanya menghela napas, kemudian duduk kembali di bangkunya. “Baiklah, karena tidak ada yang bertanya, silakan kalian buka buku halaman 125! Kerjakan tugas nomor satu dan dua untuk PR kalian. Kertas tugas tadi tolong dikumpul,” ujar Guru tersebut sembari mulai meninggalkan kelas.
“Ah, andai saja kita dapat melakukan perubahan,” khayal seorang siswa perempuan berambut keriting.
“Kita tidak punya kekuasaan untuk itu. Ada yang bilang, jika ingin mengubah sistem, kita harus masuk ke dalam sistem itu. Kamu berniat jadi kepala sekolah?” ledek temannya.
Yeah, tergelitikku ketika lembaran itu dibuka kembali. Kertas yang telah menguning pun menjadi sejarah panjang perjalanan hidup. Mengulik, mengintip, mengenang, menyegarkan memori yang telah hilang dapat membuat kita kembali hidup. Musik alam dan irama kehidupan berpadu menjadi sonata. Senandung lincah nan ringan berpola menjadi suatu warna akan kayanya pengharapan.
Buka lembar baru. Dengan tinta terbaik dari kita. Selimut kebodohan masa lalu dan ketakutan masa depan harus dihenyakkan. Berlari dan terus bernyanyi dengan melodi penghidupan, dengan lantunan dari sang dedaunan, berikan sesuatu yang berarti untuk hidup ini. Maka ku tahu aku harus meneruskan hidup ini tanpa berselimut kabut.
Untuk Ventriloquis
Mengenang kalian dalam melodi
Hari ini kudendangkan. Sebuah lagu ingin kunyanyikan. Dengan mendengar irama alam, mengilas balik, menoleh ke belakang, mencari penghidupan lama untuk dijadikan lentera. Kukulik halaman dan halaman penuh goresan. Lembar-lembar yang ringan tapi padat. Ada kisah menarik dari plot hidup ini.
Goresan rapi satu lembaran yang telah menguning. Penuh coretan tapi memiliki isian bermakna. Kuawali jejak itu dengan Bismillah.
Ingatkan sebuah kisah seperti ini?
“Sekarang keluarkan kertas tugas kalian!” ujar seorang guru akuntansi di sebuah kelas sosial.
Bunyi keresek kertas folio memenuhi ruang kelas yang mungil itu, disambut dengan desahan beberapa mulut yang tidak membawa kertas tugas mereka.
“Siapa yang tidak bawa? Tulis nama kalian di kertas kecil, taruh di meja saya,” kata guru itu dengan mimik serius. Dalam diam, beberapa anak saling memandang dongkol. “Saya menyediakan kertas folio untuk kalian yang tidak bawa. Nih, bagikan!” tambah guru tersebut.
Guru akuntansi itu mengambil spidol dari dalam tempat pensilnya. Ia mulai menulis tabel-tabel jurnal di papan tulis. Ia berujar, “Silakan salin tabel ini. Nanti saya akan bacakan soal untuk kalian.”
Perempuan setengah baya itu pun selesai menggambar tabelnya, kemudian membacakan serentetan kasus hitungan dalam bentuk soal cerita. Kelas kembali hening, hanya kerutan di kening para siswa yang berbicara. Wajar mereka bingung, mereka tentu saja belum mengerti dengan materi baru. Perempuan bertubuh gemuk yang menjadi guru itu hanya duduk di balik mejanya menunggu para siswa memecahkan soal yang diberikan. Dia hanya menunggu. Tanpa senyum. Tanpa ekspresi.
“Ayo, siapa yang berani menulis hasil pekerjaannya di papan tulis? Sebelumnya tukarkan kertas tugas kalian dengan teman sebelah untuk diperiksa dan mengurangi kecurangan. Ayo, cepat!” seru Ibu guru itu beberapa menit kemudian.
Ketegangan kelas berkurang ketika ada seorang siswa yang berjalan ke depan. Teman-temannya hanya dapat memperhatikan sederetan angka yang ditulis anak itu di papan tulis. Senyum pun tersungging dari bibir perempuan setengah baya yang tegak di sampingnya.
Atau pernah mengatakan ini?
Gadis itu mengibas kunciran rambutnya yang lurus. Sambil menepis gerah, ia berpaling ke arah pintu yang menyambut hawa panas dari luar. “Aku baru selesai ujian. Sungguh melelahkan tugas-tugasnya. Waktu 24 jam saja kurang untukku.”
Hmm…bisa jadi mengeluh seperti ini.
Ada dua jenis air muka yang tersirat dari wajah-wajah pemuda berseragam putih abu-abu itu. Pertama, air muka bingung karena tidak paham sama sekali dengan materi yang dijelaskan. Kedua, air muka paham, tapi ragu untuk bertanya. Semuanya duduk dengan kaku. Guru mereka pun tidak berusaha memecah ketegangan. Dia hanya menghela napas, kemudian duduk kembali di bangkunya. “Baiklah, karena tidak ada yang bertanya, silakan kalian buka buku halaman 125! Kerjakan tugas nomor satu dan dua untuk PR kalian. Kertas tugas tadi tolong dikumpul,” ujar Guru tersebut sembari mulai meninggalkan kelas.
“Ah, andai saja kita dapat melakukan perubahan,” khayal seorang siswa perempuan berambut keriting.
“Kita tidak punya kekuasaan untuk itu. Ada yang bilang, jika ingin mengubah sistem, kita harus masuk ke dalam sistem itu. Kamu berniat jadi kepala sekolah?” ledek temannya.
Yeah, tergelitikku ketika lembaran itu dibuka kembali. Kertas yang telah menguning pun menjadi sejarah panjang perjalanan hidup. Mengulik, mengintip, mengenang, menyegarkan memori yang telah hilang dapat membuat kita kembali hidup. Musik alam dan irama kehidupan berpadu menjadi sonata. Senandung lincah nan ringan berpola menjadi suatu warna akan kayanya pengharapan.
Buka lembar baru. Dengan tinta terbaik dari kita. Selimut kebodohan masa lalu dan ketakutan masa depan harus dihenyakkan. Berlari dan terus bernyanyi dengan melodi penghidupan, dengan lantunan dari sang dedaunan, berikan sesuatu yang berarti untuk hidup ini. Maka ku tahu aku harus meneruskan hidup ini tanpa berselimut kabut.
Untuk Ventriloquis
Mengenang kalian dalam melodi
Ada yang hilang
ada yang hilang
dan ada yang datang
musim pun berganti
masa terus melaju
dan kita takkan sama lagi
dan ada yang datang
musim pun berganti
masa terus melaju
dan kita takkan sama lagi
Jumat, 20 Agustus 2010
Mimpi
Teori Cybernetika menjelaskan bahwa ketika kamu memiliki sebuah impian dan kamu sangat ingin mencapainya, sesulit apapun proses pencapaian itu kamu akan menuju kepadanya baik kamu sadari maupun tidak kamu sadari. Di alam bawah sadarmu impian itu acap kali melintas, maka itu menjadi motivasi yang menggerakanmu ke arahnya. Maka, sesuai dengan apa yang umum dikatakan, jangan takut bermimpi! Mimpi-mimpimu adalah bintang-bintangmu yang sinarnya terlihat redup, namun menjadi terang benderang bila kamu mendekat padanya.
Senin, 09 Agustus 2010
Terinspirasi dari Sebuah Puisi
Tersentuh ketika mata ini menguak larik demi larik dari sebuah puisi. Ada semangat yang mencuat keluar ketika membaca kisah hero di dalamnya. Kata-kata halus dan sederhana mengajak kita masuk ke kisah fantasi menginpirasi. Ini bukan kisah untuk anak-anak, tapi ini kisah untuk siapa saja yang rela membaca dan paham apa yang terkandung di dalamnya. Bukan cerita peri atau cerita hero, melainkan cerita tentang kehidupan, pengembaraan, dan akhirnya pulang. Kita semua akan kembali. Ya, kita semua harus kembali.
Puisi itu berjudul "A Hero Comes Home".. by Tere Liye...
A hero Comes Home
banyak cerita kuno yg dilantunkan dalam nyanyian2 peri..
banyak kisah2 tua yg dituliskan dalam daun2 lontar..
seorang pahlawan hebat memimpin beratus ribu pasukan.....
mendatangi tempat2 yg tdk pernah diketahui..
menaklukkan wilayah luas tdk terbilang, naga2, monster2..
tetapi pahlawan sejati.. selalu pulang ke rumah..
melesat dr balik kabut misterius..
digoda putri duyung cantik jelita..
dihadang tembok batu tak terlihat ujungnya..
atau penyihir2 kejam yg membinasakan semuanya..
tetapi pahlawan sejati.. selalu pulang ke rumah..
sejauh apapun pergi, dia selalu tahu jalan pulangnya..
ditempat apapun dia tersesat, dia selalu tahu persis dimana dia akan kembali..
walau harus merangkak.. meski harus berdarah2..
melewati kegelapan.. mengarungi lautan kematian..
pahlawan sejati.. selalu pulang ke rumah..
always.. a hero comes home..
Puisi ini biasa, tapi bermakna. Tergantung bagaimana cara kita mengikat maknanya. Ada semburat cahaya harapan yang dibawanya. Tere liye mungkin terinspirasi dari kisah-kisah fantasi peri dan kepahlawanan. Itu tidak lepas dari dunia fantasi yang dimiliki anak-anak. Saya semakin yakin, fantasi anak-anak adalah kisah yang dalam tentang kehidupan. Kita yang dewasa ini sering lupa. Ketika fantasi itu terlupakan, kita pun lengah dan tak memperhatikan nilai-nilai yang kita pegang. Tere Liye mengajak kita kembali. Kembali dalam artian banyak hal.
Puisi itu berjudul "A Hero Comes Home".. by Tere Liye...
A hero Comes Home
banyak cerita kuno yg dilantunkan dalam nyanyian2 peri..
banyak kisah2 tua yg dituliskan dalam daun2 lontar..
seorang pahlawan hebat memimpin beratus ribu pasukan.....
mendatangi tempat2 yg tdk pernah diketahui..
menaklukkan wilayah luas tdk terbilang, naga2, monster2..
tetapi pahlawan sejati.. selalu pulang ke rumah..
melesat dr balik kabut misterius..
digoda putri duyung cantik jelita..
dihadang tembok batu tak terlihat ujungnya..
atau penyihir2 kejam yg membinasakan semuanya..
tetapi pahlawan sejati.. selalu pulang ke rumah..
sejauh apapun pergi, dia selalu tahu jalan pulangnya..
ditempat apapun dia tersesat, dia selalu tahu persis dimana dia akan kembali..
walau harus merangkak.. meski harus berdarah2..
melewati kegelapan.. mengarungi lautan kematian..
pahlawan sejati.. selalu pulang ke rumah..
always.. a hero comes home..
Puisi ini biasa, tapi bermakna. Tergantung bagaimana cara kita mengikat maknanya. Ada semburat cahaya harapan yang dibawanya. Tere liye mungkin terinspirasi dari kisah-kisah fantasi peri dan kepahlawanan. Itu tidak lepas dari dunia fantasi yang dimiliki anak-anak. Saya semakin yakin, fantasi anak-anak adalah kisah yang dalam tentang kehidupan. Kita yang dewasa ini sering lupa. Ketika fantasi itu terlupakan, kita pun lengah dan tak memperhatikan nilai-nilai yang kita pegang. Tere Liye mengajak kita kembali. Kembali dalam artian banyak hal.
Minggu, 01 Agustus 2010
Rinduku
Aku rindu. Rindu pada banyak hal. Hal yang menjadikanku besar. Seseorang dan sesuatu telah mengingatkanku pada itu. Aku ingin kembali benar-benar hidup. Berharap sesuatu yang kurindukan itu datang dengan wujud yang baru, energi baru, dan harapan baru. Kusadari bahwa aku tak bisa kembali menjemput hal yang kurindukan itu. Namun, aku dapat berharap bahwa kesempatan akan datang menawarkan sesuatu yang berbeda. Sesuatu itu pula yang menjadi pegangan untuk mengantarkanku pada euforia yang akan membuatku belajar banyak
Rabu, 02 Juni 2010
Memutus Bom Waktu
Memutus Bom Waktu
Ketakutan menyergap
Dingin pun merambat
Tubuh ini menggigil dengan kepala yang panas
Tangan gemetar
Mencari kawat yang tepat untuk mematikan deret waktu dalam bom itu
(Sulung Siti Hanum)
Bom kan meledak sewaktu-waktu
Tapi bom waktu akan mengeluarkan suara menggelegar pada saatnya tiba nanti
Waktu tak bisa dihentikan
tetapi bom dapat dimatikan
jangan biarkan angka itu mengatur lajunya waktu
jangan biarkan emosi menjadi api
menyulut energi material bom yang menghapus mimpi
Hanya satu yang bisa memperlambat
Memutus kawat penghubung waktu
dengan sebuah tekad bahwa kita belum kalah
Sebelum bom menguar di kepala
Memutus saraf otak kita
Ketakutan menyergap
Dingin pun merambat
Tubuh ini menggigil dengan kepala yang panas
Tangan gemetar
Mencari kawat yang tepat untuk mematikan deret waktu dalam bom itu
(Sulung Siti Hanum)
Bom kan meledak sewaktu-waktu
Tapi bom waktu akan mengeluarkan suara menggelegar pada saatnya tiba nanti
Waktu tak bisa dihentikan
tetapi bom dapat dimatikan
jangan biarkan angka itu mengatur lajunya waktu
jangan biarkan emosi menjadi api
menyulut energi material bom yang menghapus mimpi
Hanya satu yang bisa memperlambat
Memutus kawat penghubung waktu
dengan sebuah tekad bahwa kita belum kalah
Sebelum bom menguar di kepala
Memutus saraf otak kita
Sabtu, 29 Mei 2010
Selamat Datang Kepastian
Seribu bayang dengan sejuta pilihan
Merasuki relung hati menggoda nurani
Ke arah mana kaki ini kan diarahkan?
Derap langkah menggema bagai Guntur
Hasrat dan obsesi menyatu menjadi harapan
Meniti langkah menata harap
Memapah hidup, memandu mimpi
Satu yang terpahami
Hidup akan terus bergulir
Tuk menanti suatu hal pasti
Masa lalu biarlah menjadi hitam
Namun jangan biarkan pekatnya melunturkan niat hari ini
yang menanti takdir
Dan hitamnya takdir tak selamanya menjadi putih
Begitu juga kampus ini
Sebuah perjuangan bermula di sini
Melesatkan mimpi menorehkan histori
Semangat membakar juang
Tak selamanya wajah-wajah putih itu tetap termangu
berpangku menopang dagu
Kecemerlangan menjadi pertanda
Bahwa kebangkitan suatu masa bergantung pada kita
Sebuah kampus memberi ruang
Menanti bersiap terbang ke dunia penuh jurang
Mengharap potensi juang
Akhirnya mentari akan kembali datang
Pada pagi yang bercahaya terang
Kepada jiwa-jiwa mungil
Selamat datang pagi
Semoga kampus ini tetap seindah pagi yang diimpikan
Mari tegak bersama nyanyikan melodi perharapan
Senandungkan sebuah irama kepastian
Merasuki relung hati menggoda nurani
Ke arah mana kaki ini kan diarahkan?
Derap langkah menggema bagai Guntur
Hasrat dan obsesi menyatu menjadi harapan
Meniti langkah menata harap
Memapah hidup, memandu mimpi
Satu yang terpahami
Hidup akan terus bergulir
Tuk menanti suatu hal pasti
Masa lalu biarlah menjadi hitam
Namun jangan biarkan pekatnya melunturkan niat hari ini
yang menanti takdir
Dan hitamnya takdir tak selamanya menjadi putih
Begitu juga kampus ini
Sebuah perjuangan bermula di sini
Melesatkan mimpi menorehkan histori
Semangat membakar juang
Tak selamanya wajah-wajah putih itu tetap termangu
berpangku menopang dagu
Kecemerlangan menjadi pertanda
Bahwa kebangkitan suatu masa bergantung pada kita
Sebuah kampus memberi ruang
Menanti bersiap terbang ke dunia penuh jurang
Mengharap potensi juang
Akhirnya mentari akan kembali datang
Pada pagi yang bercahaya terang
Kepada jiwa-jiwa mungil
Selamat datang pagi
Semoga kampus ini tetap seindah pagi yang diimpikan
Mari tegak bersama nyanyikan melodi perharapan
Senandungkan sebuah irama kepastian
Kamis, 27 Mei 2010
Cintai Indonesia dengan Bahasa
Aku menyampaikan pada dunia satu Tanya saja
Apa yang begitu berharga yang dimiliki suatu bangsa
Sebuah identitas yang selama ini
Berdiam tanpa belenggu kata
Asing dengan tubuh sendiri nan fana
Indonesia menanti kita untuk kembali
Memasang kata, mamapah gerak
Merangkai bahasa mandiri
Bahasa kita menagih janji peuda
Atas identitas yang selama ini terlupa
Sebening kata, selembut cerita
Mengurai hidup, memutar nasib
Memukau makna
Suatu bahasa menjadi dinamika
Dalam kemelut perjalanan Indonesia
Suara pemuda nan gempita
Mengucap salam hormat sebuah Tanya
Cintai Indonesia dengan bahasa
Atas nama pemuda Indonesia
(Sulung Siti Hanum)
Apa yang begitu berharga yang dimiliki suatu bangsa
Sebuah identitas yang selama ini
Berdiam tanpa belenggu kata
Asing dengan tubuh sendiri nan fana
Indonesia menanti kita untuk kembali
Memasang kata, mamapah gerak
Merangkai bahasa mandiri
Bahasa kita menagih janji peuda
Atas identitas yang selama ini terlupa
Sebening kata, selembut cerita
Mengurai hidup, memutar nasib
Memukau makna
Suatu bahasa menjadi dinamika
Dalam kemelut perjalanan Indonesia
Suara pemuda nan gempita
Mengucap salam hormat sebuah Tanya
Cintai Indonesia dengan bahasa
Atas nama pemuda Indonesia
(Sulung Siti Hanum)
Rabu, 26 Mei 2010
Istana Mahasiswa
Tak terasa langkah menapak semakin berat.
Jalanan semakin kasar.
Tapi kita belumlah mencapai gerbang itu.
Gerbang yang menandakan akhir sebuah perjuangan
Sang mentari tetap saja tak lelah menemani derap kaki kita
mengunjungi jejak demi jejak
dan Bulan pun selalu turun sebagai penghibur hati,
pelipur lara dari panasnya surya.
Dengan mendengar irama alam, mengilas balik,
mencari penghidupan lama untuk dijadikan lentera.
kulik halaman dan halaman penuh goresan.
Lembar-lembar yang ringan tapi padat.
Goresan rapi satu lembaran yang telah menguning.
Penuh coretan tapi menyirat isian bermakna
Ada kisah menarik dari plot hidup ini.
Itulah kisah yang kita jalani di istana mahasiswa
Akhirnya kita pun tau
Dalam istana ini
Musik alam dan irama kehidupan berpadu menjadi sonata
Senandung lincah nan ringan berpola menjadi suatu warna akan kayanya pengharapan
tawa menjadi lukisan
senyum menjadi penerang
itulah yang kita tinggalkan di sana
Buka lembar baru
Dengan tinta terbaik dari kita
Henyak Selimut kebodohan masa lalu dan ketakutan masa depan
Berlari dan terus bernyanyi dengan melodi penghidupan
dengan lantunan dari sang dedaunan,
berikan sesuatu yang berarti untuk hidup ini
untuk perjuangan kita
(Sulung Siti Hanum)
Jalanan semakin kasar.
Tapi kita belumlah mencapai gerbang itu.
Gerbang yang menandakan akhir sebuah perjuangan
Sang mentari tetap saja tak lelah menemani derap kaki kita
mengunjungi jejak demi jejak
dan Bulan pun selalu turun sebagai penghibur hati,
pelipur lara dari panasnya surya.
Dengan mendengar irama alam, mengilas balik,
mencari penghidupan lama untuk dijadikan lentera.
kulik halaman dan halaman penuh goresan.
Lembar-lembar yang ringan tapi padat.
Goresan rapi satu lembaran yang telah menguning.
Penuh coretan tapi menyirat isian bermakna
Ada kisah menarik dari plot hidup ini.
Itulah kisah yang kita jalani di istana mahasiswa
Akhirnya kita pun tau
Dalam istana ini
Musik alam dan irama kehidupan berpadu menjadi sonata
Senandung lincah nan ringan berpola menjadi suatu warna akan kayanya pengharapan
tawa menjadi lukisan
senyum menjadi penerang
itulah yang kita tinggalkan di sana
Buka lembar baru
Dengan tinta terbaik dari kita
Henyak Selimut kebodohan masa lalu dan ketakutan masa depan
Berlari dan terus bernyanyi dengan melodi penghidupan
dengan lantunan dari sang dedaunan,
berikan sesuatu yang berarti untuk hidup ini
untuk perjuangan kita
(Sulung Siti Hanum)
LEBUR
Mengerjap
Terkesiap
Melebur bersama waktu
Tak ada yang bisa kuingkari lagi
(Sulung Siti Hanum)
Terkesiap
Melebur bersama waktu
Tak ada yang bisa kuingkari lagi
(Sulung Siti Hanum)
Senin, 24 Mei 2010
Menahan Napas di dalam Air
Aku benci rasa ini. Ya, aku mengerti kenapa orang sering menyebut mati itu sakit. Tangan kananku memegang bibir ember. Tangan yang lainnya meraba-raba bagian tubuhku mulai dari leher hingga perut. Masih utuh. Urat-urat di leherku terasa menonjol ketika kuraba dengan jemariku. Mukaku dingin, mulut terkatup, hidung sama sekali tak dapat menghirup udara. Napasku tertahan. Kubuka mata. Aku tak melihat apa-apa. Mataku mulai perih. Air membelai kulit wajahku. Sampai berapa lama aku bisa bertahan? Aku tidak bisa menahan karbon dioksida di dalam dadaku ini lebih lama. Semua harus kukeluarkan dan digantikan dengan udara segar. Aku mengeluarkan gelembung-gelembung udara dari mulutku hingga aku benar-benar kehabisan napas.
Uaaaah…..kuhirup oksigen sesering mungkin. Hidungku terasa kembang kempis. Dadaku naik turun seirama dengan tarikan napasku yang cepat. Mulutku sedikit membuka membiarkan udara masuk. Entah berapa lama aku berani mencelupkan mukaku ke dalam ember hitam berisi air itu. Yang kutahu tak sampai satu menit. Atau mungkin lebih kurang sekitar satu menit. Hidup tanpa udara itu tidak enak. Sungguh. Hei, ayolah, jangan main-main dengan oksigen! Kita bukan ikan yang dianugerahi insang. Aku suka berenang, tapi aku tak suka menyelam. Yang kutahu, aku harus belajar mengatur napas lagi di dalam air.
Uaaaah…..kuhirup oksigen sesering mungkin. Hidungku terasa kembang kempis. Dadaku naik turun seirama dengan tarikan napasku yang cepat. Mulutku sedikit membuka membiarkan udara masuk. Entah berapa lama aku berani mencelupkan mukaku ke dalam ember hitam berisi air itu. Yang kutahu tak sampai satu menit. Atau mungkin lebih kurang sekitar satu menit. Hidup tanpa udara itu tidak enak. Sungguh. Hei, ayolah, jangan main-main dengan oksigen! Kita bukan ikan yang dianugerahi insang. Aku suka berenang, tapi aku tak suka menyelam. Yang kutahu, aku harus belajar mengatur napas lagi di dalam air.
Adril, Si Akrobat
Badannya begitu lincah menguasai panggung sirkus malam itu. Berbagai atraksi dimainkan bersama satu rekannya. Mengendarai sepeda beroda satu, berjalan di atas seutas tali, bermain dengan api, dan berbagai atraksi berbahaya lainnya. Menjadi akrobat sirkus adalah bagian dari hidupnya yang telah ditekuni selama kurang lebih sepuluh tahun terakhir ini. Ia selalu tampak bahagia menghibur orang banyak melalui pentas sirkus itu.
Pria itu menari-nari di atas panggung bundar dengan kelihaian seorang akrobat profesional. Segala atraksi diperagakan mulai dari tingkat bahaya yang sedang hingga tingkat bahaya yang tinggi. Pria itu tampak menikmatinya. Saat itu, pria yang memoles mukanya dengan make up tebal itu sedang memainkan sepeda beroda satunya. Melompat-lompat girang di atas api dan melewati seutas tali yang membentang dari permukaan panggung hingga ketinggian empat meter di sepanjang panggung. Tali tersebut bergoyang-goyang ketika roda sepeda itu berputar di permukaan atas tali. Tiba-tiba tali mengendor dan pria itu mulai kehilangan keseimbangan. Saat itu ia telah mencapai ketinggian di atas tiga meter. Panik pun tak sempat lagi dirasakan, karena yang ada hanya raungan panjang yang memenuhi panggung. “Aaaaaaaaaaaaargh!!!” Buk.
Lampu-lampu gedung tiba-tiba dipadamkan. Alunan musik pengiring pertunjukan pun berhenti. Seketika penonton resah. Tampak petugas yang mengawasi panggung berkerumun mengangkat tubuh orang yang tengah menjerit kesakitan.
“Aduuuuh!” teriaknya kesakitan.
Para penonton pun langsung berdiri, sedikit terpana dan shock melihat kejadian yang sangat cepat tadi.
Pelahan pria itu membuka mata. Penglihatannya sedikit buram. Adril, nama pria itu. Kepalanya terasa pusing dan tulang-tulangnya sedikit nyeri. Matanya mulai menerawang memperhatikan situasi di sekitar. Ada beberapa orang berdiri di sampingnya. Ibunya, manajer sikusnya, dan satu orang pendamping akrobatnya. Langit-langit dengan lampu berpijar di tengahnya. Ketika ia menelengkan kepalanya, ia langsung sadar bahwa lehernya diberi penyangga.
“Adril, syukurlah, akhirnya kau sadar. Kau berada di rumah sakit,” ujar seorang wanita paruh baya yang berbisik di sebelah telinga Adril.
Seketika raut muka Adril langsung berubah. Ekspresi tanya, heran, tidak percaya bercampur di wajahnya. Keningnya berkerut dan mulutnya ternganga. Ia ingin bicara, tapi tak satu pun suara yang terdengar dari mulutnya. Ia tercekat. Matanya mengerjap.
“Tenanglah, Dril. Kau tidak perlu khawatir. Saat ini waktunya kau istirahat, ya,” bisik lembut dari wanita paruh baya itu lagi.
Adril membuka mulutnya berusaha untuk bicara. “Aku kenapa, Bu? Pertunjukannya?” Bisikan kasar dan serak akhirnya membuka percakapan ibu dan anak itu.
“Tenang, ya, Nak. Kamu tidak boleh banyak bergerak. Waktu itu… waktu itu… kamu kecelakaan di lantai sirkus. Lalu…” Wanita itu tidak dapat melanjutkan ucapannya. Hanya air mata yang berbicara.
Adril tidak mengerti dengan apa yang telah terjadi padanya. Ingatannya berkelana ke kecelakaan di panggung sirkus itu. Ia hanya mengingat saat ia kehilangan keseimbangan, limbung, dan teriakan kesakitan. Badannya terhempas dari ketinggian lebih kurang tiga meter. Sepeda yang sedang dikendarainya juga ikut jatuh menimpa tubuhnya. Setelah itu semuanya gelap. Ternyata kecelakaan itu berakibat sangat fatal. Menyadari dirinya terbaring di rumah sakit dengan kaki dan tangan kaku karena balutan perban, Adril merasa hampa.
Adril melewati masa perawatan dan terapi tahap awal selama lebih kurang satu bulan. Ia mengalami patah tulang pada bagian pergelangan kaki dan lutut. Ia juga mengalami geger otak ringan.
Masa penyembuhan untuk patah tulangnya cukup lama. Selama tiga bulan itu, ia cuti dari pekerjaannya di panggung sirkus. Ia tak dapat melakukan apa-apa kecuali berpikir. Hal itu pula yang membuat kepalanya sering sakit. Dengan kondisinya yang seperti ini seakan membuat hatinya teriris. Menyesal. Putus asa. Semua berkecamuk di dadanya. Ia marah pada tali yang menyebabkan keseimbangannya lumpuh. Ia marah pada petugas dekorasi panggung yang menyebabkan tali mengendor. Di samping itu, ia tahu bahwa itu hanya sebuah kecelakaan.
Adril memerhatikan kakinya yang masih dibalut perban. Ia sedang duduk di beranda rumahnya di atas sebuah kursi roda. Ia menyandarkan kepalanya ke tembok. Tiba-tiba sakitnya menyerang seiring dengan kemarahan di dalam hatinya. Kecelakaan yang dialami Adril tidak hanya menyebabkan kerusakan fisik, tetapi juga berdampak kepada psikologisnya.
Panggung sirkus yang telah menghidupinya selama sepuluh tahun terakhir, kini terasa sangat jauh darinya. Ia lebih banyak diam sejak kecelakaan itu. Ia seperti kehilangan separuh jiwanya. Sirkus adalah hidupnya. Meskipun dulu ibunya sempat menentang pekerjaanya itu, Adril tetap maju untuk belajar. Banyak pengalaman yang diperolehnya dari dunia pertunjukan sirkus itu. Kesan buruk dan rendah yang sering melekat pada artis sirkus, akhirnya dapat ditepisnya.
Ia tertarik pada sirkus ketika ada pasar malam di dekat rumahnya. Tak ketinggalan ia dengan setia menunggu atraksi sirkus keliling yang biasa menyemarakkan pasar malam tersebut. Sejak saat itu, Adril kecil tertarik untuk berlatih akrobat. Meski berbahaya, tetapi ia menikmatinya. Kemudian ketika umurnya tiga belas tahun, ia diberi kesempatan untuk mendampingi seorang akrobat dalam pertunjukannya. Setelah itu, ia sering diajak untuk tur keliling.
Adril dengan sedih mengenang masa-masa indah perjalanannya bersama rombongan sirkus. Ia juga sering bermain-main dengan binatang buas yang kerap mengisi pertunjukan akrobatnya. Dahulu, panggung sirkus hanya sebuah panggung kecil untuk mengisi acara-acara suatu kampung atau kecamatan. Akan tetapi, saat ini pertujukan sirkus telah dikomersilkan. Tentu saja pertunjukannya pun merambah kepada masyarakat kalangan menengah ke atas. Adril meniti kariernya sebagai akrobat dimulai dari panggung kecil dan menginap di van hingga panggung besar bagaikan sebuah konser dan tidak jarang menginap di wisma atau hotel.
Kini, Adril tidak yakin lagi dapat bermain sempurna. Ia tidak bisa apa-apa lagi. Yang tersisa hanya hampa, putus asa, sedih karena berduka kehilangan separuh jiwanya itu.
Pria itu menari-nari di atas panggung bundar dengan kelihaian seorang akrobat profesional. Segala atraksi diperagakan mulai dari tingkat bahaya yang sedang hingga tingkat bahaya yang tinggi. Pria itu tampak menikmatinya. Saat itu, pria yang memoles mukanya dengan make up tebal itu sedang memainkan sepeda beroda satunya. Melompat-lompat girang di atas api dan melewati seutas tali yang membentang dari permukaan panggung hingga ketinggian empat meter di sepanjang panggung. Tali tersebut bergoyang-goyang ketika roda sepeda itu berputar di permukaan atas tali. Tiba-tiba tali mengendor dan pria itu mulai kehilangan keseimbangan. Saat itu ia telah mencapai ketinggian di atas tiga meter. Panik pun tak sempat lagi dirasakan, karena yang ada hanya raungan panjang yang memenuhi panggung. “Aaaaaaaaaaaaargh!!!” Buk.
Lampu-lampu gedung tiba-tiba dipadamkan. Alunan musik pengiring pertunjukan pun berhenti. Seketika penonton resah. Tampak petugas yang mengawasi panggung berkerumun mengangkat tubuh orang yang tengah menjerit kesakitan.
“Aduuuuh!” teriaknya kesakitan.
Para penonton pun langsung berdiri, sedikit terpana dan shock melihat kejadian yang sangat cepat tadi.
Pelahan pria itu membuka mata. Penglihatannya sedikit buram. Adril, nama pria itu. Kepalanya terasa pusing dan tulang-tulangnya sedikit nyeri. Matanya mulai menerawang memperhatikan situasi di sekitar. Ada beberapa orang berdiri di sampingnya. Ibunya, manajer sikusnya, dan satu orang pendamping akrobatnya. Langit-langit dengan lampu berpijar di tengahnya. Ketika ia menelengkan kepalanya, ia langsung sadar bahwa lehernya diberi penyangga.
“Adril, syukurlah, akhirnya kau sadar. Kau berada di rumah sakit,” ujar seorang wanita paruh baya yang berbisik di sebelah telinga Adril.
Seketika raut muka Adril langsung berubah. Ekspresi tanya, heran, tidak percaya bercampur di wajahnya. Keningnya berkerut dan mulutnya ternganga. Ia ingin bicara, tapi tak satu pun suara yang terdengar dari mulutnya. Ia tercekat. Matanya mengerjap.
“Tenanglah, Dril. Kau tidak perlu khawatir. Saat ini waktunya kau istirahat, ya,” bisik lembut dari wanita paruh baya itu lagi.
Adril membuka mulutnya berusaha untuk bicara. “Aku kenapa, Bu? Pertunjukannya?” Bisikan kasar dan serak akhirnya membuka percakapan ibu dan anak itu.
“Tenang, ya, Nak. Kamu tidak boleh banyak bergerak. Waktu itu… waktu itu… kamu kecelakaan di lantai sirkus. Lalu…” Wanita itu tidak dapat melanjutkan ucapannya. Hanya air mata yang berbicara.
Adril tidak mengerti dengan apa yang telah terjadi padanya. Ingatannya berkelana ke kecelakaan di panggung sirkus itu. Ia hanya mengingat saat ia kehilangan keseimbangan, limbung, dan teriakan kesakitan. Badannya terhempas dari ketinggian lebih kurang tiga meter. Sepeda yang sedang dikendarainya juga ikut jatuh menimpa tubuhnya. Setelah itu semuanya gelap. Ternyata kecelakaan itu berakibat sangat fatal. Menyadari dirinya terbaring di rumah sakit dengan kaki dan tangan kaku karena balutan perban, Adril merasa hampa.
Adril melewati masa perawatan dan terapi tahap awal selama lebih kurang satu bulan. Ia mengalami patah tulang pada bagian pergelangan kaki dan lutut. Ia juga mengalami geger otak ringan.
Masa penyembuhan untuk patah tulangnya cukup lama. Selama tiga bulan itu, ia cuti dari pekerjaannya di panggung sirkus. Ia tak dapat melakukan apa-apa kecuali berpikir. Hal itu pula yang membuat kepalanya sering sakit. Dengan kondisinya yang seperti ini seakan membuat hatinya teriris. Menyesal. Putus asa. Semua berkecamuk di dadanya. Ia marah pada tali yang menyebabkan keseimbangannya lumpuh. Ia marah pada petugas dekorasi panggung yang menyebabkan tali mengendor. Di samping itu, ia tahu bahwa itu hanya sebuah kecelakaan.
Adril memerhatikan kakinya yang masih dibalut perban. Ia sedang duduk di beranda rumahnya di atas sebuah kursi roda. Ia menyandarkan kepalanya ke tembok. Tiba-tiba sakitnya menyerang seiring dengan kemarahan di dalam hatinya. Kecelakaan yang dialami Adril tidak hanya menyebabkan kerusakan fisik, tetapi juga berdampak kepada psikologisnya.
Panggung sirkus yang telah menghidupinya selama sepuluh tahun terakhir, kini terasa sangat jauh darinya. Ia lebih banyak diam sejak kecelakaan itu. Ia seperti kehilangan separuh jiwanya. Sirkus adalah hidupnya. Meskipun dulu ibunya sempat menentang pekerjaanya itu, Adril tetap maju untuk belajar. Banyak pengalaman yang diperolehnya dari dunia pertunjukan sirkus itu. Kesan buruk dan rendah yang sering melekat pada artis sirkus, akhirnya dapat ditepisnya.
Ia tertarik pada sirkus ketika ada pasar malam di dekat rumahnya. Tak ketinggalan ia dengan setia menunggu atraksi sirkus keliling yang biasa menyemarakkan pasar malam tersebut. Sejak saat itu, Adril kecil tertarik untuk berlatih akrobat. Meski berbahaya, tetapi ia menikmatinya. Kemudian ketika umurnya tiga belas tahun, ia diberi kesempatan untuk mendampingi seorang akrobat dalam pertunjukannya. Setelah itu, ia sering diajak untuk tur keliling.
Adril dengan sedih mengenang masa-masa indah perjalanannya bersama rombongan sirkus. Ia juga sering bermain-main dengan binatang buas yang kerap mengisi pertunjukan akrobatnya. Dahulu, panggung sirkus hanya sebuah panggung kecil untuk mengisi acara-acara suatu kampung atau kecamatan. Akan tetapi, saat ini pertujukan sirkus telah dikomersilkan. Tentu saja pertunjukannya pun merambah kepada masyarakat kalangan menengah ke atas. Adril meniti kariernya sebagai akrobat dimulai dari panggung kecil dan menginap di van hingga panggung besar bagaikan sebuah konser dan tidak jarang menginap di wisma atau hotel.
Kini, Adril tidak yakin lagi dapat bermain sempurna. Ia tidak bisa apa-apa lagi. Yang tersisa hanya hampa, putus asa, sedih karena berduka kehilangan separuh jiwanya itu.
Langkah yang Menapak Semakin Berat
Tak terasa langkah menapak semakin berat. Jalanan semakin kasar. Tapi kita belumlah mencapai gerbang itu. Masih terkungkung dalam istana pendidikan. Sang surya tetap saja tak lelah menemani derap kaki kita mengunjungi pengalaman demi pengalaman. Bulan pun selalu turun sebagai penghibur hati, pelipur lara dari panasnya surya.
Hari ini kudendangkan. Sebuah lagu ingin kunyanyikan. Dengan mendengar irama alam, mengilas balik, menoleh ke belakang, mencari penghidupan lama untuk dijadikan lentera. Kukulik halaman dan halaman penuh goresan. Lembar-lembar yang ringan tapi padat. Ada kisah menarik dari plot hidup ini.
Goresan rapi satu lembaran yang telah menguning. Penuh coretan tapi memiliki isian bermakna. Kuawali jejak itu dengan Bismillah.
Ingatkan sebuah kisah seperti ini?
“Sekarang keluarkan kertas tugas kalian!” ujar seorang guru akuntansi di sebuah kelas sosial.
Bunyi keresek kertas folio memenuhi ruang kelas yang mungil itu, disambut dengan desahan beberapa mulut yang tidak membawa kertas tugas mereka.
“Siapa yang tidak bawa? Tulis nama kalian di kertas kecil, taruh di meja saya,” kata guru itu dengan mimik serius. Dalam diam, beberapa anak saling memandang dongkol. “Saya menyediakan kertas folio untuk kalian yang tidak bawa. Nih, bagikan!” tambah guru tersebut.
Guru akuntansi itu mengambil spidol dari dalam tempat pensilnya. Ia mulai menulis tabel-tabel jurnal di papan tulis. Ia berujar, “Silakan salin tabel ini. Nanti saya akan bacakan soal untuk kalian.”
Perempuan setengah baya itu pun selesai menggambar tabelnya, kemudian membacakan serentetan kasus hitungan dalam bentuk soal cerita. Kelas kembali hening, hanya kerutan di kening para siswa yang berbicara. Wajar mereka bingung, mereka tentu saja belum mengerti dengan materi baru. Perempuan bertubuh gemuk yang menjadi guru itu hanya duduk di balik mejanya menunggu para siswa memecahkan soal yang diberikan. Dia hanya menunggu. Tanpa senyum. Tanpa ekspresi.
“Ayo, siapa yang berani menulis hasil pekerjaannya di papan tulis? Sebelumnya tukarkan kertas tugas kalian dengan teman sebelah untuk diperiksa dan mengurangi kecurangan. Ayo, cepat!” seru Ibu guru itu beberapa menit kemudian.
Ketegangan kelas berkurang ketika ada seorang siswa yang berjalan ke depan. Teman-temannya hanya dapat memperhatikan sederetan angka yang ditulis anak itu di papan tulis. Senyum pun tersungging dari bibir perempuan setengah baya yang tegak di sampingnya.
Atau pernah mengatakan ini?
Gadis itu mengibas kunciran rambutnya yang lurus. Sambil menepis gerah, ia berpaling ke arah pintu yang menyambut hawa panas dari luar. “Aku baru selesai ujian. Sungguh melelahkan tugas-tugasnya. Waktu 24 jam saja kurang untukku.”
Hmm…bisa jadi mengeluh seperti ini.
Ada dua jenis air muka yang tersirat dari wajah-wajah pemuda berseragam putih abu-abu itu. Pertama, air muka bingung karena tidak paham sama sekali dengan materi yang dijelaskan. Kedua, air muka paham, tapi ragu untuk bertanya. Semuanya duduk dengan kaku. Guru mereka pun tidak berusaha memecah ketegangan. Dia hanya menghela napas, kemudian duduk kembali di bangkunya. “Baiklah, karena tidak ada yang bertanya, silakan kalian buka buku halaman 125! Kerjakan tugas nomor satu dan dua untuk PR kalian. Kertas tugas tadi tolong dikumpul,” ujar Guru tersebut sembari mulai meninggalkan kelas.
“Ah, andai saja kita dapat melakukan perubahan,” khayal seorang siswa perempuan berambut keriting.
“Kita tidak punya kekuasaan untuk itu. Ada yang bilang, jika ingin mengubah sistem, kita harus masuk ke dalam sistem itu. Kamu berniat jadi kepala sekolah?” ledek temannya.
Yeah, tergelitikku ketika lembaran itu dibuka kembali. Kertas yang telah menguning pun menjadi sejarah panjang perjalanan hidup. Mengulik, mengintip, mengenang, menyegarkan memori yang telah hilang dapat membuat kita kembali hidup. Musik alam dan irama kehidupan berpadu menjadi sonata. Senandung lincah nan ringan berpola menjadi suatu warna akan kayanya pengharapan.
Buka lembar baru. Dengan tinta terbaik dari kita. Selimut kebodohan masa lalu dan ketakutan masa depan harus dihenyakkan. Berlari dan terus bernyanyi dengan melodi penghidupan, dengan lantunan dari sang dedaunan, berikan sesuatu yang berarti untuk hidup ini. Maka ku tahu aku harus meneruskan hidup ini tanpa berselimut kabut.
Untuk pejuang pejuang Ventriloquit ku
Mengenang kalian dalam melodi
Hari ini kudendangkan. Sebuah lagu ingin kunyanyikan. Dengan mendengar irama alam, mengilas balik, menoleh ke belakang, mencari penghidupan lama untuk dijadikan lentera. Kukulik halaman dan halaman penuh goresan. Lembar-lembar yang ringan tapi padat. Ada kisah menarik dari plot hidup ini.
Goresan rapi satu lembaran yang telah menguning. Penuh coretan tapi memiliki isian bermakna. Kuawali jejak itu dengan Bismillah.
Ingatkan sebuah kisah seperti ini?
“Sekarang keluarkan kertas tugas kalian!” ujar seorang guru akuntansi di sebuah kelas sosial.
Bunyi keresek kertas folio memenuhi ruang kelas yang mungil itu, disambut dengan desahan beberapa mulut yang tidak membawa kertas tugas mereka.
“Siapa yang tidak bawa? Tulis nama kalian di kertas kecil, taruh di meja saya,” kata guru itu dengan mimik serius. Dalam diam, beberapa anak saling memandang dongkol. “Saya menyediakan kertas folio untuk kalian yang tidak bawa. Nih, bagikan!” tambah guru tersebut.
Guru akuntansi itu mengambil spidol dari dalam tempat pensilnya. Ia mulai menulis tabel-tabel jurnal di papan tulis. Ia berujar, “Silakan salin tabel ini. Nanti saya akan bacakan soal untuk kalian.”
Perempuan setengah baya itu pun selesai menggambar tabelnya, kemudian membacakan serentetan kasus hitungan dalam bentuk soal cerita. Kelas kembali hening, hanya kerutan di kening para siswa yang berbicara. Wajar mereka bingung, mereka tentu saja belum mengerti dengan materi baru. Perempuan bertubuh gemuk yang menjadi guru itu hanya duduk di balik mejanya menunggu para siswa memecahkan soal yang diberikan. Dia hanya menunggu. Tanpa senyum. Tanpa ekspresi.
“Ayo, siapa yang berani menulis hasil pekerjaannya di papan tulis? Sebelumnya tukarkan kertas tugas kalian dengan teman sebelah untuk diperiksa dan mengurangi kecurangan. Ayo, cepat!” seru Ibu guru itu beberapa menit kemudian.
Ketegangan kelas berkurang ketika ada seorang siswa yang berjalan ke depan. Teman-temannya hanya dapat memperhatikan sederetan angka yang ditulis anak itu di papan tulis. Senyum pun tersungging dari bibir perempuan setengah baya yang tegak di sampingnya.
Atau pernah mengatakan ini?
Gadis itu mengibas kunciran rambutnya yang lurus. Sambil menepis gerah, ia berpaling ke arah pintu yang menyambut hawa panas dari luar. “Aku baru selesai ujian. Sungguh melelahkan tugas-tugasnya. Waktu 24 jam saja kurang untukku.”
Hmm…bisa jadi mengeluh seperti ini.
Ada dua jenis air muka yang tersirat dari wajah-wajah pemuda berseragam putih abu-abu itu. Pertama, air muka bingung karena tidak paham sama sekali dengan materi yang dijelaskan. Kedua, air muka paham, tapi ragu untuk bertanya. Semuanya duduk dengan kaku. Guru mereka pun tidak berusaha memecah ketegangan. Dia hanya menghela napas, kemudian duduk kembali di bangkunya. “Baiklah, karena tidak ada yang bertanya, silakan kalian buka buku halaman 125! Kerjakan tugas nomor satu dan dua untuk PR kalian. Kertas tugas tadi tolong dikumpul,” ujar Guru tersebut sembari mulai meninggalkan kelas.
“Ah, andai saja kita dapat melakukan perubahan,” khayal seorang siswa perempuan berambut keriting.
“Kita tidak punya kekuasaan untuk itu. Ada yang bilang, jika ingin mengubah sistem, kita harus masuk ke dalam sistem itu. Kamu berniat jadi kepala sekolah?” ledek temannya.
Yeah, tergelitikku ketika lembaran itu dibuka kembali. Kertas yang telah menguning pun menjadi sejarah panjang perjalanan hidup. Mengulik, mengintip, mengenang, menyegarkan memori yang telah hilang dapat membuat kita kembali hidup. Musik alam dan irama kehidupan berpadu menjadi sonata. Senandung lincah nan ringan berpola menjadi suatu warna akan kayanya pengharapan.
Buka lembar baru. Dengan tinta terbaik dari kita. Selimut kebodohan masa lalu dan ketakutan masa depan harus dihenyakkan. Berlari dan terus bernyanyi dengan melodi penghidupan, dengan lantunan dari sang dedaunan, berikan sesuatu yang berarti untuk hidup ini. Maka ku tahu aku harus meneruskan hidup ini tanpa berselimut kabut.
Untuk pejuang pejuang Ventriloquit ku
Mengenang kalian dalam melodi
Langganan:
Postingan (Atom)